23 October 2020

Part 13*Ibuku Orang Gila*#IOG#PART 13#MM

Aslkm.... 
Semangat malam.... Menemani ke peraduan,  mari kita lnjutkan kisah Fembri.... 

Part 13

*Ibuku Orang Gila*

#IOG
#PART 13
#MM

    Pak Ikhsan menatapku takjub. Mungkin dia pangling karena sudah bertahun-tahun tak bersua. Dan kami pun bersua juga hanya sekali saja. Kini kami hanya duduk berdua di kamarku. Sedang di luar sana orang-orang masih sibuk persiapan acara malam ini.

"Aku masih tak percaya, kalau kau ini Fembri yang dulu itu. Sekarang benar-benar sudah besar, sudah dewasa bahkan . Jadi bagaimana ceritanya hingga kau bisa berakhir di pesantren ini ?"

Dengan semangat aku menceritakan semua hal sejak pulang dari warung soto Pak Ikhsan dulu. 

"Jadi yang tadi itu ibumu ??" 

"Iya Pak. Alhamdulilah ... ibuku sudah sembuh."

"Alhamdulilah. Berarti beliau sudah ingat tentang masa lalunya ?"

"Alhamdulilah, sudah. Kini semua orang memanggilnya Bu Anggi."

"Ohhh ... alhamdulilah ."

Aku membetulkan dudukku lalu menatap Pak Ikhsan lekat. 

"Pak Ikhsan kenal sama Pak Rahmat ?" Tanyaku penasaran.

"Ohhhh ... kenal banget. Dulu teman mondok."

"Ohh begitu. Tapi hampir sepuluh tahun, Fembri di sini tak pernah sekalipun bertemu Pak Ikhsan. Memang baru kali ini, ya ? Datang ke mari ?"

"Lhoh ... aku setiap bulan ke sini lho, Fem ! Bahkan menginap pula. Tapi ya nginep di rumah Pak Rahmat."

"Tapi kok Fembri baru ketemu sekarang, ya? Memangnya masih kerabatkah sama Pak Rahmat ?"

"Ya bukan kerabat sih. Hanya teman akrab saja. Kamu sudah kenalkah sama Sahla ?? Itu tu, gadis bercadar yang bareng kamu tadi ?"

Aku mengernyitkan dahi. Sahla ?? Kok Pak Ikhsan kenal sih ?

"Iya Pak. Kenal tapi hanya sebatas tahu saja. Beberapa kali dia menyelamatkan nyawaku."

"Naaaaah ... dia itu adek ragilku !"

Aku melongo mendengarnya. Sahla ?? Adek ragilnya Pak Ikhsan ?? Lebih seperti anaknya saja mengingat umur yang terpaut jauh.

"Hahahaha ... kaget ya ? Lebih seperti anakku ya ?? Iya, jarak kelahiran kami memang sangat jauh. Dia lahir dari ayah yang sama, tapi beda ibu."

Aku manggut-manggut mengerti. Pantas saja tak mirip. Sahla berkulit bersih sedang Pak Ikhsan berkulit coklat.

"Kata Pak Rahmat, Sahla mantan pasien di sini. Sejak umur berapa Sahla mengalami gangguan jiwa ?"

Jujur aku sangat penasaran dengan sosok Sahla ini. Lebih tepatnya sih, sangat tertarik. Dibanding Mbak Nita, Sahla lebih punya nilai plus. Walau sama-sama cantik, tapi Sahla lebih natural. Yang pasti dia "terbungkus" rapat, membuatku makin tertarik.

Pak Ikhsan menarik nafas dalam. Sejenak mulutnya terbuka, tapi entah kenapa tak ada suara yang meluncur dari bibirnya. Di wajahnya tersirat keengganan. Tampak sekali gurat wajahnya begitu ragu. Aku menangkap rasa kikuk di wajah Pak Ikhsan. 

"Kalau Pak Ikhsan merasa berat untuk memberi tahu Fembri, saya gak maksa kok Pak. Memang para pengurus pondok putra pun tak banyak yang tahu keberadaan Sahla. Itu pun saya bisa kenal karena sering tak sengaja bertemu."

Pak Ikhsan tersenyum. Wajah teduhnya kini berganti mendung. Wajahnya berubah sedih.  Jujur, jiwa mudaku makin penasaran. Tapi aku paham, itu adalah masalah internal keluarga Sahla.

