23 October 2020

Part 9*Ibuku Orang Gila*#IOG#PART 9#MM

Aslkm.... 
Semangat pagi.... 

Part 9

*Ibuku Orang Gila*

#IOG
#PART 9
#MM

      Aku dan pria di depanku kini sudah melewati terminal bus tempat aku dan Bang Udin berjanji bertemu.

"Mas ... stop ! Stop Mas !" Kataku sembari menepuk punggungnya agak keras.

Laju motor perlahan berhenti dan menepi. Sang pengemudi menoleh padaku.

"Kenapa sih ?" Katanya kurang jelas karena terhalang helm.

"Sudah, cukup sampai di sini saja Mas. Saya masih nunggu teman saya." Kataku sopan sembari beringsut dari motornya.

"Kamu yakin ? Takutnya kamu ketemu sama mereka lagi nanti." Katanya dengan masih memakai helm.

"Iya Mas. Terimakasih sudah menyelamatkan saya. Ngomong-ngomong, Mas ini siapa ? Kok bisa kenal sama preman itu." 

Aku penasaran dan tentu saja aku waspada. Takut dia adalah salah satu anggota preman itu. 

"Oh maaf ...." jawab pria itu.

Dia kini membuka helm dari kepalanya. Terlihatlah seorang pria yang ku kenal. Dia tersenyum ramah padaku.

"Bowo !" 

Aku berseru, terkejut karena tiba-tiba Bowo muncul yang entah darimana dan menyelamatkanku dari kejaran preman itu.

"Hahahaha ... kaget, ya ? Gak nyangka kalau aku yang menolongmu, kan?"

Aku melongo melihat Bowo itu senyum-senyum bak pahlawan menang dalam perang. Ya iya sih, dia memang pahlawanku hari ini.

"Kok bisa sih, kamu di sini ? Tahu dari mana ?"

"Eiiitsss ... ! Sebelum aku jawab, kamu kudu janji panggil aku, Kak Bowo ! Gimana ? Deal ?"

Dia tersenyum sembari menyipitkan matanya padaku. Ya memang sih dia lebih tua dariku. Tapi bukankah kami terlihat seumuran ?

"Ahh ... baiklah ! Kak Bowo, kok bisa tahu sih aku dikejar preman ? Tahu dari mana ?"

"Hehehe ... oke adek Fembri. Dengerin kakak ya. Kak Bowo ini tadi rencana mau jenguk Nita. Tapi Kak Bowo yang cerdas dan ganteng ini melihat itu preman ngumpul di depan Anggun Bakery. Naaaah awalnya sih gak paham ya, mereka kok ngumpul di sana. Aku pikir karena si Mami di sana, jadi wajarlah preman bayaran itu ngumpul. Eeeeh ... pas banget, Nita kirim pesan ke aku. Katanya kamu dalam bahaya. Ya sudahlah, atas permintaan Nita, aku memberanikan diri mengikuti mereka." 

Aku manggut-manggut mendengar penuturan Kak Bowo yang tampan ini. Ya memang tampan sih, pikirku.

"Terus Mbak Nita dalam bahaya dong !"

Tiba-tiba ingatan tentang ekspresi ketakutan Mbak Nita pada ibunya tadi menghantuiku. Bagaimana kalau dia dibantai sama preman utusan ibunya ?

"Gak usah khawatir sama dia. Dia itu lebih pinter dan lebih cerdas daripada aku. Dan yang pasti ilmu bela dirinya sangat mumpuni. Terlebih aktingnya, wuuuuuiiiih artis-artis banyak yang kalah pastinya ! Dia jago banget akting tau gak !"

Aku melongo, kayak sapi yang terdampar di tanah lapang yang luas dan asing. Merasa sudah mengenal, ternyata banyak bahaya mengintai. 

