23 October 2020

Part 10 *Ibuku Orang Gila*#IOG#PART 10#MM

Part 10 

*Ibuku Orang Gila*

#IOG
#PART 10
#MM

"Ya Allah ... !!!"

Bang Udin yang baru saja melek, langsung terkejut melihatku yang duduk sembari melipat kakiku di sampingnya.

"Lha kowe ki napa to Fem ? Ngageti tenan ! Itu mata kenapa, kok hitam-hitam kayak mata kuntilanak ?"

Bang Udin bangkit dan duduk sembari mengucek matanya berkali-kali. Melihatnya begitu membuatku makin durjana. Aku langsung merebahkan diri di kasurnya.

"Heh !! Bocah iki ?? Kenapa lho, Fem ?? Malah dlosoran di kasurku lho !"

Bang Udin memukuli pantatku dengan gemas. Melihatku tak menyahut, dia makin keras memukuliku.

"Hadaw !! Stop, Bang !! Pedes bokongku jadinya ." 

Aku duduk sembari meringis, mengelus pantatku yang terasa pedas karena pukulan Bang Udin.

"Lha ya ... ditanya wong tuo kok diem wae ! Kenapa lho ?? Kepikiran Bu Anggun ??"

"Ihh ... ngapain mikirin dia, Bang. Aku sedang mikirin wanita, Bang !"

"Lhaaa yo tho ? Kamu lagi puber pertama ki Fem ! Siapa wanita itu ?? Bu Anggun apa Nita ??"

"Ihhh ... bukan merekalah, Bang. Juga gak ada hubungannya sama pubertas kok." 

"Lho ... kalau bukan mereka, siapa ? Ketemu di mana ?"

"Di pesantren, Bang. Sumpah aku penasaran sama wanita itu. Dan tadi malam aku lihat dia sedang latihan memanah !"

"Weee ... kamu ngimpi kali, Fem ! Di sini gak ada yang namanya memanah. Apa kamu mimpi ketemu ninja atau pendekar mungkin."

"Masa mimpi, Bang ? Perasaan dari semalem aku ndak bisa tidur. Lagipula niiiih buktinya, semalem aku di panah dan untungnya meleset. Jadi cuma gores pipi doang."

Aku menunjukkan luka yang kini mulai kering itu. Bang Udin melihat dengan seksama.

"Kamu yakin, Fem ? Gak salah lihat ?"

"Ya gak lah ! Orang semalem Bu Suci manggil wanita itu Sahla. Dia wanita bercadar yang sudah aku temui tiga kali. Dan dia juga pernah nolong aku pas kepleset jatuh ke kali dari jembatan."

"Hmmm ... bercadar ?? Aku malah tak tahu ada wanita bercadar di sini !"

"Bang Udin tahu gak soal anak Pak Rahmat ? Punyakah dia anak perempuan ?? Soalnya dia akrab sama Bu Suci."

"Wah kayaknya Pak Rahmat gak punya anak wadon. Anaknya semua laki-laki. Yang pertama meninggal karena kecelakaan motor. Yang kedua meninggal karena sakit tipus pas usia balita. Dan sampai sekarangpun Bu Suci belum hamil lagi. Jadi bisa dibilang mereka tak punya anak. Ya menurutku, kamu itu yang seperti anak bagi mereka."

Aku mencerna perkataan Bang Udin. Memang sih aku pernah dengar cerita itu, tapi kurang jelas juga. 

"Apa mereka punya anak angkat ya, Bang ?"

"Gak tahu aku, Fem. Soalnya aku gak pernah masuk pondok putri. Benar-benar tertutup. Kalau pengurusnya aku kenal. Ada Bu Suci, Mbak Nur juga Mbak Sumini. Mereka seumuran sama Bu Suci. Apa mungkin yang kamu lihat itu pasien ya, Fem ?"

"Ya masa pasien bisa memanah tepat, pas di titik fokus ? Gak ada yang meleset, Bang ! Kayak atlet panahan pokoknya."

"Iyakah ??"

