Part 14
*Ibuku Orang Gila*
#IOG
#PART 14
#MM
Indro Sukoco, lelaki berambut putih itu terduduk lesu di depan kami. Hujan yang tadinya mulai reda kini kembali deras. Bahkan angin besar terdengar menakutkan saat berhembus di sela-sela dedaunan pohon. Kini motor Koco sudah tak lagi menyala mesinnya. Suasana begitu mencekam. Rasa dingin menelusup perlahan menembus tulang. Air hujan bagai merembes ke dalam dada, sesak.
Dari pantulan kilat yang menyambar-nyambar, netraku menangkap wajah Koco. Wajah yang tadinya garang dan beringas mendadak berubah sayu dan kuyu. Berkali-kali dia menggeleng kepala, menepis pengakuan ibu soal jati diriku. Dia masih tak menyangka dengan fakta tentang diriku.
"Tidak ... tidak mungkin Bu Anggi ! Tak mungkin dia itu anakku ! Aku tak pernah memiliki istri, apalagi anak ?"
Kepalanya terpekur pada jalanan tanah yang kini penuh dengan air berlumpur. Tangannya mengepal erat tanah basah itu. Giginya terdengar bersuara.
"Kau tak percaya padaku ? Walaupun aku pernah kehilangan kewarasan, tapi ingatan tentang ayah anakku masih utuh di otakku." Kata ibuku dengan suara parau penuh kegetiran.
Aku hanya terdiam, masih syok berat. Indro Sukoco, lelaki yang ingin membunuhku itu adalah ayahku ?? Tidak ! Mustahil sekali seorang ayah yang tak pernah hadir di hidup anaknya tiba-tiba datang untuk membunuhnya. Hatiku makin berontak manakala terusik dengan rasa ngilu di tanganku. Rasa yang hadir karena ulah lelaki yang konon dia adalah ayahku ??? Mimpi buruk apalagi, Ya Allah . Misteri demi misteri makin banyak mengapung seiring dengan munculnya sebuah kebenaran. Tapi soal Koco, aku berharap itu hanya sebuah kebohongan belaka.
"Maaf Bu Anggi. Apapun yang kau bicarakan, aku akan tetap mengikuti perintah Bu Anggun. Aku harus tetap membunuhnya, karena itu berarti aku menyelamatkan hidupku sendiri."
Suara Koco sedikit terdengar bergetar. Entah karena masih syok atau karena takut pada Bu Anggun.
"Indro Sukoco, lelaki yang telah menikahiku walau masih siri. Bukan tanpa alasan kita menikah siri, tapi karena saat itu badai sedang menerjang kedua keluarga kita. Karena tekad cinta tulus kita, akhirnya pernikahan mampu direngkuh. Tak ingatkah kau soal itu ?"
Aku melirik ibu, matanya memerah. Air mata menyapu wajahnya, bercampur dengan air hujan yang mengguyur bumi. Ku alihkan pandangan pada Koco. Kini dia tertunduk lagi. Entah apa yang kini sedang terjadi. Andai memang mereka pernah menikah, kenapa hanya ibu saja yang ingat ? Kenapa Koco seolah-olah tak mengakui pernikahannya ? Mungkinkah karena menganggap ibu telah tiada, hingga kini dia berlagak lupa ? Ataukah ketakutannya pada Bu Anggun lebih mendominasi hatinya ? Aku hanya terdiam, sembari menoleh ke kanan kiri. Berharap Sahla menyusul kami di sini. Pikiranku begitu khawatir akan keselamatannya.
"Jangan coba-coba merayuku dengan trik receh, Bu Anggi. Tak sedikitpun trik itu merubah pendirianku !"
Koco kini bangkit dari duduknya. Dengan tangan gemetar dia menodongkan pisau padaku. Aku hanya waspada saja, bersikap sedikit tenang. Takut kalau Koco menyadari rasa sakit dari tanganku yang sungguh menyiksa ini.
"Baiklah kalau kau tak percaya, Koco. Aku akan serahkan nyawaku juga anakku padamu dengan sukarela. Tapi dengan dua syarat."
Ibuku berdiri tegak diantara aku dan Koco. Angin pegunungan berhembus kencang. Sesekali terdengar suara ranting pohon patah karena saling bersenggolan dengan dahan pohon lainnya. Aku makin merasa tersiksa. Rasa nyeri dari tanganku bagaikan pedang yang menusuk-nusuk dan menyayat tanpa ampun. Kini aku benar-benar tak mampu melihat Koco karena tubuh ibu menghalangi pandanganku. Tapi suaranya aku masih bisa menangkap jelas.