"Jiaaaah ... bengong lu ! Jadi gini ya, aku ceritain siapa itu Nita. Nita itu cewek yang jago beladiri. Jago balap motor juga. Terus jago akting, kayaknya dia itu takut sama ibunya ya, tapi bisa aku bilang kadar ketakutan Nita sama ibunya itu cuma sekitar 10% saja ! Pokoknya dia itu wanita yang beda banget sama cewek lain ! Walau dia juga gak kalah cantik dalam penampilan, tapi dia aslinya jempol banget ! Tipe wanita tangguh, petarung juga pemberontak . Dan itu tipe gua banget xixixi."

Kak Bowo tertawa cekikikan sambil menerawang jauh dengan mata penuh kekaguman. Bibirnya tersenyum lebaaaaar bagai mendapat bintang jatuh dari angkasa. 

"Ahhh ... tapi sayang banget. Kami saling mencintai dan saling melengkapi. Tapi ibunya yang bagai nenek sihir itu berulangkali mengancamku. Hingga akhirnya aku putus dengannya. Lebih tepatnya sih gak putus ya, tapi break. Diam-diam kami saling menghubungi dengan nomor Nita yang satunya. Karena ponsel Nita yang lainnya telah disadap ibunya. Kok ada ya, ibu seperti itu pada anaknya."

Aku pun juga heran, ibuku yang menurut orang tak waras saja masih ada welas asih pada anaknya. Lha ini, kok kayak musuh dalam selimut. 

"Apa mungkin Mbak Nita bukan anak kandungnya, ya Kak?"

Tanpa pikir panjang aku mengutarakan ganjalan di hatiku.

"Ehhhmm ... bisa saja sih. Tapi Nita tak pernah menyinggung soal ini. Tapi akte dan dokumen lain semua menyatakan Bu Anggun sebagai ibu Nita. Masa sih bukan ibu kandungnya ? Soalnya aku pernah lihat tumpukan fotokopi dokumen Nita di meja bagian administrasi kampus."

"Terus rencana kita gimana Kak ? Apa aku, Kakak anter saja ke terminal. Biar ketemu Bang Udin." 

"Kalau saranku sih jangan. Aku anter saja kamu ke pesantren. Aku yakin dia akan pulang. Sepertinya dia tahu seluk beluk kota Jogja ini."

Memang betul kata Kak Bowo ini, Bang Udin memang tahu soal Jogja beserta jalannya. Katanya dulu pernah tinggal di sini walau sebentar.

"Baiklah Kak. Antar Fembri ke pesantren ya."

Kak Bowo mengangguk padaku, dan aku segera nangkring kembali ke atas motor sport yang terlihat mahal ini. Dalam diam, akhirnya kami menelusuri jalan menuju pesantren An-Nuur. Semoga Bang Udin sudah sampai di sana. Besar harapanku, agar dia tak tertangkap para preman jahat itu. Kini entah untuk alasan apa, aku merasa telah diseret ke dalam sebuah masalah yang bisa saja berujung kehilangan nyawa. Bu Anggun bukan orang yang gampang disepelekan. Buktinya, dengan putrinya sendiri saja sikapnya terlalu waspada dan otoriter. Dan mulai hari ini aku bertekad mencari tahu siapa itu Anggi dan siapa itu Anggun. Semoga bisa menjawab kegalauanku soal asal-usulku.

~~~~

"Oke ... aku anter sampai sini saja ya Fem. Ni mamaku telepon suruh balik ke Semarang." 

Aku mengangguk turun dari motor. 

"Gak apa-apa Kak. Fembri sudah bersyukur banget dianterin sampai sini. Fembri jalan bentar aja juga sudah sampai."

"Okeee ... kapan-kapan aku bakal main ke sana. Tetep hati-hati ya. Karena Bu Anggun itu sangat menakutkan. Yang pasti jangan percaya siapapun, tetep waspada."

Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih pada Kak Bowo. Akhirnya ku lihat dia memacu motornya kembali ke Semarang. Kini aku berjalan menyusuri jalan menuju pesantren. Sembari sayup-sayup mendoakan Bang Udin agar pulang dengan selamat.

"Woy ... !!!!! "

Seseorang berseru sembari menepuk pundakku dengan keras membuat jantungku serasa mau copot. Ku tengok ke belakang, memastikan siapa yang mengagetiku.

"Bang Udin !!!!! Ya Allah, Bang ! Fembri cemas banget tadi. Abang gimana ? Baik-baik saja, kan ?"  

Aku menengok-nengok wajah dan tubuhnya, mencari kalau-kalau ada luka di sana.

"Tenang aja. Aku sehat dan baik-baik saja. Siapa tadi yang anterin kamu ?" Selidik Bang Udin.

"Oh ... inget mantan pacarnya Mbak Nita ?? Ya ... pria itulah yang menolongku dan mengantarkan ke sini." 

"Oh ... Bowo itu ? Kok bisa tahu sih ? Mbak Nitakah yang menyuruhnya ? Sepertinya aku juga beruntung Fem. Saat aku dikejar tadi, aku langsung melompat ke mobil bak terbuka pengangkut sayuran. Yaaah akhirnya aku bisa juga sampai di sini dengan selamat."

Aku mengangguk, membenarkan kata Bang Udin. Sepanjang jalan kami terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Entahlah, kejadian hari ini sungguh diluar dugaan. Mulai bertemu Bowo yang akhirnya menjadi penolongku. Kemudian Bu Anggun yang begitu menyeramkan dan misterius juga Mbak Nita yang ternyata menyimpan api dalam dirinya. 