Aku dan Bang Udin terdiam. Hingga suara adzan subuh terdengar. Aku bangkit bergegas untuk ke masjid.

"Ayo Bang, sholat dulu. Nanti kita diskusi lagi."

"Bentar tak ambil sarung dulu ."

~~~~~~

    Aku berdiri termangu pada meja kayu besar di salah satu sudut pasar. Tanganku membawa kresek yang penuh dengan roti buatan ibu. Kemarin aku belikan ibu bahan-bahan roti. Dan ibuku menyambutnya dengan antusias. Biarlah uang tabunganku berkurang, tapi setidaknya modal awalku ini bisa menghasilkan keuntungan. Semoga saja.

"Kamu ngapain di situ, Le ?"

Aku menoleh ke asal suara. Bu Rukayah, pedagang bermacam-macam kue itu kini berdiri di sampingku. Matanya memandang ke plastik yang aku tenteng. Memang plastik itu berwarna putih bening, hingga terlihat isinya dari luar.

"Mau nitip roti ?" Katanya datar.

"Njih Bu. Saya Fembri, tinggal di pesantren An-Nuur sana. Ini mau nyoba nitip roti buatan ibuk saya. Kira-kira boleh gak ya ?"

Aku tersenyum sopan. Berharap ibuk itu memberi kesempatan.

"Coba lihat. Ada testernya gak ? Kalau gak enak aku gak mau jualin. Bukannya untung malah buntung aku, pelanggan pada lari nanti."

"Ohh ... ada Bu. Ini silahkan di coba."

Aku mengulurkan roti yang bertaburan kismis. Isinya sih selai blueberry.

"Penampilan sih bagus. Dari kamu harga berapa ?"

Bu Yah memutar-mutar roti, diendus-endusnya roti itu. Dia mengangguk-angguk setelah mencium aromanya. Lalu matanya menatapku, menunggu jawaban harga dariku.

"Oh ... maaf. Ini dari saya dua ribu rupiah, Bu." 

Matanya menyipit dan bibirnya cemberut .

"Laaaah ... larang kui, Le . Mahal bagi orang-orang. Kan aku jualnya harga seribuan semuanya. Lha masa ini dua ribu sendiri. Itu dari kamu, lha aku suruh jual berapa kalau begini ?"

Aku terhenyak. Memang sih harganya lebih mahal dari harga roti kebanyakan. Tapi secara kualitas, ini termasuk murah. Tanpa pemanis buatan, tanpa pengawet juga tanpa pewarna. Kalau roti harga seribuan, kebanyakan bantat. Kadang rasa semu pahit karena kebanyakan pemanisnya. Bahkan ada juga yang besar rotinya, tapi isinya nyaris kosong alias cuma seiprit. 

"Coba ibu cicipi dulu rasanya. Saya yakin panjenengan pasti ketagihan. Rotinya empuk dan lembut. Ini dibuat tanpa pemanis buatan juga pengawet. Pewarna juga alami dan aman. Saya yakin ini roti dijual dua ribu lima ratus atau tiga ribu juga pasti banyak yang mau. Sebandinglah dengan kualitasnya. Walau tanpa pengawet, roti bisa tahan 2 hari kok."

Aku terhenyak sendiri. Penjelasan dari mulutku ini mirip sales tambal panci. Nyerocos karena promosi. Ahhh ... entah menurun dari siapa bakat dagangku ini. Aku hanya tersenyum mengetahui bakat terpendamku. Bu Yah terlihat tak yakin dengan ucapanku. Akhirnya dia memasukkan juga potongan pertama ke mulutnya. Awalnya sih wajahnya datar, tapi semenit kemudian matanya berbinar. Di mataku, Bu Yah bagai bertaburan bintang di sekelilingnya. Kini dengan rakus, dia memasukkan potongan demi potongan ke mulutnya. Hingga kini roti itu lenyap tak bersisa. Aku tersenyum puas. Roti ibu memang juara !

