Part 12
*Ibuku Orang Gila*
#IOG
#PART 12
#MM
Semua orang kini terdiam membisu. Preman yang tadinya mengamuk tanpa ampun, kini mendadak diam seketika. Setelah melihat bos mereka gemetaran melihat sosok seorang wanita yang mirip Bu Anggun itu. Aku yang masih terkapar penuh luka kini ditolong oleh Mbak Nita. Aroma parfumnya menguar menerpa hidungku. Sedang Sahla kini telah bergerak mengambil cadar dan memakainya kembali.
"Dasar lelaki tak punya harga diri ! Mau sampai kapan kau menghancurkan hidupku !"
Ibuku menatap tajam pada laki-laki itu. Sedang kini lelaki itu duduk bersimpuh di depan ibu.
"Be ... be ... benarkah Anda ini Bu Anggi ?"
Lelaki itu menatap ibu dengan tatapan tak percaya. Kini wajahnya pucat pasi sepucat rambut di kepalanya.
"Kamu masih mengenali saya ?? Hebat kau, Koco ! Ya ... akulah Anggi yang ingin kau bunuh dulu ! Kaget ?? Kau pasti bertanya-tanya, kalau aku berdiri di sini, lantas siapa yang terkubur di makam bertuliskan namaku bukan ?!"
Laki-laki itu kini bermandikan peluh. Berulangkali dia menelan saliva tanda kecemasan yang teramat sangat.
"Katakan pada Anggun ! Mau sampai kapan dia merebut semua yang ku miliki. Bukankah dia telah merebut semua duniaku ?? Bahkan hasil rampasannya itu membuat dia bergelimangan harta, bermandikan kemewahan ? Ambil saja apa yang dia mau dariku, asal jangan dia !!"
Telunjuk ibu lurus menudingku. Kini air matanya mulai menetes dari matanya. Lalu perlahan dia menoleh padaku, jelas terlihat kesedihan nampak di wajahnya. Tapi di sela-sela air matanya, tersungging senyum hangat untukku. Arrrghh ... hatiku serasa disayat sembilu ! Senyum itu ! Senyum yang selama ini ku tunggu. Lalu kapankah kau memanggil namaku, ibu ??
"Katakan pada Anggun, jangan sekali-kali menyentuhnya walau seujung rambutpun ! Dia adalah anakku ! Dia adalah harta terakhir yang ku miliki. Walau duly aku lebih mengalah karena rasa saudara, kini siapapun yang berani menyentuhnya, aku akan menghancurkan dunia megah yang dia bangun hingga rata dengan tanah ! Kalau Anggun masih bersikeras, katakan padanya. Fembri adalah duniaku ! Sebelum kalian membunuhnya, langkahi dulu mayatku !!"
Kini bulir bening mulai menyeruak keluar dari mataku yang bengkak. Seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan telah benar-benar menjadi anaknya. Ibu bilang aku dunianya ?? Ibu bilang aku harta terakhirnya ?? Dan apa tadi ?? Dia memanggil namaku ?? Hiks hiks ... air mata membanjiri wajah bonyokku dengan tak terbendung lagi. Aku serasa menggenggam dunia. Iya ... ibuku memanggilku Fembri ! Hal yang selama ini ingin aku dengar sepanjang hidupku.
"Bagaimana Anda bisa selamat dari kejadian itu, Bu ?"
"Ahahahaha. Hey, Sukoco !!! Pikirmu Allah akan terus memuluskan niat jahatmu ? Pikirmu Allah akan terus membiarkan kalian berdiri sombong di atas kejahatan ? Walau kalian pikir itu mustahil, tapi inilah aku. Aku masih sehat, kuat dan hidup . "
"Lalu apa benar dia anak Anda, Bu?" Tanya Koco lagi.
"Tentu saja. Dia lahir dari rahimku, tumbuh membesar dari air susuku. Kenapa ?? Kau tak percaya ??"
Ibu mendelik tajam pada Sukoco. Aku jadi bergidik ngeri. Ibuku bisa menjadi semenakutkan ini ! Padahal selama ini, Bu Anggun lebih menyeramkan. Tapi aku baru tahu, ibuku lebih menyeramkan.
"Lalu siapa ayah dari anakmu itu, Bu? Bukankah ...."
"Tutup mulutmu, Koco !"