~~~~

     Aku, Pak Rahmat, Mas Aan, Pak Abu dan Bang Udin duduk melingkar. Kami berempat sedang fokus mendengar cerita Bang Udin. Mulai dari A sampai Z, semua dia ceritakan. Sesekali aku menambahkan beberapa kata untuk menyempurnakan cerita Bang Udin. Semua terkaget dengan kisah kami berdua.

"Beneran ? Mirip banget sama ibumu ? Lalu kalau dia Bu Anggun, ibumu itu siapa ? Mungkinkah hanya sebatas mirip saja, konon katanya di dunia ini ada kembaran kita yang lahir di belahan dunia yang lain. Mungkin ini kebetulan sama-sama di Indonesia." 

Mas Aan mulai berspekulasi, dan sisanya mengangguk setuju.

"Gak mungkinlah kalau tak ada ikatan saudara ! Lihat mata Fembri ! Mata ibunya mirip dengan matanya. Dan kalau kalian lihat mata Nita juga Bu Anggun kalian pasti menduga mereka 1 keluarga. "

Bang Udin berapi-api menyanggah Mas Aan.

"Lalu hubungan mereka apa ?? Katanya Bu Anggun hanya punya 1 saudara. Yang siapa tadi namanya ? Anggi ya ?? Naaah bisa jadi kalau ibumu itu Bu Anggi. Hanya saja, kejanggalannya adalah Bu Anggi sudah meninggal sekitar 17 tahun lalu. Bukan begitu kata Nita ?" 

Pak Abu ikut menambahkan spekulasi versi dirinya. Aku hanya terdiam menyimak pendapat semua orang.

"Iya Pak Abu. Itu benar. Memang Nita bilang seperti itu, ya kan Fem ?"

Bang Udin memicingkan matanya menunggu jawabanku.

"Iya betul. Andai Bu Anggi itu ibuku, lalu makam siapa yang Nita dan Bu Anggun kunjungi ? Mungkinkah mengubur nama tanpa mayat ?? Atau mungkinkah Bu Anggun mencoba menutupi perihal Bu Anggi yang mungkin saja masih hidup, dan ternyata itu bisa saja ibuku ?"

Aku ikut menyetorkan dugaanku. Bang Udin matanya membesar dan menatapku dengan bola mata berbinar.

"Cerdas kau Fem !! Bisa jadikan pendapat Fembri itu benar ! Mengingat tampang Bu Anggun yang kejam, bisa saja kan ? Mungkin saja toko roti itu milik ibumu Fem ! Terbukti ibumu pandai membuat roti yang harumnya persis di tokonya."

Bang Udin menunjukkan wajah puas sembari melingkarkan tangannya di depan dada.