"Syarat ? Syarat seperti apa yang Bu Anggi maksud ?"
"Iya ... syarat yang akan menuntunmu menuju kebenaran, Indro Sukoco. Syarat pertama, datanglah ke sebuah desa, namanya Desa Kenanga. Letaknya ada di lereng Gunung Merbabu. Carilah seseorang bernama Iman Suhendro. Temuilah dia. Dan syarat kedua adalah setelah kau menemui Iman Suhendro, datanglah ke makamku. Galilah apa yang ada di sana. Dan pesanku, lakukan dua syarat itu tanpa sepengetahuan Anggun. Karena aku yakin, bila dia tahu pasti membunuhmu lah jalan satu-satunya yang akan dia pilih. Setelah itu, datang dan temui aku. Aku serahkan nyawaku juga putraku ini, Fembri. Aku berjanji padamu."
Suara ibu terdengar tegas penuh rasa percaya diri. Aku merinding hebat. Ibu menjadikan nyawa kami sebagai taruhan ? Bagaimana bila Koco gagal menemukan kebenaran yang ibu maksud ? Haruskah kami meregang nyawa di tangan orang-orang jahat ini ??
"Baiklah ... aku akan menuruti mau mu. Aku akan melaporkan hilangnya kalian di hutan ini. Selama aku menjalankan syarat ini, jangan sampai Bu Anggun menemukan kalian. Dan ingat, nyawa kalian milikku !"
Koco berdiri tegak lalu mendekati motornya. Dengan langkah pasti, dia mulai memacu motornya menjauhi kami. Aku mendengar ibu menghela nafas lega. Lalu setelah Koco hilang dari pandangan mata, ibu berbalik memelukku.
"Kita sudah aman, Nak. Mari cari tempat berteduh."
Aku dituntun ibu menuju sebuah pohon besar yang lebat daunnya. Berdua kami duduk di akar besarnya yang menonjol di atas permukaan tanah. Kami berdua menggigil kedinginan. Samar-samar aku melihat kuda yang ku tunggangi tadi berjalan mendekat. Ahhh ... kuda jinak yang setia. Tapi tunggu ! Kuda itu tak datang sendirian, melainkan ada sosok hitam yang menungganginya. Karena malam di tengah hutan yang rimbun, juga hujan deras yang mengguyur membuat pandangan mataku terganggu. Lalu sebuah kilatan cahaya menerangi hutan. Saat itulah aku melihat siapa yang menunggangi kuda itu. Sahla ! Iya, dia Sahla !
Aku segera bangkit menyongsong kedatangan wanita itu. Ada rasa hangat menelusup hatiku. Ada rasa nyaman, tenang dan bahagia manakala tahu dia selamat. Aku tersenyum pias. Sahla, wanita yang hebat. Sahla makin mendekati kami. Lalu dengan gerakan cepat, dia turun dari kuda dan bergegas menghampiri ibu. Dituntunnya ibu untuk menaiki kuda itu. Setelah ibu di atas kuda, dia menuntun kuda menyusuri jalan setapak yang kini mulai menanjak curam. Entah mau dibawa ke mana kami. Aku ingin sekali bertanya soal keadaan di pesantren. Tapi ku urungkan niatku kala melihat dia menggigil kedinginan. Aku hanya diam sembari mengikutinya.
Setelah cukup lama berjalan hingga kakiku serasa panas dan perih, sampailah kami di tempat yang datar dan lapang. Mungkin ini adalah puncak bukit. Terlihat awan gelap menyelimuti tempat itu. Bahkan suara petir begitu memekak di telinga. Aku mengedarkan pandangan, semua hanya gelap gulita. Sesekali terlihat barisan pohon besar manakala kilat menyambar. Sahla menuntun kudanya mendekati salah satu pohon besar di sana. Diikatnya kuda itu di sana. Lalu dengan gerakan sigap, dia menurunkan ibu. Lalu setelah ibu mendarat di tanah, gantian dia yang naik ke kuda. Aku memandang Sahla dengan pandangan tak mengerti. Makin penasaran manakala dia berdiri tegak di atas kuda sembari mencoba meraih sesuatu dari salah satu dahan pohon. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya sebuah tangga tali berayun ke sana ke mari.
Aku mendekat dengan pandangan takjub. Ku raih tangga tali itu, lalu mengikuti di mana benda ini berujung. Dalam samar-samar aku melihat bayangan besar di atas sana. Dan manakala cahaya kilat menyambar, mata telanjangku bisa melihat apa yang di atas sana. Sebuah rumah pohon ! Mulutku menganga lebar. Aku tak percaya, di atas bukit ini ada rumah pohon yang besar. Tentu saja banyak orang yang tak menyadari keberadaannya. Karena daun lebat pohon besar ini sempurna menutupinya dari pandangan orang di bawah sini.