"Gimana, Bu ?"

Dia tersipu malu karena roti tester dariku langsung lahap dia makan.

"Hehehe ... enak, Le ? Alus , lembut juga menul. Wanginya menggugah selera. Ini aku pernah dibawain oleh-oleh sodara dari Jogja. Katanya dari toko roti Anggun gitu. Rasanya mirip begini, tapi lebih enak ini Le. Di sana harga roti segini mencapai lima ribu sampai tujuh ribu. Ya wis ... itu kamu bawa berapa ??"

Aku tersenyum sumringah. Ahhh ... ibu, terimakasih. Mungkin dengan bakat ibu ini, kita akan sukses !! Mataku berbinar-binar. Ini barulah awal. Nanti aku akan coba mengumpulkan modal untuk membuka toko sendiri. Biarlah orang-orang merasakan roti ibu lebih dahulu. Tes pasar istilahnya. Nanti baru buat rancangan setelah pasar terbentuk. Aku berjanji pada ibu, bila aku sukses nanti akan ku belikan jilbab juga rumah yang hangat. Tunggu ya Bu, batinku.

"Saya bawa dua puluh lima biji, Bu. Dengan berbagai macam rasa. Tapi pukul rata saja, harga sama. "

"Okeee ... sini taruh sini."

Katanya sembari memberi ruang kosong di bagian paling depan. Lalu dengan tangan cekatan, dia menata hingga kini roti-roti itu berjajar rapi dan sempurna. Aku tersenyum puas.

"Oh ini masih ada sisa empat biji. Monggo ini buat Bu Yah saja."

"Lhooo ... nanti kamu rugi. Tapi ya makasih ding. Tapi beneran lho Le, rasa rotinya weeeenak tenan. Mirip rasa roti kelas nomor wahid. Tapi ini kamu buat sendirikan ? Baru kan ?"

"Alhamdulilah, Bu. Baru, fresh dan anget. Bisa jenengan raba, kan masih kerasa angetnya. Kalau tak percaya bisa datang ke pesantren."

"Halah ... iya, iya . Percaya deh. Saya juga kenal Bu Suci kok. Kapan-kapan plastiknya disablon, buat merek dagangmu. Kan lumayan, biar kelihatab berkelas sebanding dengan rasanya."

Benar juga ya ? Semoga saja.

"Doakan saja, Bu. " 

Aku tersenyum, hatiku begitu bahagia.

"Kalau mau kulak bahan roti, tuuuh di toko Aneka Resep sebelah lapangan futsal itu lho. Murah dan baru terus bahannya. Kan nanti kalau modalnya turun, harga juga bisa turun hehe."

Aku tersenyum melihat Bu Yah.

"Doakan saja, Bu. Makasih ya Bu, saya pamit dulu."

Aku berjalan pulang dengan semangat. Otakku mulai sibuk menghitung dan mengira. Bila semua roti itu laku, maka akan terkumpul uang lima puluh ribu. Sedangkan modal awal bersihnya hanya dua puluh lima ribu. Keuntungannya dua kali lipat. Hatiku melonjak gembira. Nanti kalau sudah jalan, ibu akan aku belikan peralatan untuk membuat roti. Karena sekarang mereka meminjam alat-alat milik Bu Suci.