Ibu mendesis marah. Dia berjalan mendekatinya lalu meminta sesuatu darinya. Dengan tanpa penjelasan lengkap, Koco tahu apa yang dimaksud ibu. Tangannya merogoh sesuatu dari kantong celananya. Dengan keras, ibu merebutnya dari tangan Koco. Sedang dia hanya pasrah. Ibu membuka dompet itu lalu mengambil semua uangnya. Lalu mendekati Gundul yang berdiri dengan hidung berdarah.
"Ambilkan semua uang dari ATM ini."
Dengan ragu, dia menerima kartu itu. Lalu menoleh dengan wajah ketakutan pada Koco. Koco hanya mengangguk pasrah.
"Ambil semua uang dari sana. Lalu serahkan pada Bu Anggi. Pin ATM-nya 001122."
Mendengar perintah langsung dari bosnya, Gundul segera berlalu dengan langkah pincang.
"Aku tak mau tahu, segera bersihkan tempat ini !"
Kata ibu dengan keras dan tegas.
Tanpa banyak basa-basi, Koco menyuruh anak buahnya membersihkan semua kekacauan ini. Dengan langkah santai, ibu mendekatiku. Dengan mata lembutnya, dia mengusap wajahku yang babak belur. Air matanya deras mengalir hingga jatuh mengenai wajahku.
"Maafkan ibu ya, Nak ? Maaf selama ini ibu berbohong padamu."
Aku hanya terdiam dengan air mata keharuan. Entah kenapa, mendengar ibu membelaku juga memanggilku membuat aku begitu terharu. Lalu ibu menatap Mbak Nita yang jongkok di sampingku. Dengan ekspresi terkejut, ibu melihatnya.
"Nita ?!"
Dengan jelas aku mendengar ibu memanggilnya. Aku lirik Mbak Nita. Kini tangan kiri Mbak Nita menutup mulutnya sedang air mata membanjiri wajah. Tapi pandanganku makin kabur bersamaan dengan pusing hebat di kepalaku. Dengan samar-samar aku melihat Mbak Nita memeluk ibuku. Lalu bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu tapi tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Hingga akhirnya aku tak lagi bisa melihat dan mendengar, pingsan.
~~~~
Aku terbangun di ruangan serba putih. Mataku yang masih belum membuka sempurna hanya melihat samar-samar. Terdengar pula suara seseorang di sampingku. Aku mulai menggerakkan kaki dan tanganku. Tapi tanganku terasa kaku . Seperti tak bisa digerakkan. Lalu perlahan aku berkedip, hingga mataku bisa menangkap cahaya lampu putih di langit-langit.
"Alhamdulilah ... kamu sudah sadar, Fem ?"
Aku menoleh pelan mencari asal suara. Terlihat Bang Udin, Pak Abu juga Mas Aan duduk berderet di sampingku. Aku tersenyum melihat mereka ada di saat ku membuka mata.
"Gimana, Fem ? Sudah baikan ?" Tanya Bang Udin.
"Alhamdulilah ...." Kataku pelan.
"Ibu di mana, Bang?"
Aku teringat ibuku.
"Ohhh ... Bu Anggi di pesantren."
Pak Abu tersenyum padaku. Terasa asing saat ibu dipanggil Bu Anggi. Dan mendengar penuturan ibu soal Bu Anggun, aku yakin sekali itu ada hubungannya dengan perlakuan preman di pesantren kemarin. Benarkah Bu Anggun sudah tahu kalau aku anak dari Bu Anggi, saudaranya yang ternyata masih hidup ? Pikiranku kacau, berusaha menghubungkan benang merah diantara keduanya. Lalu kenapa ibu bilang kalau dia telah berbohong ? Soal apakah itu ? Aku jadi teringat kala Mbak Nita memeluknya erat. Aku penasaran dengan apa yang dia katakan pada ibuku. Sayang sekali, sebelum aku mendengarnya, aku lebih dahulu pingsan.
"Maafin kami, ya, Fem ? Disaat kau butuh bantuan, kami tak ada." Ujar Bang Udin sedih.
"Hiks hiks. Aku juga minta maaf, ya, Fem. Aku malah ketiduran di musholla . Aku sedih sekali." Mas Aan pun menangis sesegukan.
"Tak apa semuanya. Aku tak apa-apa kok."
Aku tersenyum pada mereka.
"Tapi aku menyesal, Fem. Sungguh ! Andai mereka datang pas aku di sana, pasti mereka akan babak belur. Aku kan pandai silat. Ciiiiat ... ciaaat ... wadaaaaw ... slup ... slap ."
Mas Aan mempraktekkan ilmu beladirinya. Membuat semua orang yang di sana tertawa terhibur. Lalu tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyerangku. Sepertinya berasal dari tangan kananku.