"Sebenarnya, dia wanita yang ceria dan cerdas. Sejak ibunya meninggal saat melahirkan dia, bapak mengurusnya sendirian karena aku juga di pondok. Seiring berjalannya waktu, saat dia berusia 6 tahun kami memilih untuk memondokkannya. Itu karena dia anak yang cerdas lagi ceria."

Pak Ikhsan berhenti bercerita. Lalu ku lihat setetes air mata jatuh ke pipinya. Aku merasa begitu bersalah. Pertanyaanku membuka kembali luka Pak Ikhsan.

"Dan betapa malang nasibnya. Di pondok, ada tukang kebun yang memperkosanya hingga berakhir dengan Sahla mengalami depresi  berat."

Deg !!

Aku begitu terkejut. Sahla kecil yang ceria berakhir depresi karena ulah laki-laki bejat ! Usia 6 tahun, di ponpes pula ! Astaghfirullah. Aku jadi begitu simpati pada Sahla.

"Dan alhamdulilah, setelah bertahun-tahun pengobatan fisik dan psikis Sahla akhirnya sembuh. Hanya sekarang rasa khawatir mulai menderu. Akankah ada laki-laki yang mau menerimanya menjadi seorang istri ? Dia tuna wicara juga sudah tak suci lagi. Akankah ada yang bisa menerima masa lalunya ? Sedang masyarakat kita sangat ketat bila menyangkut adat ketimuran." Ucap Pak Ikhsan sedih.

"Allah Maha Pengasih, Pak
 Fembri yakin akan ada laki-laki yang bisa menerima Sahla sepenuhnya. Andai tak ada yang mau sama Sahla, Fembri mau kok jadikan dia istriku." Kataku yakin.

Pak Ikhsan menatapku dengan pandangan tercekat. Sejenak matanya menyipit lalu beberapa detik kemudian dia tertawa terbahak sembari menepuk bahuku dengan keras. Aku menelan ludah, mungkinkah ketegasanku tadi dianggap hanya lelucon oleh Pak Ikhsan ?

"Kamu serius, Fem ? Kamu mau sama Sahla ??" 

Dengan mata berair karena saking kerasnya tertawa, Pak Ikhsan menatapku dengan sedikit serius.

"Iya Pak. Fembri pun kagum dengan Sahla. Walau Allah memberinya kekurangan fisik, tapi Allah anugerahkan kelincahan dan ketangkasan. Dia mahir memanah dan bela diri. Bahkan jiwa maskulin Fembri berontak melihatnya. Merasa lelaki yang unfaedah. Soalnya muka Fembri babak belur dan badan remuk redam, tapi Sahla benar-benar lincah melawan mereka tanpa luka. Lagipula Sahla cantik, Pak."

"Ahahaha ... sejak kecil Sahla diajari bela diri sama ayah . Panahan pun ayah pula yang ajarkan. Kalau aku, tak bisa panahan tapi bela diri ya lumayan lah. Memangnya kamu sudah lihat wajah Sahla ?""

"Hehehe . Sudah, Pak. Tapi tak sengaja lihat kok. Saat dia berantem dengan para preman, tak sengaja cadarnya terlepas. Ehhmm ... Pak Ikhsan bisa bela diri ? " Tanyaku bersemangat.

"Alhamdulilah. Dikit-dikit sih. Dulu sejak mondok hingga sekarang jadi pelatih. Tapi hanya seminggu sekali tiap hari Jum'at."

"Fembri mau dong diajari !" Kataku penuh energi.

"Tunggu badanmu pulih dulu, Fem." Sahut ibu yang ternyata sudah berdiri di belakang Pak Ikhsan. 