~~~~~~

"Nih, uangnya. Habis ludes rotinya. Bahkan kurang banyak tadi. Maklum pedagang di sini datengnya pagi-pagi, banyak dari mereka yang belum sempat sarapan. Aku jual tiga ribu, untung seribu hehehe. Lumayanlah. Oh ya ... ada yang pesan roti ini. Minta 250 biji, untuk acara minggu lusa jam dua di masjid Al-Mukmin. Bisa gak ya ?"

Aku terkejut mendengarnya. Allahu Akbar !!! Hatiku bertakbir karena takjub. Terimakasih Ya Allah, Kau bukakan jalan untukku.

"Mau rasa apa, Bu ?"

"Campur-campur. Kalau bisa lebih gedean dikit ya ? Soal harga, manut ! Ini kata Bu Susi, mau ada acara di masjid. Minta 250 dan minta di antar jam satu siang. Bisa gak ?"

"Inn syaa Allah bisa, Bu." Kataku senang.

"Ini untuk DP awalnya. Lima ratus ribu ya ? Minta agak gedean rotinya, harga ikut kamu saja. Asal rasanya sama tadi lho ya."

"Ohhh ... baik, Bu. Terimakasih ."

"Sama-sama. Aku gak ambil untung dari ini. Aku cuma jadi perantaramu saja. Semoga ini rejekimu ya, Le. Sukses deh buat kamu dan rotimu."

Aku tersenyum bahagia.

"Makasih ya, Bu Yah."

"Hooh ... oh ya, tiap hari aku minta 35 ya. Yang seukuran tadi saja." 

"Oh iya, makasih Bu."

Aku beranjak pulang dengan bahagia. Kini aku membawa uang hasil jerih payah ibu. Alhamdulilah, aku begitu bersyukur.

"Kenapa senyum-senyum kamu, Fem ?"

Pak Rahmat sedang memotong rumput di depan pesantren.

"Assalamualaikum, Pak"

"Waalaikumsalam. Dari mana kamu ?"

"Oh ... Fembri dari pasar. Ini tadi nitip roti buatan ibu. Alhamdulilah habis semua. Dan malah untuk besok minta tambah. Juga ada pesanan roti banyak untuk minggu lusa."

Pak Rahmat berhenti lalu menatapku lekat.

"Alhamdulilah ...." katanya dengan pelan.

"Kamu gak tanya dulu sama ibumu ? Apakah dia mau membuatkan roti untuk pesanan itu ? Atau jangan-jangan kau sudah menyanggupinya tanpa bertanya pada ibumu ??"

Sorot Pak Rahmat menatapku tajam, walau begitu ada ketentraman di sana. Aku tercekat, tenggorokanku terasa tercekik. Kenapa aku bisa lupa ?? Saking senangnya aku asal menyanggupi tanpa mengingat kondisi ibu. Ya Allah ... bagaimana ini ?? Aku melihat uang lima ratus ribu itu dengan nanar. Aku bergegas berbalik menuju pasar. Niatku akan mengembalikan uang itu. Takut tak amanah karena keadaan emosi juga kejiwaan ibu yang tak stabil.

"Fem ! Tunggu !"

Suara Pak Rahmat menghentikan langkahku. Aku berbalik menatapnya tak mengerti.

"Mau ke mana ?" Tanyanya.

"Ke pasar, mengembalikan uang ini." Kataku sembari menunjukkan gulungan uang lima puluh ribuan itu.

"Kapan acaranya ?" Tanya Pak Rahmat santai.

"Dua minggu lagi." Kataku sedih.

"Jangan kesusu. Besok kalau ibumu membuat roti, datanglah. Temani ibumu dan lihat caranya membuat. Katakan padanya kau ingin belajar membuat roti darinya. Katakan pula, kau ingin menjualnya agar bisa membelikan mixer untuknya." Kata Pak Rahmat dengan tersenyum lembut.

"Maksud Pak Rahmat, aku harus belajar membuat roti sendiri gitu?"

Pak Rahmat mengangguk sembari tersenyum. Aku tak yakin dengan diriku sendiri. Apa bisa ??

"Aku yakin, bakat ibumu telah menurun padamu." 

Pak Rahmat mendekatiku, lalu merangkul pundakku. Berdua kami berjalan beriringan.

"Kau ingat ?? Sedari kecil kau suka roti. Bahkan hanya mencium baunya saja, kau bisa menebak isi roti itu. Padahal aku tak bisa. Dan istriku yang membuat saja, tak tahu mana isi kacang ijo, mana coklat. Tapi Allah menganugerahkan indra penciuman juga perasa yang tajam padamu. Ingat ketika kemarin ibumu mengadon ? Dia lupa mana yang sudah diberi ragi, tapi hanya dengan melihat saja kau tau mana yang ada raginya mana yang tidak. Bukankah kau hebat ??"