"Arrrgh ... aduuuh ." Desisku pelan sembari mengerang kesakitan.
"Waaah itu biusnya mulai hilang efeknya. Pasti senut-senut banget rasanya. Sabar, Fem."
Pak Abu menyentuh bahuku dengan lembut.
"Iya ... sabar, Fem. Beruntung tanganmu itu bisa diperbaiki. Hampir saja diamputasi karena tulang jari-jarimu hancur." Bang Udin menyahut.
Mendengar itu, Pak Abu menyikut Bang Udin. Matanya mendelik seolah-olah menyuruhnya diam. Bang Udin hanya garuk-garuk kepala merasa bersalah.
"Memangnya tanganku bagaimana keadaannya, kok mau diamputasi ?" Tanyaku kaget.
"Iya ... jari-jarimu remuk. Bahkan hampir saja putus. Tapi alhamdulilah dokter bisa memperbaikinya. Kan kemarin kau dioperasi, Fem. Setidaknya sebulan baru sembuh tanganmu itu. Jadi bersabarlah."
Pak Abu menenangkan.
"Sebulan ?? Astaghfirullah. Lalu bagaimana pesanan juga pelangganku ?"
Aku begitu sedih. Di saat jalan rejeki terbuka lebar, tapi musibah menghampiriku.
"Jangan khawatir, semua sudah diurus ibumu juga Bu Suci."
Pak Abu tersenyum lembut padaku.
"Ibu ??"
"Iya ... tenang saja. Ibumu sangat bisa diandalkan sekarang. Katanya untuk biaya operasimu. Tapi memang Allah Maha Baik, pelanggan makin banyak. Bahkan banyak para pemilik toko roti yang minta diisi roti buatan ibumu."
"Alhamdulilah ...."
Aku bersyukur sekali.
"Lalu, bagaimana Mbak Nita setelah kejadian kemarin ?"
"Ohhh ... dia ikut pulang bareng para preman kemarin. Dan sejak itu tak ada kabar dari mereka."
Aku bernafas lega. Setidaknya mengingat status Mbak Nita yang anaknya Bu Anggun tentu saja dia aman.
"Lalu, bagaimana dengan Sahla ?"
"Sahla ???" Mas Aan mengulang pertanyaanku.
"Kamu kenal yang namanya Sahla ?" Mas Aan bertanya pada Bang Udin.
"Sopo iku Sahla ? Apa ada ya, yang namanya Sahla ?"
Bang Udin memiringkan kepalanya sembari berpikir keras.
"Mikir terus to Din ! Ini lho Pak Rahmat telepon, sekarang gantian kita yang jaga pesantren. Bu Suci mau kemari."
Dengan wajah cemberut, Bang Udin bangkit dari duduknya.
"Ya sudah. Kita pamit dulu, ya, Fem. Ingat, kudu rajin minum obat biar bisa cepet sehat dan pulang." Mas Aan tersenyum padaku.
"Gak usah mikirin roti, serahkan saja pada ibumu." Kata Pak Abu.
"Duluan ya, Fem. Jaga diri baik-baik."
Bang Udin memelukku.
Aku berterimakasih, hatiku terharu sekali. Merekalah keluargaku sekarang.
~~~~~
Aku memandang jendela kaca di seberang ranjangku. Mataku memandang keluar, menembus kaca. Pikiranku melayang jauh. Semua masih menjadi misteri bagiku. Terutama, siapa Mbak Nita bagi ibuku. Seingatku saat mereka berpelukan, tak ada orang selain aku dan Sahla. Sebab Bu Suci menelepon rumah sakit. Aku penasaran sekali dengan apa yang dia ucapkan kala itu. Tapi karena aku pingsan, berarti orang satu-satunya yang tahu adalah Sahla.
"Lagi apa, Fem ?"
Tiba-tiba suara Pak Rahmat membuyarkan lamunanku. Aku segera tersenyum menyambut kedatangannya. Lalu terlihat Bu Suci mengekor masuk.
"Ehhhmmm ... lagi santai saja, Pak. "
Aku berniat untuk salim padanya, tapi tanganku terasa makin nyeri.
"Sudahlah ... tak perlu dipaksakan. Ini ada titipan dari ibumu."
Bu Suci mengeluarkan beberapa roti juga sebuah sup yang di dalamnya ada ceker ayam di atas meja.
"Titipan ? Memangnya ibu tak ikut ?"
Aku bertanya dengan suara serak. Terasa kekecewaan menyesaki dada. Padahal aku sangat berharap dia ada di sini. Aku rindu padanya.