Aku hanya nyengir sembari meringis saat rasa ngilu mulai menyerang jari tanganku. Sesekali aku menatap ibu curiga, mungkinkah dia mendengar perkataanku soal Sahla ? Arrrgh ... aku berharap ibu tak mendengarnya tadi. Semoga saja ....

~~~~~~

     Dengan dibantu Bang Udin, aku berjalan menuju para tamu undangan. Satu persatu acara berjalan dengan lancar. Aroma soto menguar memenuhi ruangan aula. Dengan dibantu Sahla, Pak Ikhsan menyiapkan mangkok-mangkok berisi soto yang masih mengepul. Bahkan kala melihat para undangan yang sudah mendapat bagian, mengucurkan perasan jeruk nipis ke dalam sotonya, sukses membuatku menelan saliva. Perutku meronta-ronta minta diisi. Bu Ambar, istri Pak Ikhsan menyodorkan semangkuk soto padaku sembari tersenyum. Ahhh ... wajahnya masih sama saja dengan dulu. Natural tapi manis.

"Terimakasih, Bu ." Kataku sopan.

Bu Ambar menjawab dengan anggukan dan senyuman.  Aku segera mengambil jeruk nipis lalu mengucurkannya di atas soto yang mengepul. Sedaaaap sekali. Sesendok demi sesendok soto itu berpindah ke perutku. Hingga saat mangkokku kosong, ku sodorkan lagi pada Bu Ambar. Minta tambah karena aku masih ingin memakannya. Tanpa sepatah kata pun, Bu Ambar menyodorkan kembali semangkuk soto padaku. Nikmat terasa . Rasanya masih sama dengan beberapa tahun lalu, khas.

"Fem ... sini !"

Mas Aan muncul dengan wajah penuh keringat. Ahhh ... saking segernya soto ini membuat peluh membanjiri wajahnya.

"Sini !  Cepetan !"

Aku menatapnya heran. Kenapa wajahnya terlihat cemas ? Aku beringsut mendekati Mas Aan yang berdiri di samping pintu tembusan aula dan ruang tamu.

"Kenapa, Mas ?" Tanyaku sembari mengelap peluh karena rasa hangat dua mangkok soto. 

"Kembaran ibumu di sini ! Sekarang mereka di ruang tamu depan sana. Banyak preman yang dateng juga. Ayok cepetan !" 

Kini rasa khawatir menelusup hatiku. Jantungku berdebar keras sekali. Rasa ngilu pada tanganku kini tak lagi terasa. Dengan langkah cemas, aku segera melangkahkan kaki mencari tahu soal maksud kedatangan Bu Anggun kemari. Sesampainya di sana , lirikan mata tajam Bu Anggun menghujamku. Sedang ibu duduk dengan wajah santai nan datar.

"Ohhhh ... jadi ini, anak sialan itu ??" Tanya Bu Anggun dengan sorot mata tajam penuh kebencian.

"Jadi Mbak Anggi bangkit dari kubur demi melahirkan anak ini ?" Katanya sinis sembari melirik ibuku yang duduk sembari meminum teh hangat.

"Jangan sekali-kali memanggil namaku dengan mulut kotormu itu, Anggun ! Mulutmu tak pantas memanggilku dengan sebutan Mbak Anggi ! Kata-katamu itu hanya membuatku eneg, ingin muntah ! Sebelum kau dikeroyok orang kampung sini, lebih baik kau enyah dari sini !" 

Ibuku berbicara dengan nada pelan namun sarat ketegasan. Aku meliriknya, tapi wajahnya masih sama saja. Bu Anggun tertawa terbahak-bahak .

"Hahahahaha ... mulut kotorku ??" Desisnya dengan mata melotot menakutkan.

"Kau lucu sekali, Mbak ! Menurutmu lebih kotor mana ?? Antara mulutku dengan hatimu, Mbak ?!" 

Bu Anggun berteriak sembari mengacungkan telunjuknya pada Ibu. Sedang aku gemetaran melihat perang dingin mereka, yang terakhir aku ketahui kalau mereka kakak-beradik.

"Apa maksudmu ?? Katakan padaku ! Apa alasannya kau ingin membunuhku bertahun-tahun lalu?!" Tanya ibuku dengan suara bergetar. 

Sepertinya ibu terpancing emosinya.

"Tentu saja untuk melenyapkanmu, Mbak !" 

"Lalu apa alasannya kau ingin melenyapkanku ? Aku kakakmu, Nggun ! Kita tumbuh besar bersama. Lahir dari ayah-ibu yang sama. Kenapa kau bisa setega dan sekeji ini ?"