Aku terdiam, apakah aku sehebat itu ??

"Belum lagi saat mixer-nya rusak kemarin. Melihatmu mengocok adonan saja aku tahu kau punya bakat. Robohkanlah dinding pembatas di dirimu dan bangunlah rasa percaya dirimu. Aku yakin, kau bisa melampaui kekuranganmu. Cobalah besok, kau pasti menemukan bakat terpendammu."

Aku tersenyum lebar. Pak Rahmat benar ! Aku bisa belajar dan membuat roti sendiri !

~~~~~

    Sudah seminggu aku berlatih membuat roti pada ibuku. Sepertinya ibu tahu, anaknya ini sedang mencoba belajar darinya. Dengan masih tanpa kata, ibu membimbingku dengan sabar dan telaten. Awal pertama kali aku mencoba, rotiku rasanya hambar. Yang kedua, roti bantat. Yang ketiga, gosong. Yang keempat kasar dan berbutir. Yang kelima, sudah bagus tapi kurang mengembang. Yang keenam, sudah oke tapi lupa ngasih isian. Diam-diam aku kagum pada ibu. Keahliannya luar biasa. 

    Dan hari ini adalah hari ketujuh aku berlatih. Dan seperti biasanya, Mas Aan dan Bang Udin sudah duduk berjejer menungguiku memasak. Sudah enam hari berlalu, mereka masih setia menemani. Bukan karena memberi suport, tapi karena setor cengiran. Kadang setor hinaan juga tawa yang terbahak-bahak kala melihat hasil belajarku yang bisa dibilang gagal total. Dan mereka baru terdiam manakala aku sodorkan hasil karya gagalku itu. Tentu saja mereka lahap memakannya. Karena selama aku fokus berlatih, mereka memutuskan tak lagi memasak. Katanya eman kalau roti gagalku harus terbuang sia-sia. Biarlah perut kami yang menampung produk gagalnya, kata Bang Udin saat itu. Dan jujur, sikap konyol mereka itu membuatku makin bersemangat. 

"Fem ... Fem. Mau sampai kapan aku makan roti gagalmu itu. Yang bantatlah, apalah. Hmmmm ." Seru Bang Udin sembari menopang dagunya.

"Lah mending kalau bantat, masih enak di makan. Lha kalau gosong ! Renyah sih tapi ada rasa sedap-sedap pahitnya hahaha." Sambung Mas Aan.

"Lha yo siapa yang nyuruh kalian itu mogok masak ? Emangnya aku nyuruh ??" Kataku ketus sambil sibuk menguleni.

"Ya kan takut mubazir, Fem. Itu bahannya juga beli pakai duit bukan daun ! Bagi kita lebih baik makan roti hangat nan gosong daripada makan dari tong sampah. Kita semua kan pernah mengalaminya. Kita semua pernah susah." Kata Bang Udin.

"Iya ... kita semua sama. Yang beda cuma aku belum pernah gila sedang kalian pernah." Kataku sambil cekikian.

"Ohhh ... lha bocah semprul !!" Umpat Bang Udin.

"Ehh eh tapi memang kami pernah gila ya , Bang. Tapi kami jelas asal-usulnya Fem. Lha kamu ??" Terang Mas Aan.

"Lha kalian ini memang jelas asal-usulnya. Lha yo ngopo gak balik ke tempat asalmu itu. Lebih Mas Aan, orangtuanya kaya. Lha kok ya betah di sini sama aku yang bocah gak jelas." Kataku sembari cemberut.

"Bagiku bersamamu itu adalah anugerah, Fem. Aku lebih suka di sini denganmu. Aku bisa tertawa karena puas menjahilimu. Aku bisa bahagia karena lihat ilermu kala kamu tidur. Aku juga bahagia manakala lihat kamu masak roti gosong begini. Aku merasa hidup di sini Fem. Yang pasti kamu spesial bagiku." Kata Mas Aan.