"Ibumu sedang sibuk mengurusi toko rotimu. Selama kamu belum pulih, ibumu akan ambil alih. Katanya eman banget kalau pelanggan kabur. Karena itu adalah hasil dari usaha kerasmu. Sayang kalau sampai berhenti dalam waktu lama. Bukankah itu yang Bu Anggun inginkan ?"
Bu Suci menasehatiku. Dan benar juga apa yang Bu Suci katakan. Ahhh ... ibuku memang sayang padaku. Tapi ... aku juga butuh kehadirannya.
"Waktu kamu operasi ibumu ada di sampingmu terus. Dia menangis dan terus menolak pulang. Baru saat kau stabil, dia mau pulang. Jangan terlalu kecewa."
Ohhh ... jadi ibu sudah kemari. Walau belum menyusutkan rasa rinduku, aku sedikit lega sekarang.
"Bagaimana kabar Sahla, Bu Suci ?"
Pak Rahmat tersenyum mendengarku langsung menyebut nama Sahla.
"Ohhh ... kau sudah kenal dia ternyata. Padahal aku baru mau mengenalkannya padamu, ehhh ternyata kamu sudah tahu. Siapa yang memberitahumu ??"
Aku terdiam, bingung mau jawab apa pada Pak Rahmat. Gak lucukan kalau aku bilang pernah diam-diam memata-matai Sahla.
"Bu, ajak Sahla masuk ."
"Dia di sini ??" Tanyaku cepat.
Aku melongo, entah kenapa bulu romanku berdiri. Jantungku berdesir-desir tak karuan. Bayangan wajahnya tanpa cadar menari-nari di benakku. Oh, baiklah. Aku akan tanya padanya soal Mbak Nita. Dan juga menyampaikan rasa terimakasihku karena telah beberapa kali menyelamatkanku. Sahla masuk dengan perlahan. Matanya memandangku lekat. Matanya agak menyipit, mungkinkah dia sedang ... tersenyum ?
"Kenalkan, dia Sahla. Pasti kamu bertanya-tanya siapa dia bukan ?" Tanya Pak Rahmat.
Aku mengangguk dengan sesekali melirik Sahla yang sibuk menyiapkan sop ceker untukku.
"Dia adalah mantan pasien pesantren An-Nuur. Dia sudah sembuh sekitar lima tahun lalu. Dan setelah dia sembuh, seperti yang lainnya, dia lebih memilih menetap di pesantren. Dan seperti perkiraanmu, dia sebaya denganmu. Kalau kau berusia 19 tahun, kini dia berusia 18 tahun. "
"Ohh ... begitu. "
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Pak Rahmat.
"Mbak Sahla, terimakasih ya. Sudah menyelamatkan aku. Semoga Allah membalas kebaikanmu."
Akhirnya aku mengucapkan juga rasa terimakasihku padanya. Plong terasa. Tapi Sahla hanya menatapku sebentar lalu mengangguk padaku. Dan mata lentiknya itu kembali menyipit, mungkin dia tersenyum. Hmmm ... bahkan di saat seperti ini, dia lebih memilih diam tanpa kata. Membuatku makin penasaran saja.
"Qadarullah ... dia bisu, Fem." Kata Pak Rahmat.
Bagai tersengat listrik, jantungku seakan berhenti berdetak saking kagetnya. Jadi diamnya itu bukan karena dia menutup diri, tapi karena dia bisu ?? Astaghfirullah ... aku sudah bersuudzon padanya !
"Maafkan aku Mbak Sahla. Fembri tak tahu."
Lagi-lagi dia hanya terlihat menyipitkan mata. Kali ini aku membalas senyumnya dengan senyuman yang tulus. Dan entah kenapa, dia cepat-cepat membuang muka dengan tatapan mata aneh yang terasa ... menyihirku. Hatiku makin tak tentu. Mungkin benar kata Bang Udin, aku sedang dalam masa pubertas. Hingga melihat wanita sedikit bening saja membuat darah mudaku bergejolak.
"Minggu besok, kau boleh pulang Fem. Tapi itu bukan berarti kau sudah sehat benar. Tetap kau masih dalam pengawasan dokter. Karena pasca operasi, kau masih harus terapi." Kata Bu Suci.
"Alhamdulilah ... terimakasih, Bu. Fembri juga kangen pada ibu. Sejak di sini, belum sekalipun melihat ibu."
Aku tersenyum dengan sesekali melirik Sahla. Arrrrgh ... mata oh mata !! Tak bisakah kau lepaskan dia sebentar saja ??