Suara ibuku kini bercampur dengan isakan. Dari sudut matanya, terlihat rona kekecewaan. Air mata mulai menggenang.

"Aku memang keji, Mbak ! Aku memang jahat. Tapi tahukah kau ? Bagiku, kau lebih kejam Mbak."

Ibuku langsung berdiri setelah mendengar kata-kata adiknya. Dia mendekati Bu Anggun lalu berusaha menyentuh bahunya. Tapi dengan kasar, Bu Anggun menampik tangan ibuku. Tatapan matanya penuh kemarahan.

"Tak sudi aku bila tanganmu menyentuhku walau seujung kuku !" Katanya kasar.

Aku terkesiap manakala Bu Anggun menatapku lalu mendekatiku.

"Diakah anak Mas Indro itu ?" 

Mata Bu Anggun tajam, seolah-olah mengulitiku.

"Jangan kau usik dia, Nggun ! Dia anakku, dia tak tahu urusan kita. Aku relakan semua hal yang telah kau ambil dariku asal jangan kau ganggu anakku." 

Aku menatap mata ibu. Kilatan mata penuh kasih sayang ada di sana.

"Justru ... dialah hambatan terbesarku. Akan aku biarkan kau hidup, Mbak. Tapi tidak dengan dia !" Kata Bu Anggun tegas.

"Anggun !!! Jangan berani-berani kau mengusiknya ! Tak cukupkah kau ambil semuanya dariku ? Kau renggut hartaku. Kau ambil semua karyaku hingga kini hidupmu penuh gelimangan harta ! Kau belum cukup dengan semua itu ?? Kau wanita serakah, Nggun !"

Ibuku meluap emosinya. Tapi bukannya mundur, Bu Anggun makin mendekatiku.

"Anggun !! Lebih baik kau ambil nyawaku !" Teriak ibu lantang.

Bu Anggun menoleh dengan mulut yang menyeringai. Sedang tiba-tiba aku mendengar derap langkah kaki kuda lengkap dengan ringkikannya. 

"Baiklah bila itu maumu !! Koco ! Bunuh mereka semua !" 

Koco mulai menghunus pisaunya yang berkilat mengerikan. Dengan pisaunya yang seperti itu, pasti mudah sekali baginya untuk menggorok leherku. Aku tak tahu harus apa. Saat sehat saja, aku tak mahir adu bogem. Apalagi tanganku yang masih belum pulih ini. Bisa apa ?? 

   Pak Rahmat, Pak Ikhsan dan Pak Abu datang menghampiriku. Mereka bertiga mindungiku. Sedang Mas Aan juga Bang Udin melindungi ibuku. Suasana begitu mencekam.

"Tenanglah, Fem. Ada kami di sini." Kata Pak Abu.

"Bagaimana dengan para tamu, Pak ?"

"Tenang saja, mereka sudah aman. Mereka sudah pergi lewat pagar samping." Terang Pak Abu.

Aku menelan ludah. Bersyukur para undangan sudah aman. Tapi melihat preman-preman yang perawakannya sangar dengan badan yang berotot membuatku gentar. Bagaimana bila Bu Anggun nekat menghabisi mereka semua ??

"Jangan takut, Fem. Kita masih punya Allah. Lagipula Suci sudah telepon polisi. Sebentar lagi mereka datang. Kita hanya perlu bertahan sebentar."

Kini kakiku mulai gemetaran. Polisi ?? Kapan mereka akan sampai di sini ? Jarak antara pos polisi terdekat dengan pesantren saja cukup jauh. Maklum, pesantren ini terletak di kaki pegunungan. Yang jalan aksesnya memutar dan itu pun hanya ada satu jalur saja. Memang kami dekat dengan pasar, itupun hanya pasar tradisional kecil. Kalau lancar jalannya, mungkin bisa sampai setengah jam. Tapi kalau ramai jalannya ? Pasti lebih lama waktu untuk polisi sampai di sini. Dan melihat preman itu, mungkin saja cuma butuh waktu sepuluh menit untuk menghabisi kami. Ya Allah ... bagaimana ini ??

"Fem ... nanti kalau Sahla kemari, naiklah ke kudanya. Dan pergilah cepat." Kata Pak Rahmat.

Kuda ? Sahla ? Aku tak menangkap maksud pembicaraan Pak Rahmat. Aku melihat Pak Abu memberi kode pada Bang Udin. Entah apa maksudnya, mereka siaga sembari perlahan merapat pada kami.

"Ohhh ... para jagoan pesantren, ya ?" Kata Gundul sinis.

"Kemarin sendirian saja, sekarang personil lengkap ternyata." Seru Koco dengan senyum meremehkannya.

