Aslkm.....
Semangat pagi....
Part 11
*Ibuku Orang Gila*
#IOG
#PART 11
#MM
Ting ... ting ... ting.
Suara notifikasi dari ponselku berbunyi beriringan. Aku hanya tersenyum sembari berdiri di depan oven. Bagaimana aku tak tersenyum ? Setiap satu dering notifikasi itu berarti satu orderan telah masuk. Dan itu berarti pundi-pundi rupiah mengalir ke rekeningku.
Kini usaha rotiku berjalan lancar. Berawal dari kutitipkan di pasar, hingga menerima orderan untuk sebuah acara. Kini roti buatanku memasuki pasar online. Banyak para ojol antre di depan rumah. Ya ... rumah. Kini aku sudah bisa mengontrak di samping pesantren. Walau aku masih tidur di pesantren dan tinggal di sana, tapi urusan membuat roti kami pisah. Hingga tak mengganggu kegiatan pesantren. Sebab hilir mudik para ojol cukup mengganggu.
Kini rotiku menjadi banyak dikenal setelah setahun berlalu. Ibuku ? Kini dia sudah bagus. Walau masih tanpa kata, dia sudah berkembang pesat. Kini dia bisa memasak selain roti. Bahkan bisa membantu menenangkan pasien. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Hanya dengan kode juga tatapan mata, ibuku berhasil membuat beberapa pasien yang mengamuk menjadi bungkam. Dan pastinya hal ini sangat membantu pesantren.
"Mas ... punyaku sudah ada belum ?"
Lamunanku buyar seketika. Aku menengok lalu tersenyum kala ojol langgananku berdiri di depan etalase.
"Sudah ... tuh sudah ada nama sampeyan. Ambil saja. Maaf membuat sampeyan lama menunggu."
Dia manggut-manggut lalu tersenyum. Setelah dicek, dia pamit. Aku bersyukur, karena roti buatanku sampai ke tangan pelanggan masih hangat. Setidaknya kepuasan mereka adalah nilai tersendiri untukku.
"Mas ... punyaku sudah ?"
"Punyaku sudah belum ?"
"Orderan ketigaku sudah ada belum, Mas ?"
Beramai-ramai para ojol memberondongku dengan pertanyaan yang isinya sama.
Aku berhenti menguleni, lalu menuju ke depan. Dengan telaten aku membagikan plastik berisi nomor juga nama antrean. Para ojol tersenyum puas. Satu persatu dari mereka yang sudah menunggu 15 menitan kini memacu motornya menuju rumah pelanggan.
"Maaf, Fem. Ada tamu tuh ! Cewek, cantiknya kebangetan. Kurang ajar kau, Fem ! Punya kenalan kayak artis gitu gak dikenalin ke aku."
Aku menatap Mas Aan dengan heran. Wanita cantik ? Siapa ?
"Cantik banget, Fem. Katanya nyarik Fembi gitu."
"Pelanggan mungkin, Mas. Kenapa gak diajak ke sini aja." Kataku sembari membuka oven.
Ini adalah adonan terakhir hari ini. Orderan yang masuk setelah jam 6 pagi, akan aku kerjakan besok hari. Jadi para pelanggan sudah hafal betul aturanku. Makanya para ojol sudah antre sejak jam 5 pagi tadi. Setelah jamaah subuh, aku baru buka toko kecil itu.
"Kalau pelanggan sih kayaknya bukan, Fem. Soalnya dia dari Jogja katanya."
"Jogja ?"
Aku mengernyitkan dahi. Aku segera melepas topiku lalu mengambil jaket dan ponsel.
"Sekarang orangnya di mana ?"
"Tuuuuh di aula pesantren. Lagi nungguin kamu di sana."
Aku berlari cepat menuju aula pesantren. Menurut Mas Aan ada wanita cantik mencariku. Aku menduga itu adalah Mbak Nita. Dan benar saja, dengan menggunakan kerudung lilit Mba Nita menyambutku dengan senyuman.