Aku melirik Sahla, dia begitu sibuk memberi isyarat agar ibu memanjat tangga tali itu. Dengan langkah tertatih karena menggigil kedinginan, satu demi satu ibu berhasil memanjat hingga hilang dari pandangan mataku. Melihat ibu sudah berada di atas, Sahla dengan tangkas memanjat tangga tali itu. Dalam sekejap dia pun hilang dari pandangan mata. Lalu kini giliranku, tapi baru lima anak tangga, tanganku begitu panas. Nyeri luar biasa menyerang tanganku. Tapi aku mencoba menahannya. Dan dengan penuh perjuangan, akhirnya aku sampai di rumah pohon itu. Dengan dibantu Sahla, aku akhirnya bisa mendarat sempurna di sana. Dengan perlahan, Sahla membukakan pintu untukku.
Aku berdiri tegak, mataku membesar. Aku melongo melihat pemandangan di depanku. Ibu sudah berganti baju. Bajunya yang basah kuyup sudah menggantung pada sebuah tali di dinding kayu. Aku melangkah masuk, rasa hangat mulai merayap di tubuhku. Di rumah pohon yang cukup besar ini, suasanya berbanding terbalik dengan di luar. Di sini sangat hangat dan nyaman.
Sahla mengulurkan baju dan celana panjang padaku, di dalamnya ada sebuah celana dalam. Lalu menunjuk ke sudut rumah yang bertirai. Ruang ganti dadakan yang telah Sahla siapkan. Aku menurut saja tanpa sepatah kata pun. Setelah berganti pakaian kering itu, aku duduk di sebuah kursi tua sederhana. Aku mengedarkan pandangan. Dan ku lihat ibu melambai padaku. Aku bergegas menghampiri ibu. Sedang aku lihat Sahla menyelinap memasuki ruang ganti sederhana itu.
"Minumlah dahulu. Mumpung masih hangat."
Ibu mengulurkan secangkir teh yang masih mengepul padaku. Aroma melatinya sangat harum. Gelas yang cukup panas terasa hangat di telapak tanganku. Aku jongkok lalu membaca basmalah. Ku seruput teh hangat itu. Ahhh ... nyaman sekali. Rasa hangat mulai menjalari tubuhku. Aku kembali berdiri dan menengok ke dapur mini rumah ini. Ada kompor gas dua tungku lengkap dengan gas dan selangnya. Di sudutnya ada meja kecil yang berderet toples-toples kecil di sana. Ada bumbu dapur, teh, minyak bahkan mi instan ! Wow ... cukup lengkap mengingat posisi tempat ini yang terpencil dan jauh dari manapun. Ada juga jerigen besar berisi air untuk memasak.
"Ini untukmu, Nak."
Ibu mengulurkan cangkir lainnya pada Sahla. Aku menoleh padanya. Sejenak mataku tak mau berkedip. Sahla yang biasa tampil serba hitam itu kini mengenakan jaket dengan rok panjang bermotif pulkadot hitam. Kerudung lebarnya kini berganti menjadi jilbab besar berwarna merah jambu. Dan aku makin terpana manakala warna jilbab itu bersanding dengan wajahnya yang putih bersih. Masih dengan cadar hitamnya hanya bedanya kini kainnya kering.
"Istirahatlah di sana, Nak ."
Ibu menunjuk ke sebuah sudut lain. Sahla kini sudah berdiri di sana, tangannya meraih gulungan besar. Di bukanya tali pengikat lalu terhamparlah sebuah kasur yang cukup besar. Muat untuk kami bertiga yang bertubuh kurus ini.
"Ibu sudah tahu soal rumah pohon ini ?"
Aku menatap ibu lekat. Ibu tersenyum lalu mengangguk lembut.
"Sejak kapan ?" Tanyaku lagi.
"Sejak setahun lalu. Sebelum ingatan ibu kembali. Aku dan Sahla sering ke mari."
Ibu menghentikan penjelasannya, lalu menyeruput tehnya dengan perlahan penuh perasaan. Aku hanya memandang ibu, dengan sesekali melirik Sahla yang duduk terdiam menjauh dari kami. Matanya fokus mengawasi langit dari jendela kecil di hadapannya. Di kejauhan sana, terlihat bintang berkedip nakal. Sungguh pemandangan yang kontras. Di dekat kami, awan hitam menggantung sembari meneteskan air hujan. Sedang di balik hujan terlihat bintang yang berkedip di kejauhan.