"Aku tak mau tahu, bagaimana cara kalian. Aku ingin Mbak Anggi dan anak sialan itu tewas malam ini juga. Kalau perlu, bunuh para monyet itu sekalian."

Mendengar itu, aku mendadak putus asa. Bagaimana bila mereka membunuh semua orang di sini ?

Kini para preman mulai maju serempak. Tangannya ada yang menghunus pisau juga ada yang membawa pentungan. Aku makin menggigil, lalu ibu memelukku erat. 

"Bunuh mereka yang menghalangi kita !" Seru Koco.

Lalu para preman mulai membabi buta. Memukul, menendang dengan membabi buta. Dan begitu juga Pak Abu juga yang lainnya. Mereka bergantian memukul dan membalas. Tapi aku makin ngeri manakala Koco dengan pisaunya itu mengayunkan tangan ke sana ke mari tanpa arah.

"Fem ... persiapkan dirimu. Sahla sebentar lagi masuk."

Aku yang masih kebingungan, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda masuk ke ruangan ini. Kuda itu telah ada di belakangku. Sedang Sahla dengan cadarnya duduk di atas kuda dengan menatap tajam padaku.

"Naiklah Fem ! Pergilah !" Seru Pak Rahmat. 

"Pergi, Fem ! Serahkan mereka pada kami ." Seru Bang Udin.

Sedang yang lain mengangguk padaku. Aku terharu, air mata mulai membanjiri mataku. Ku dorong ibu untuk menaiki kuda itu. Ku tatap mata Sahla.

"Selamatkan ibuku. Tolong !"

Sahla langsung meluncur turun dari kuda itu. Lalu mendorong aku agar naik ke kuda. 

"Naiklah, Fem. Bawa ibumu !" Teriak Pak Ikhsan.

Aku langsung menaiki kuda itu. Tapi entah kenapa, walau baru kali ini aku menungganginya, kuda ini begitu jinak padaku. Ku lihat Sahla membelai kuda itu lalu menciumnya dengan mesra. Lalu dengan gerakan cepat, Sahla menepuk pantat kuda itu dengan keras. Dan sontak saja kuda berlari dengan cepat menembus kegelapan malam. Aku menoleh pada Sahla yang kini sedang bermain dengan panah-panahnya. Kini bukannya tumpul, panah itu lancip. Persis dengan anak panah yang melukai pipiku dulu.

    Kuda berlari sekuat tenaga. Dia melewati jalan terjal yang sempit menuju pegunungan. Hawa dingin khas pegunungan membuatku makin menggigil ketakutan. Tapi jauh di belakangku, ada sorot lampu yang bergerak mengejar kami. Sialan, sepeda motor preman mulai mengejar kami. Ada sekitar lima motor yang ngebut mengejar kami.

"Ya Allah ... selamatkan kami." Rintihku.

Kuda itu makin jauh membawa kami masuk ke hutan. Bahkan beberapa ranting telah menggores kaki juga wajahku. Dan Allah menjawab doaku. Hujan kini mulai berjatuhan, mengguyur jalanan licin pegunungan. Bahkan tetesan yang makin deras membuat jarak pandangan mata menjadi terbatas. Kabut pun mulai turun menyambut kami. Tapi anehnya, kuda ini tak terganggu sedikitpun. Dia masih saja berlari cepat membawa kami makin dalam masuk ke hutan. 

    Tapi tenaga kuda mulai habis, sedang motor itu mulai makin mendekat. Bahkan suara mesinnya pun makin terdengar jelas. Kini aku hanya pasrah, bila mereka akhirnya membunuh kami. Kini mereka hanya berjarak beberapa meter dari kami. Aku menoleh, terlihat seringaian Koco dan Gundul. Bahkan kilatan mata pisau Koco nampak jelas di mataku. Kini Koco benar-benar di sampingku, dia mengayunkan pisaunya ke arahku. Tapi kudaku ini membelok arah. Bagai tau penunggangnya sedang dalam bahaya. Dalam hati aku tak berhenti berdoa. 

    Kini gantian Gundul yang menyerangku. Di ayunkannya parang ke arahku. Tapi nahas, saking fokusnya padaku dia tak melihat ada pohon di depannya. Dan dia pun tumbang terjembab ke atas tanah lumpur. Kini tinggal empat motor yang mengejar kami. Tapi dari arah belakang Sahla dengan motornya, mendekati kami. Wajahnya basah kuyup. Cadarnya pun kini tak lagi berkibar karena terkena hujan.