"Hai, Fem ! Apa kabar ?"
Wajah cantiknya menghias mataku. Ada desiran aneh bergelayut di hatiku. Wajahku tiba-tiba memanas.
"Ba ... baik Mbak. Ada perlu apa Mbak ke sini ?"
"Ada info penting nih. Dan aku memang sengaja ingin menemuimu. Karena aku tak bisa menghubungi via telepon. Dan aku juga ingin bertemu dengan ibumu."
Melihat keseriusan dari wajah Mbak Nita, aku langsung duduk di depannya. Aku menatapnya serius. Setahun sudah berlalu sejak kejadian itu. Dan tanpa kabar selama ini, tiba-tiba Mbak Nita menemuiku.
"Info apa yang mau Mbak Nita sampaikan ?"
Sungguh hatiku tak karuan. Walau dia memakai penutup kepala, tetap saja pakaiannya ketat. Mata oh mata, nunduklah ! Penutup kepala yang menjuntai menutupi dadanya itu kimi dia sibak ke bahu.
"Tapi sebelum itu, bolehkah aku ketemu ibumu ? Karena selama setahun ini aku mencari info tentang masa lalu mamaku. Dan menemukan fakta yang mengejutkan. Aku takut ini menyangkut juga dengan ibumu."
Aku menghela nafas panjang. Leherku serasa tercekik. Fakta apa yang Mbak Nita maksud ? Mungkinkah seperti dugaanku dulu ?
"Maaf, Mbak. Ibu lagi ke pasar, membeli bahan-bahan roti. Mungkin sebentar lagi dia pulang. Mau minum apa, Mbak ?"
Aku bangkit menuju dapur aula. Ku lirik Mbak Nita yang masih sibuk dengan kerudungnya itu. Ahhh ... mungkin karena belum terbiasa jadinya dia merasa riweh.
"Boleh minta yang seger gak ? Mungkin es teh gitu ? Sumpah, perjalanan ke sini jauh dan panas banget. Sampai aku nyasar berkali-kali hehehe."
"Oke . Tunggu sebentar, Mbak."
Sembari membuatkan minum untuk Mbak Nita. Pikiranku menerawang jauh. Bersyukur selama berbisnis roti dan kini makin berkembang pesat, tak pernah lupa aku membelikan baju juga jilbab untuk ibu. Hingga kesan dekilnya beberapa tahun silam, kini tak lagi berbekas. Kalau orang yang baru kenal, pasti berpikir ibuku orang normal yang bisu. Padahal dia tak bisu, hanya enggan bicara mungkin.
"Monggo, Mbak minumnya. "
"Oke ... thanks ya ?"
Aku mengangguk dengan tersenyum. Mataku sesekali menatapnya lekat. Setahun tak berjumpa, dia sudah cukup berbeda. Kini rambutnya agak pendek, yang dulunya berwarna hitam kini agak blonde.
"Gimana kabarmu setahun ini ?"
Aku menatapnya lalu mengalihkan pandangan ke jam dinding di sebelahku.
"Baik, Mbak. Kalau Mbak Nita sendiri, setahun ini kabarnya bagaimana ?"
"Haahaha ... aku sudah lulus kuliah. Tapi langsung terjun ke toko roti mamaku. Berapakalipun aku belajar dari mama, adonanku tak pernah bisa menyamainya sedikitpun. Kalau kamu, roti apa yang kau jual ?"
"Kok Mbak Nita tahu aku jualan roti ?"
Aku memandangnya curiga.
"Ya tahulah, setiap aku tanya orang di jalan. Jawabnya ohhh ... pesantren yang punya usaha roti enak itu ya. Ehhh ... ternyata benar ! Kamu yang buat ?" Tanyanya.
"Iya Mbak . Sebentar ya, Mbak ."
Aku bangkit menuju warung di depan pesantren. Masih ada sisa roti yang aku jual tadi. Para ojol yang tadinya berbaris di sana, kini tak nampak batang hidungnya. Kini sepi dan lengang. Ku ambil beberapa roti dan menaruhnya di piring ceper. Aku memandang bungkus roti itu. FemNUR bakery, label merek rotiku. Fembri dari An-Nuur maksudnya.