~~~~~
Kini Pak Rahmat, Pak Abu dan Sahla membantuku berkemas. Hari ini aku diperbolehkan pulang. Bahagia rasanya walau tangan masih kaku untuk bergerak, tapi kata dokter tulangku tumbuh bagus. Hingga bisa dipastikan kemungkinan selama sebulan tanganku bisa beraktivitas kembali. Jujur aku sudah rindu menguleni adonan roti.
Sahla, dia menggantikan Bu Suci. Kata Pak Rahmat, Bu Suci dan ibu sedang sibuk mempersiapkan acara selamatan untukku nanti malam. Selamatan karena aku kembali dari rumah sakit dan berharap bisa pulih secepatnya. Acara ini pun turut mengundang beberapa orang dari luar area pesantren. Aku begitu terharu, semua benar-benar seperti keluarga kandungku sendiri.
Selama perjalanan, kami lebih banyak diam. Sesekali aku melirik Sahla yang juga bersikap acuh padaku. Matanya lurus menatap jalanan yang berliku.
"Menu nanti malam apaan ini, Pak ?" Tanya Pak Abu tiba-tiba.
"Alhamdulilah, nanti pemilik warung soto terkenal yang akan meracik soto. Yang pasti jaminan sedap kalau beliau yang meraciknya."
Ku lihat Pak Rahmat melirik Sahla. Tapi gadis itu tetap saja anteng, diam menikmati perjalanan.
"Oke daaaah. Warung Soto Sedapkan ? Siap ! Gak usah jauh-jauh ke warungnya kalau mau makan Soto Sedap. Sang kokinya masak langsung di pondok hehehe. Rejekimu ini, Fem. Bapak ini pemilik warung Soto Sedap yang terkenal di daerah sini. Aromanya hmmmm ... nikmat dan menggoda. Kamu belum pernah mencicipinya kan ?" Tanya Pak Abu.
Aku hanya menggeleng, tak pernah tahu apa itu Soto Sedap. Jangankan mencicipinya, nama warungnya pun baru kali ini ku dengar. Akhirnya gapura pesantren mulai terlihat jelas. Kini kami sudah masuk ke halaman pesantren. Tampak Bang Udin jugaas Aan berdiri tegap. Mereka siaga menunggu kepulanganku. Aroma soto begitu menggugah selera. Hmmmm ... benar kata Pak Abu. Aromanya benar-benar menggoda perut laparku.
Kami segera turun, melihat Sahla baik Bang Udin ataupun Mas Aan terlihat biasa saja. Kan aneh ? Kemarin mereka kompak tak paham kala aku menyebut nama Sahla. Kok ini gak kaget lihat gadis bercadar itu ? Hmmm ... mereka benar-benar misterius !!
Aku langsung dipeluk ibu erat sekali. Aku pun membalasnya dengan pelukan yang lebih erat. Hampir sepuluh hari aku tak berjumpa dengannya. Kangenku begitu meluap-luap. Hingga air mata tak terasa menetes di pipiku. Di saat aku memeluk ibu, mataku menangkap seseorang yang tak asing di mataku. Aku melepas pelukan ibu, langsung mendekati pria yang kini agak subur itu. Mataku bagai tak percaya, berulang kali aku mengedipkan mata. Memastikan mataku tak salah mengenali. Tapi benar, memang pria itulah yang kulihat. Pria yang pernah menolongku dulu !
"Pak Ikhsan ???"
Aku mendekatinya dengan langkah ragu. Sedang orang yang aku panggil terlihat mengernyitkan dahi. Seolah-olah dia berusaha mengingat sesuatu.
"Iya ... maaf kamu siapa, Nak ?" Tanyanya dengan mata menyipit.
"Saya Fembri, Pak. Saya dulu yang pernah bekerja dengan Bapak. Saya dulu tukang cuci di warung soto Bapak. Tapi cuma sehari saja sih."
Terlihat pria berjenggot itu sedikit berusaha keras untuk mengingatku. Lalu beberapa saat kemudian terlihat matanya membesar dan berbinar-binar. Sepertinya dia mengingatku sekarang.
"Fembri yang nyuci piring itu bukan ? Yang, maaf, ibunya gila itu ?" Kata Pak Ikhsan dengan senyum lebar.
Aku mengangguk lalu langsung menghambur memeluknya erat. Dan tanpa sengaja saat memeluk Pak Ikhsan, aku melihat mata Sahla menatapku dengan penuh tanda tanya.
~~~~~BERSAMBUNG~~~~~
No comments:
Post a Comment