"Sapi sial yang bener hahaha ." Bang Udin menyahut dengan tertawa.

"Isssh ... hus hus ! Keluar sana. Eneg aku lihat kalian di sini. Jangan-jangan rotiku gagal karena kalian ada di sini nih ." 

Aku mulai terusik dengan kejahilan mereka. Aku menengok oven, aroma harum menguar dari sana. Bahkan terlihat adonan rotiku kini mengembang sempurna. Setelah ku rasa pas waktunya, aku membuka oven itu. Langsung aroma wangi rotiku mengusik hidung kami. 

"Ehh ... kayaknya yang sekarang berhasil Fem ! Wangi juga ngembang banget." Kata Mas Aan. 

Ku keluarkan roti itu dari oven. Lalu menaruhnya di meja. Terlihat Bang Udin menelan air liur. Sungguh rotiku begitu menggoda.

"Bang Udin, kayaknya kali ini sukses nih. Aromanya hmmm ... khas. Terus itu juga ngembang banget rotinya. Itu kamu kasih isian g ?"

Mas Aan mulai mengelus perutnya . Kok ya gak bosen makan roti, batinku.

"Kasih doooong. Tapi nanti ada varian baru. Nyoba aja siiih ."

"Wow ... ! Rasa apaan, Fem ?" Mata Bang Udin berbinar.

"Hmmm ... kacang merah dan selai kelapa."

"Wuiiih ... ngiler aku Fem ! Dah dingin belum itu ? Gak sabar nih ."

Aku menyodorkan roti dengan isian baru. Yang selai kelapa aku kasih ke Bang Udin sedang Mas Aan aku kasih yang kacang merah . Mereka menerima dengan senyum puas. Kalau dari penampilan luar, sepertinya sudah mirip dengan punya ibu. Tapi kalau rasa aku tak tahu. Dengan dag-dig-dug aku menunggu testimoni Bang Udin dan Mas Aan. Mereka memakan sepotong demi sepotong. Hingga mereka bersorak berbarengan.

"Sukses, Fem !!"

Aku langsung melonjak gembira. Perjuanganku seminggu ini berbuah manis. Kini semua takaran juga cara mengolah sudah terekam jelas di memoriku. Akhirnya minggu depan aku bisa memenuhi pesanan masjid, alhamdulilah.

"Enak Fem yang rasa kelapa. Gurih manis." Kata Bang Udin.

"Kacang merahnya juga. Manisnya pas. Gurih juga pas. Selamat ya Fem ? Akhirnya jalanmu untuk sukses terbuka lebar."

Mas Aan dan Bang Udin memelukku erat. Aku pun membalas pelukan mereka. Air mata mengalir deras di pipiku. Ahhhh ... benar kata Pak Rahmat. Aku memang memiliki bakat. 

"Terimakasih semuanya." Kataku sembari mengusap air mataku.

~~~~BERSAMBUNG~~~~

Penggalan untuk part depan.

Aku berlari cepat menuju aula pesantren. Menurut Mas Aan ada wanita cantik mencariku. Aku menduga itu adalah Mbak Nita. Dan benar saja, dengan menggunakan kerudung lilit Mba Nita menyambutku dengan senyuman.

"Hai, Fem ! Apa kabar ?"

Wajah cantiknya menghias mataku. Ada desiran aneh bergelayut di hatiku. Wajahku tiba-tiba memanas.

"Ba ... baik Mbak. Ada perlu apa Mbak ke sini ?"

"Ada info penting nih. Dan aku memang sengaja ingin menemuimu. Karena aku tak bisa menghubungi via telepon. Dan aku juga ingin bertemu dengan ibumu."

💕💕

Info apakah yang Nita ingin sampaikan ?
Bagaimana reaksi ibu Fembri saat bertemu Nita ?
Akankah Nita dan Ibu Fembri saling mengenal ?
Lalu kenapa setelah setahun Nita baru muncul ?
Siapakah sosok Sahla, wanita bercadar itu ?
Adakah hubungan antara Sahla dan Fembri ?

No comments:

Post a Comment