"Ibu minta maaf karena telah membohongimu."
Suara serak ibu sukses menarik perhatianku. Ku alihkan mataku pada sosok wanita tua di hadapanku itu.
"Maksud ibu apa ?" Tanyaku tak mengerti.
"Sebenarnya ibu sudah sembuh setahun lalu. Dan juga bisa bicara. Hanya saja ibu enggan untuk membuka diri. Ibu tahu kalau kau anakku. Tapi insting seorang ibu sangat tajam. Ibu ingin membuatmu menjauh dariku. Ibu takut, kau akan terluka karena masa lalu ibu."
Air mata ibu mulai menggenang. Aku sepenuhnya paham pemikiran ibu. Dia hanya ingin melindungiku.
"Sejujurnya, saat ibu sembuh beberapa ingatan mulai menjejali pikiran. Hanya saja belum utuh. Masih berupa potongan mozaik yang tercerai berai. Setiap kali mencoba mengingat agar memori itu terhubung, ibu jatuh sakit. Hingga Bu Suci menyarankan agar tak terlalu memaksa untuk mengingat. Lalu ingatan ibu mulai terhubung manakala melihat Nita di televisi dulu. Satu demi satu, potongan ingatan ibu mulai bermunculan. Yang tadinya masih samar kini menjadi makin jelas. Tapi bukan bahagia yang ibu terima setelah ingatan itu utuh. Luka, kecewa, dendam juga derita yang mendera hatiku. Aku stres hingga memutuskan mencari kesibukan dengan membuat roti, hobi lama ibu."
"Lalu, Mbak Nita itu siapa ? Kakakku kah ?"
Aku langsung menimpali manakala ibu berhenti bicara.
"Bukan. Dia bukan saudaramu. Bukan juga anak Anggun. Dia orang lain. Hanya saja, ibulah yang membesarkannya. Dia bayi yang terbuang. Entah kenapa, begitu melihatnya ibu langsung timbul rasa sayang. Akhirnya ibu besarkan Nita."
"Lalu kenapa Bu Anggun menganggap Mbak Nita sebagai anak ?"
"Tentu saja untuk menjadi kaki tangannya."
"Berarti Mbak Nita itu orang jahat ?"
"Bukan begitu. Nita anak yang cerdas. Dia tahu siapa Anggun dan siapa Anggi. Walau secara hukum dia menjadi anak Anggun, tapi dia tahu siapa jati dirinya. Dan Nita itulah saksi mata kunci kejahatan Anggun. Hingga membuat Nita harus pura-pura menjadi anak yang patuh pada Anggun. Tapi dibalik kejinakannya, Nita adalah anak yang tangguh. Diam-diam dia mencari informasi tentang kejahatan Anggun."
Ibu mengulum senyum, dia menepuk pundakku dengan lembut.
"Itulah kenapa Bu Anggun begitu waspada dengan Mbak Nita, ya Bu." Sahutku kemudian.
"Naaah itu kamu tahu. Jadi dia tak ada hubungan darah denganmu. Memang langkah Anggun begitu kejam. Menarik siapa saja yang berkemungkinan menjadi musuh di bawah cengkeraman kekuasaannya. Termasuk ayahmu."
Aku langsung menatap mata ibu dengan lekat.
"Maksud Ibu, Pak Koco itu benar-benar ayahku ??" Kataku dengan nada tak percaya.
Ibu menatapku balik, keningnya berkerut.
"Jadi kamu juga meragukan ibu ??" Ibu balik bertanya.
"Bukan meragukan, hanya Fembri berfikir mungkin saja itu hanya cara agar dia melepaskan kita." Jawabku mewakili isi otakku.
"Tentu saja bukan hanya itu. Dia memang benar ayahmu. Tapi Koco yang sekarang bukanlah Koco yang sebenarnya."
"Maksud, Ibu ?" Aku memandangnya penuh dengan selidik.
"Biarlah Ibu simpan dahulu kisah itu. Nanti bila sudah sampai saatnya akan aku ceritakan padamu. Ini bukan waktu yang tepat. Bersabarlah, fokus saja dengan tanganmu itu."
"Lalu masalah apa yang membuat Bu Anggun berusaha membunuh ibu ? Lalu bagaimana kejadiannya hingga ibu berakhir di jalanan ? Dan Fembri masih bingung perihal makam yang Ibu katakan tadi. Sedikitpun Fembri belum bisa mengaitkan semuanya. Hingga fakta bahwa aku anak ibu dengan Pak Koco."