"Lalu kalau mereka saudara, kenapa Bu Anggi ehhhm maksudku ibu Fembri bisa berakhir di jalanan dan gila ? Dan anehnya dia menjadi gila dan bisa hamil ! Lalu kira-kira siapakah ayah Fembri ? Andai Fembri ada tepat setelah ibunya gila, kemungkinan ayahnya orang yang tak dikenal . Andai misal ibumu sebelum gila, dia sudah hamil kamu berarti ayahmu adalah orang yang dikenal baik ibumu. Bisa jadi pacar ? Atau bahkan suaminya !"

Mas Aan menatapku dengan yakin. Sedang aku merasa pusing. Masa lalu ibuku saja belum terkuak, kenapa bahas sosok ayahku sih ? Andai ayahku itu adalah benar suami ibuku, aku bisa terima. Tapi kalau mungkin saja orang mabuk yang tak sadar telah memperkosa ibuku, bukankah aku makin jauh dari solusi ? Mana mungkin ibu ingat sosok yang menghamiliya ? Bahkan namanya sendiri saja tak ingat ! Ahhh ... hatiku perih. Berujung di manakah hidupku ini, Ya Allah. Putus asa menyelimuti hatiku. 

"Begini ...."

Pak Rahmat yang sedari tadi terdiam, kini mulai menyumbangkan suaranya.
Ahhh ... aku mulai bersemangat kembali mendengar Pak Rahmat bicara. Biasanya perkataan Pak Rahmat sangat bijak.

"Lebih baik kita selidiki dulu hubungan antara Bu Anggun, Bu Anggi dengan ibumu Fem. Begitu juga hubungan dengan Nita Nilamsari. Kenapa ? Karena berawal dari Nita lah ingatan kemampuan membuat roti ibumu kembali. Berarti Nita ikut andil. Naaah bagaimana memastikan Nita dan ibumu itu saling kenal ? Ya dengan menghadirkan Nita ke sini. Biarkan mereka bertatap muka langsung. Dan soal Bu Anggun, menurutku dia sangat berbahaya kalau berdasarkan cerita Udin. Kenapa ?? Karena mana mungkin sih, orang yang baru sekali bertemu beberapa saat lalu bisa mengirim bandit untuk melukai Fembri. Mungkin saja Bu Anggun tahu, siapa Fembri sebenarnya dan siapa ibunya. Dan bila begini, bisa ditarik kesimpulan bahwa ibumu dan Bu Anggun memiliki hubungan khusus sebelum ibumu gila."

Kami semua terdiam, terkejut dengan analisa Pak Rahmat. Kami melewatkan satu kemungkinan kecil kalau mungkin saja Bu Anggun tahu maksudku mencari Nita yang aku pikir ada hubungan dengan ibuku. Aku menelan ludah, sungguh aku tak menduga dengan kesimpulan ini. Dan sungguh aku takut dengan kenyataan kalau andai saja memang benar Bu Anggun tahu aku anak ibu. 

"Iiihhh ... ngeri ahh ! Beneran, sumpah ! Jadi inget betapa matanya juga nada bicaranya yang bikin aku ngewel dan ndredheg gemeteran. Ini lho aku merinding !"

Bang Udin menunjukkan tangan yang bulunya telah berdiri tegak. Dia tak main-main dengan ketakutannya.

"Baiklah cukup di sini saja kita bahasnya. Ini sudah larut. Lebih baik kalian tidur biar jamaah subuh tak keteter." 