~~~~
Terdengar suara motor yang menderu-deru, bising sekali hingga memekak telinga. Mungkinkah ada pawai atau tour sebuah klub motor ? Aku mengintip dari balik etalase. Puluhan motor berbaris dengan gaya ugal-ugalan. Sedang orang yang menaikinya berpenampilan garang dan sangar. Aku memperhatikan mereka hingga melihat dua orang preman yang mengejarku dulu.
Hatiku berdetak kencang, naluriku mengingatkan tanda bahaya. Bukankah itu preman, anak buah dari Bu Anggun yang pernah ingin melukaiku dulu ? Setelah setahun berlalu, kenapa mereka muncul kembali ? Di tempat ini pula ! Aku menelan ludah dan segera berlari dengan masih membawa sepiring roti. Pak Abu dan Pak Rahmat sedang pergi keluar. Bang Udin mengantar pesanan roti. Sedang Mas Aan berjaga di pondok putra. Sementara ibuku dan Bu Suci sedang berbelanja di grosiran yang letaknya cukup jauh.
Dengan mata kepalaku sendiri, preman-preman itu membanjiri aula pesantren. Bahkan beberapa ada yang memecahkan vas bunga. Aku segera berlari dengan peluh dingin membasahi wajahku. Aku tak siap dengan hal ini. Sungguh kejadian ini tak terduga. Dari mana mereka tahu aku di sini ? Mbak Nitakah ? Lalu apa tujuan Bu Anggun mengirim mereka semua ke sini ??
Terdengar teriakan Mbak Nita dari dalam aula. Aku mempercepat langkahku dengan gusar. Terlihat seorang lelaki paruh baya dengan rambut hampir semua memutih duduk di salah satu sudut ruangan. Tangannya memegang cerutu besar sedang asap mengepul dari mulutnya. Kakinya duduk menyilang seolah-olah ini adalah rumahnya sendiri. Mbak Nita tangannya dipegang kuat oleh preman yang dulu mengejarku. Terdengar dia memanggil pria berambut putih itu dengan julukan bos.
"Siapa kalian ?? Dan kenapa kalian ke mari ??" Kataku tegas walau jantungku bagai tak lagi di tempatnya, takut.
"Kami ke sini menjemput Mbak Nita." Kata preman yang memegang tangan Mbak Nita.
"Heh ... Gundul ! Lepasin aku ! Kamu tahukan aku ini anak bos besarmu, beraninya kamu seperti ini ! Lepasin !!"
Mbak Nita meronta ingin melepaskan diri. Tapi cengkeraman lelaki kekar sangat kuat. Tenaga wanitanya bukan tandingan.
"Heh ... aku berani begini juga karena Bu Anggun yang ngasih perintah. Pokoknya mau tak mau harus membawamu pulang . Juga menghabisi pria bernama Fendi ini ." Katanya sembari menyeringai padaku.
"Terlalu banyak omong kau, Ndul ! Cepet selesaikan ! Sumpek aku di sini." Kata orang yang dipanggil Bos itu.
"Oke ... ayo cepet kerjain !"
Mbak Nita diseret dengan paksa. Tanpa pikir panjang aku ingin melepaskannya dari tangan pria plontos itu. Tapi tanganku diseret anak buahnya. Aku berusaha melawan, tapi mereka main keroyokan. Satu banding lima orang. Tanpa ampun mereka memukuliku. Sedang sisanya mengobrak-abrik tempat itu. Roti dalam piringpun tak luput dari kebrutalan mereka. Saat piring roti itu pecah, pria berambut putih itu mengambil sebuah roti dari sana. Tanpa terganggu adegan anarkis anak buahnya, dengan santai dia membuka bungkusan plastiknya dan memakannya.