   Dengan membawa kayu panjang dia mulai menyerang motor preman di depannya. Hingga satu motor lagi tumbang. Sedang kini tersisa tiga motor. Dengan tenaga penuh Sahla melempar batu pada roda belakang motor di depannya. Dan satu lagi tumbang. Kini tersisa Koco dan satu anak buahnya. Jalanan makin berat medannya. Lumpur pun makin tebal, membuat langkah kuda mulai perlahan. Saat itu aku melihat Sahla terpeleset jatuh dari motornya. Tapi dari sorot lampu motornya, aku melihat dia mengeluarkan panahnya. Dan dengan gerakan mantap, dia melepaskan anak panahnya hingga mengenai tangan preman di depannya. Dan satu lagi preman jatuh tersungkur ke tanah. Dengan sigap, Sahla memukulinya dengan membabi buta. 

    Kini tinggal Koco seorang yang masih mengejarku. Matanya menyala-nyala dari balik sorot lampu motornya. Kilatan mata pisau membuatku bergidik ngeri. Lalu karena medan yang makin terjal, kuda yang ku tunggangi terpeleset jatuh,tersungkur. Aku dan ibu langsung terjembab dalam lumpur yang dalam. Hujan makin deras saat Koco akhirnya turun dari motornya. Sorot lampu motor membuat mataku jelas melihat Koco tersenyum puas. 

    Ibu langsung bangkit menghambur pada Koco. Bermaksud menghalangi Koco agar tak mendekatiku. Tapi tanpa peduli, dia menghempaskan tubuh ibu. Badan kecilnya tak seimbang hingga menabrak pohon besar hingga jatuh tersungkur dalam kubangan lumpur. Melihat itu darahku mendidih. Rasa sakit dan ngilu pada tanganku tak lagi terasa. Bahkan tadi rasanya senut-senut luar biasa karena dinginnya hujan. Tapi kini lenyap sudah. Koco menghampiriku sembari membawa pisaunya yang berkilat menakutkan.

"Fembri ... ! Lari !" Teriak ibuku dengan suara serak yang tenggelam diredam oleh suara hujan.

"Lari, Fem !!" Teriak ibuku lebih lantang. 

Aku hanya berdiri kebingungan. Naluriku rasanya ingin sekali lari secepat-cepatnya. Tapi hatiku tak mampu. Meninggalkan ibu sendirian dengan bajingan ini rasanya tak mungkin. Daripada aku lari seperti pengecut, biarlah kami mati bersama malam ini. Aku bangkit lalu berlari ke arah ibuku. Ku peluk tubuhnya yang kini menggigil itu.

"Larilah, Nak ! Biarlah ibu mati asal bisa melindungimu." Kata ibu dengan suara parau.

"Tidak, ibu ! Fembri gak mau ! Kita mati bersama malam ini. Aku tak mau meninggalkan ibu."

Koco tertawa keras. Suaranya terdengar agak keras karena hujan mulai reda, menyisakan gerimis yang masih cukup deras.

"Akhirnya ... kesempatanku membunuh kalian datang juga. Hahaha."

Tanpa ba-bi-bu lagi, Koco mengangkat tinggi-tinggi pisaunya. Bersiap menikamku dari belakang. Aku memeluk ibu erat, pasrah ! Saat Koco bersiap menghujamkan pisaunya, ibu berteriak ....

"Jangan !! Dia anakmu, Koco !"

Aku langsung tercekat. Kepalaku mendadak pusing. Waktu bagai berhenti berputar. Aku bagai berselancar dalam lorong labirin tanpa ujung. Aku linglung karena bingung. Apa ? Koco, preman bengis itu ayahku ?? Aku menatap tak percaya pada ibu. Wanita istimewaku itu kini banjir air mata. Terdengar isakannya yang menyayat hati. Oh tidak ! Koco bukan ayahku. Itu hanya akal-akalan ibu saja ! Itu hanya sebuah cara agar Koco melepaskanku. Aku tidak mungkin anaknya, seru batinku. 

"Apa kau bilang ? Dia ... dia anakku ?"

Koco kini menatapku nanar. Aku tak betah lama-lama memandangnya. Aku jijik ! Dari sekian banyak pria, kenapa justru laki-laki kejam sepertinya yang menjadi ayahku ?? Aku harap ini mimpi, aku ingin bangun !!

"Iya ... dia anak kita, Mas Indro Sukoco."

Apa ??? Indro Sukoco ???

~~~~BERSAMBUNG~~~~

No comments:

Post a Comment