Aku memandang ibu dengan gusar. Tapi ibu hanya tersenyum simpul. Dia memendam semuanya sendiri. Mungkinkah untuk melindungiku ?
"Semua hanya masalah waktu saja, Nak." Katanya sembari bangkit mendekati Sahla.
Ku ikuti langkah ibu dengan mataku. Di sana Sahla mendongakkan kepala sembari berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Sesekali terlihat dia mengangguk lalu melihat ke arahku. Entahlah, aku hanya diam tanpa tahu apa yang mereka bicarakan.
"Mari kita tidur !"
Ibu menata bantal juga selimut. Di gelarnya dua buah selimut, satu besar dan satu ukuran sedang. Lalu ibu merebahkan diri tepat di tengah. Lalu Sahla berbaring di sebelah kanan ibu.
"Nanti kalau kau tidur, berbaringlah di sisi kiri ibu, Fem. Pakailah selimut ini ." Katanya sembari menunjuk selimut berukuran sedang.
Aku hanya mengangguk saja tanpa sepatah kata. Otakku terasa ruwet. Hal mengejutkan apalagi yang akan aku terima. Aku menghela nafas berat. Ku lirik jendela kecil, hujan rupanya sudah berhenti. Sesekali terdengar suara burung hantu di kejauhan. Sedang ringkikan kuda terdengar samar dari bawah sana. Aku menarik kursi mendekati jendela kecil itu. Ku edarkan pandangan keluar. Langit begitu bersih setelah memuntahkan air hujannya. Kelap-kelip bintang mulai mencuri perhatianku.
Tak berapa lama aku mendengar ibu mendengkur halus. Ku lirik dua tubuh wanita itu. Terlihat Sahla tidur dalam pelukan ibu. Aku heran, sejak kapan mereka begitu dekat. Bahkan bertahun-tahun aku tak tidur dalam pelukan ibu. Melihat Sahla begitu nyenyak terbaring di samping ibu, membuatku sedikit cemburu. Mereka bagaikan anak dan ibu. Dua wanita itu, sama-sama misteriusnya. Juga sama-sama kelam masa lalunya. Mungkinkah ini takdirku ? Takdir untuk bisa menjaga dua wanita itu ?? Arrrgh ... aku mengerang pelan. Bukankah mereka yang selama ini mati-matian melindungiku ?? Aku tersenyum masygul, aku harus bagaimana ?
Mataku mulai berat, aku berjalan pelan-pelan untuk merebahkan diri. Tapi tak lupa ku tiup lilin penerang, takut terjadi kebakaran. Kini bulan mulai tersenyum. Sorot cahayanya menembus rimbunan daun dan memantul masuk ke rumah pohon ini. Baru saja aku mau merebahkan diri, terdengar suara ribut di bawah. Kuda Sahla meringkik tanpa henti. Aku mendadak mematung, menebak-nebak ada apakah di bawah sana ? Mungkinkah anak buah Bu Anggun ? Atau mungkinkah utusan Pak Rahmat ? Atau mungkinkah hewan buas ? Macan ? Ular ? Atau babi hutan ? Atau makhluk halus yang jahil ?
Aku bergidik ngeri. Segera ku peluk ibu, tapi tanpa sengaja aku menyentuh tangan Sahla. Aku mendadak terdiam, ada seorang wanita yang kini tidur di sampingku. Hanya tubuh ibu saja yang menjadi pemisah kami. Otak lelakiku mulai berpikir ke mana-mana. Apalagi kini tanganku sedang menyentuh tangannya yang halus. Nafasku menderu keras, jiwa mudaku bergelegak. Lalu Sahla menarik keras tangannya. Aku sempat khawatir dia terbangun, tapi untung saja dia hanya berganti posisi. Tapi tiba-tiba terdengar suara pintu depan berderit. Seperti seseorang yang menyelinap masuk. Aku hanya terdiam sembari menahan nafas. Haruskah aku bangun dan menghadapi orang itu ? Iya kalau orang ? Kalau itu ular besar bagaimana ?? Aku merinding membayangkannya. Tiba-tiba lantai terdengar berderit. Sepertinya sesuatu itu telah berhasil masuk. Aku harus bagaimana ? Aku makin menahan nafas tapi rasanya dadaku makin sesak. Hingga sesuatu yang dingin menyentuh leherku. Aku makin mematung tak berani bergerak hingga ....
"Aaaaaaarrrrggghh ... !!!"
Aku berteriak sekuat mungkin memecah kesunyian hutan malam itu.
~~~~BERSAMBUNG~~~~
No comments:
Post a Comment