Tapi tiba-tiba dia berhenti mengunyah roti itu. Lalu dengan teliti dia membaca label merk yang tertulis di plastiknya. Lalu memandangku tajam. Matanya sangat menakutkan.
"Hentikan !" Katanya dengan tegas.
Matanya masih menatapku tajam.
"Katakan padaku, siapa yang membuat roti ini ?"
Dia memandangku dengan serius. Aku yang mulai lemas karena pukulan bertubi-tubi preman itu mencoba bangkit. Dengan wajah hancur penuh lebam, aku berdiri terhuyung. Dari sudut bibirku keluar darah segar. Sedang mataku sipit sebelah karena hantaman bogem mentah mereka.
"Aku tanya padamu ?? Siapa yang membuat roti ini ?!"
Pria berambut putih itu menatapku makin tajam. Nada bicaranya hampir membuatku berdiri ketakutan. Tapi melihat betapa rusaknya aula ini membuat ketakutanku menguap sudah. Ketakutan itu kini berubah menjadi kemarahan dan keberanian. Muak dengan cara bancinya yang hanya bisa menindas mereka yang lemah !
"Aku yang membuat roti itu ! Apa matamu tak bisa membaca ?? FemNur Bakery. Itu adalah aku ! Dan jangan lagi panggil aku Fendi, namaku Nofembri !"
Aku menatapnya tajam walau mataku sipit sebelah. Rasa perih dan sakit tak lagi kurasa. Bukankah hidupku selama ini lebih perih dan menyakitkan ?? Pria itu membalas tatapanku. Dia kini berjalan mendekatiku.
"Kalau memang kau yang membuatnya, darimana kau belajar membuat roti ini ?"
Aku hanya tersenyum kecut.
"Enakkah ?? Kau mau lagi ?" Kataku lantang.
Bukannya menjawab, dia meninjuku tepat di hidungku. Kini darah mulai menetes dari sana. Kepalaku sejenak pusing. Tapi entah kenapa otakku terasa lebih jernih.
"Katakan padaku ! Dari mana kau belajar membuat roti ini ? Mencuri resepkah ?"
Matanya bagai menusuk mataku. Tapi aku tak gentar sedikitpun. Melihatnya terprovokasi ucapanku, membuatku merasa di atas angin.
"Aku ? Anak orang gila tak mungkin mampu sekolah untuk belajar membuat roti. Apa ?? Mencuri resep ? Hahahah . Apa wajahku mirip seorang pencuri ? Rupanya bukan hanya mata hatimu yang tak bisa melihat. Tapi ternyata matamu itu hanyalah hiasan tak berguna."
"Kurang ajar !!!"
Dengan langkah geram, tangannya menarikku lalu memukuliku bagai kesetanan. Tapi entah kenapa, tak terasa sakit bagiku. Tapi Mbak Nita berteriak histeris melihatku dihujani bogem mentah anak buah ibunya. Bukannya berhenti, mendengar Mbak Nita memohon agar dia melepaskanku dia makin tersulut semangatnya. Hingga tangannya mengambil asbak kaca di meja dan mengangkat tinggi-tinggi untuk memukulku. Tapi sebelum asbak itu mendarat di kepalaku ....
Sliiiiing ... pyar !!!!
Sebuah anak panah yang ujungnya tumpul dan berkaret itu tiba-tiba meluncur cepat tepat mengenai asbak kaca. Asbak kaca itu terlepas dari tangan pria itu lalu pecah berkeping-keping di lantai aula. Pria itu kaget dan langsung mencari siapa yang meluncurkan anak panah itu. Belum sampai dia menemukan asal anak panah itu, tiba-tiba anak panah menghujani mereka. Tumpul dan berkaret, tapi cukup membuat lebam-lebam bila terkena. Aku yang masih terlentang di lantai, dengan mata sipitku melihat wanita bercadar itu berdiri di balik jendela. Tangannya memegang busur panah dan terus meluncurkan anak panah ke arah preman-preman itu.