Pak Rahmat bangkit mengakhiri diskusi tentang masalahku. Walau pikiranku terganggu, setidaknya aku lega bisa kembali ke pesantren dengan selamat.

~~~

    Kami membubarkan diri dan kembali ke kamar masing-masing. Sesampai di kamar aku membolak-balikkan badanku dengan gelisah. Rasanya mataku sulit terpejam. Hatiku penuh aksara kegelisahan dan kalimat kekhawatiran. Aku akhirnya memutuskan untuk ke musholla. Aku ingin sholat malam dan mengaji. Mengadukan nasibku pada Dzat Yang Merajai Semesta Alam. Mungkin saja melihatku meminta penuh ketulusan, Dia akan menurunkan petunjuknya padaku.

     Aku berjalan keluar kamar, berjalan sendirian menuju musholla di tengah lapang pesantren putra. Malam ini rembulan bulat sempurna. Cahayanya terang, membantu mataku memilah jalanan malam. Sepi dan senyap . Semua pasien sudah tertidur. Sayup-sayup terdengar suara dengkuran Bang Udin. 

"Sliiiing ... slap !"

Terdengar suara berdenging, dan sesuatu yang menancap. Refleks aku menajamkan mata dan telinga. Di bawah pendar cahaya bulan yang kini tertutup awan, aku mencari asal suara. Dan telingaku memberi kode kalau suara itu berasal dari seberang sungai besar, pesantren putri. 

    Dengan langkah hati-hati aku mengendap-endap berjalan menuju pinggir sungai. Di bawah cahaya temaram, mataku menangkap bayangan hitam berdiri di tanah lapang. Di depannya ada papan bulat bergaris lingkaran yang makin ke dalam makin kecil. Sedang tangan bayangan itu menggenggam busur. Dan di punggungnya ada seperti bambu tempat anak panah berdiri tegak sama tinggi.

"Siapa yang malam-malam begini latihan memanah ?" Batinku heran.

Bahkan seumur hidup aku di pesantren ini, tak pernah sekalipun ada pelajaran memanah. Tapi apa yang dilihat mataku ini ?? Mungkinkah dia ninja, gumamku. Memang dari yang kulihat, sosok itu semua berpakaian gelap dan hanya mata saja yang terlihat. Aku makin penasaran, dan memutuskan untuk mendekat. Aku berjalan pelan menuju rimbunan bambu di tepi sungai. Berharap sosok itu tak menyadari kehadiranku. Aku mematung mengamatinya, dan mengeluhkan awan yang menutupi sinar bulan yang terang itu. 

  Saat aku mau fokus memata-matai sosok itu, sebuah anak panah melesat cepat ke arahku. Sebelum aku sadar atas apa yang terjadi, rasa panas menyobek pipiku. Tanganku dengan gemetar menyentuh pipiku yang kini terasa perih itu. Ada darah yang menetes dari sana. Saat aku menyadari anak panah itu telah melukai pipiku, ku arahkan pandangan mataku ke arah pemilik anak panah itu. Sejenak aku terpana. Awan yang tadinya menutupi sang bulan, kini telah bergerak hingga cahaya bulan kini menghujani sekitarku.

     Mataku seperti tak mau berkedip manakala melihat pemandangan menakjubkan di seberang sana. Dengan bermandikan cahaya bulan, sosok hitam tadi menjelma menjadi sosok wanita yang ternyata dia adalah wanita bercadar hitam yang selama ini membuatku penasaran. Jilbab hitam besarnya itu berkelebat manakala angin menerpanya. Mata lembutnya tajam menatap tempatku bersembunyi. Seolah dia tahu aku sedang bersembunyi mengawasinya dalam diam. 

    Mata kami saling terhubung dan ada rasa hangat yang menyusup masuk ke hatiku. Teringat kejadian tempo hari lalu. Kala aku terpeleset terjun ke sungai. Tangan wanita bermata lembut inilah yang sigap menahan tubuhku. Aku memberanikan diri untuk bergerak. Aku berniat menyapanya dan mengucapkan terimakasih atas bantuannya kemarin. Tapi sebelum aku beranjak dari tempat persembunyianku, terlihat sosok Bu Suci menghampiri wanita itu.

"Sahla ...." 

Panggil Bu Suci pada wanita itu. Dan mata wanita itu yang tadinya mengawasiku, kini beralih pandang pada Bu Suci.

"Mari masuk, sudah malam."

Dengan melingkarkan tangannya ke lengan wanita itu, Bu Suci menuntun wanita bernama Sahla itu pulang menuju asrama. Mataku mengawasi mereka berjalan menjauh dariku. Hingga samar-samar aku melihat Sahla menoleh padaku. Dan bagai terbakar, hatiku bergetar riuh. Lalu bibirku tersenyum. Mata itu, seperti membawa separuh hatiku bersamanya.

~~~~bersambung~~~~

No comments:

Post a Comment