Langsung saja, preman-preman itu berhamburan karena menghindari serangan anak panah yang bertubi-tubi. Bahkan ada yang terkena matanya, pipinya juga tubuhnya. Aku melihat wanita itu begitu cekatan juga rileks melakukannya. Seolah tanpa beban. Hingga pria berambut putih itu berhasil menemukan wanita bercadar itu. Dengan kasar dia menyeret jilbab besarnya lalu menarik cadarnya.
Aku terkesima. Dari balik kedua mataku yang kini bengkak, aku bisa melihat keindahan di sana. Wajah ayu nan putih bersih bersembunyi dari balik cadarnya. Mata coklat dengan bulu mata lentik menatapku tanpa ekspresi. Bahkan aku tak menemukan sedikitpun ketakutan di sana. Dia tegak, diam dan kokoh. Dingin tak tersentuh tapi di balik bibirnya tersungging senyum yang samar. Ahhh ... jantungku bagai ditikam berkali-kali ! Sosok yang selama ini membuatku penasaran kini berdiri tegak di depanku dengan tanpa penutup wajah. Membuatku jantungku berdesir dan hatiku melayang, dahsyat ! Aku membalas senyumnya tapi terasa perih.
"Ahhh ... ada ninja beneran rupanya ! Hahahaa . Wanita sepertimu mau melawanku ?? Harusnya kau sembunyi di bawah ketiak ayahmu, bukannya melawanku."
Pria itu mengangkat tangannya lalu berusaha untuk menyentuh pipi wanita bercadar itu. Tapi sebelum sampai, tangannya lebih dulu diputar oleh wanita bercadar itu hingga kini dia merasakan kesakitan di tangannya. Terdengar bunyi klek di tangan pria itu. Lalu dengan kasar, pria itu dilemparkannya ke samping. Melihat bos mereka disakiti, para preman mulai maju menyerang wanita bercadar itu. Dengan sigap dan tangkas, wanita itu berkelit dan memukuli para preman itu bergantian.
Aku makin melongo, wanita ini sungguh hebat ! Bukan hanya ilmu memanahnya, tapi bela dirinya sangat mumpuni. Melihat wanita itu melawan para preman seorang diri, si Gundul yang memegang Mbak Nita gerah. Dilepaskannya Mbak Nita lalu mendekati wanita bercadar itu. Tapi saat akan menyerang Sahla, Gundul tiba-tiba jatuh tersungkur. Mbak Nita melawannya ! Lagi-lagi aku melongo. Aku lupa mantan pacarnya pernah bilang kalau sebenarnya Mbak Nita itu wanita tangguh yang pandai beladiri. Aku makin malu melihat kedua wanita itu berputar, menendang juga meninju dengan gesit. Sedang aku yang laki-laki malah terkapar tak berdaya.
Pria berambut putih berdiri gusar sembari melihat kekacauan itu. Satu persatu anak buahnya tumbang. Dia mengambil vas yang ada di pojokan aula lalu menghantamkannya di telapak tanganku. Aku berteriak keras, kesakitan. Aku bisa merasakan tulang-tulang jariku remuk ! Mbak Nita segera berlari mendekatiku.
"Koco !!!!"
Suara lantang seorang wanita menggema di aula. Dengan pandangan mataku yang kini mulai samar, terlihat wajah ibuku yang terlihat garang.
"Dasar laki-laki bejat ! Mau sampai kapan kau menjadi anjing suruhannya Anggun ha ?"
Apa ???? Ibuku bisa berbicara ? Dan ... dia bilang Anggun ?? Aku makin tak mengerti. Ku arahkan mataku ke arah pria berambut putih itu. Mulutnya menganga lebar dan matanya melotot hampir keluar dari tempatnya. Kakinya bergetar hingga lututnya saling beradu. Dia menatap ibuku dengan ekspresi tak percaya. Sedang Mbak Nita melongo melihat ibu.
"Bu Anggi ... ???"
Suara pelan nan serak keluar dari mulut pria berambut putih itu.
~~~~BERSAMBUNG~~~~
Roda itu berputar,.
ReplyDelete