Aslkm....
Tetap semangat......
Sambil nge teh kita lnjutkan kisah Fembri....
Part 15
*Ibuku Orang Gila*
#IOG
#PART 15
#MM
"Aaaaaarrrghhh ... !"
Aku berteriak sekeras mungkin, memecah kesunyian malam di hutan itu. Mendengar suara teriakanku yang membahana, ibu bergegas bangun lalu menyalakan senter pada korek gas nya. Diarahkannya cahaya dari senter kecil itu ke arahku. Dan seketika mataku menangkap sosok yang tinggi dan besar berdiri di depanku. Tangannya membawa golok besar yang berkilat, sukses membuatku menggigil karena kaget dan ketakutan.
"Sikapmu kali ini sangat berlebihan, Bram !" Kata ibu dengan nada tegas.
Lalu terdengarlah tawa dari sosok hitam itu. Tawanya pecah membelah keberanianku. Nyaliku makin ciut. Ku lirik Sahla, tubuh rampingnya itu masih terbujur seolah tak terganggu.
"Hahahaha ... kok tahu sih ? Kalau ini aku ?"
Sosok lelaki itu mendekatiku lalu menepuk bahuku yang masih gemetaran. Lalu dengan sigap, tangannya merebut korek gas di tangan ibuku dan menyalakan lilin. Perlahan mataku mulai bisa melihat jelas seiring dengan makin terangnya keadaan dalam rumah pohon ini.
"Aku hanya mengecek kalian, selamat sampai sini apa tidak. Tapi hujan lebat membuat mata tuaku ini sedikit lebih buram. Hingga ku sangka wanita cantik sedang menari ternyata hanya dahan pohon mahoni yang melambai terkena angin hahaha."
Tawanya sangat khas ! Perlahan rasa takutku berubah menjadi rasa penasaran. Bram ? Siapa lagi ini ? Aku menoleh pada ibu. Melihat sikapnya yang santai, aku yakin mereka sudah saling mengenal cukup lama. Terlebih sikap Sahla yang "lembek" itu. Biasanya dia bak singa saat ada orang asing di sekelilingnya. Tapi melihat dia masih rebahan dengan tenang, berarti Sahla juga sudah mengenal dekat dengan Bram ini. Lagi-lagi hanya aku seorang yang tak paham siapa dirinya. Aku mendengus kesal. Sosok ibu memang misterius. Kejutan demi kejutan dia berikan padaku. Moga saja jantungku kuat hingga aku tak mati berdiri kala ada kejutan besar lagi.
"Jadi ... ini anakmu itu ?" Tanya Bram itu sembari melirikkan matanya padaku.
"Iya ." Jawab ibuku pendek.
"Ohh ... benar-benar tampan. Dia tak mirip denganmu. Mirip ayahnya kah ?" Katanya sembari menyalakan kompor dan merebus air di atasnya.
Mendengar kata-kata itu membuat mual saja. Aku mirip ibu ! Bukan mirip dengan Indro Sukoco yang kejam itu !
"Ah ... entahlah. Aku pusing. Aku akan tidur lagi." Kata ibu sembari masuk kembali ke selimutnya.
"Pesantren keadaannya sangat gawat. Rusak parah karena kelakuan preman adikmu itu." Kata Bram sembari menyeduh teh dan menambahkan gula pasir. Di sarungkannya golok itu dan meletakkannya di meja.
"Kamu mau ??" Katanya sembari menatapku.
Aku hanya menggeleng lemah. Rasa khawatir mengusik pikiranku. Bagaimanakah keadaan pesantren saat ini ?
"Lalu sekarang bagaimana keadaan di sana ?" Tanya ibu dengan masih berselimut.
Ahhh ... aku masih menunggu penjelasan ibu tentang identitas pria paruh baya ini. Tapi nampaknya ibu belum berniat memperkenalkan siapa Bram kepadaku.
"Sudah aman. Banyak pamong desa yang berjaga di sana. Dan para preman itu tiba-tiba pergi setelah bos berambut putih itu memutuskan untuk pergi." Kata Bram sembari menghirup aroma melati yang menguar dari teh panas yang diseduhnya.
"Boleh aku menebak ?" Kata Bram lagi sembari menatap ibu dengan lekat.
"Menebak apa ?" Kata ibu pelan.
"Menebak kalau dia mungkin ayah dari anakmu ini." Kata Bram dengan menatapku lurus tanpa ekspresi.
"Dari mana kau tahu ?" Tanya ibu dengan nada kesal.
"Ahh ... ternyata benar dugaanku hahaha ." Tawa Bram kembali pecah.
Ingin sekali aku menyanggah perkataan ibu yang seolah-olah membenarkan tebakan Bram itu. Tapi akhirnya aku hanya berakhir dengan diam. Lebih tepatnya malas, takut kecewa lebih dalam soal kemungkinan Koco adalah ayah kandungku.
"Dari bentuk rahang juga postur anakmu. Yang pasti aku makin menebak kala dia bilang kalau kalian sudah tewas di jurang yang curam. Tentu saja itu sebuah kebohongan. Karena di sini bukit kecil yang tak ada satupun jurang yang curam. Lebih curiga lagi kala dia ditanya bukti bila kalian telah tewas, dengan nada suara tinggi tanpa segan dia mengacungkan pisau pada anak buahnya. Hanya ada dua alasan dia melakukan itu. Yang pertama, dia kehilangan kalian. Yang kedua, dia berusaha melindungi kalian. Dan aku lebih memilih opsi yang kedua." Katanya dengan memutar-mutar gelasnya.
"Aku membuat kesepakatan dengannya. Dan aku yakin, kalau kemenangan ada di pihakku." Kata ibu.
Aku makin tak mengerti apa maksud ibu. Kemenangan apa yang dia maksudkan ?
"Mungkin ini saatnya kalian untuk pergi dari sini. Menjauhkan orang-orang pesantren dari masalah kalian. Kasihan Rahmat dan Suci. Lagipula kini anakmu sudah besar. Sudah waktunya dia terjun ke dunia yang sesungguhnya. Karena aku yakin, adik kejammu itu pasti akan mengirim orang lagi kemari."
Ibu bangkit dari tidurnya lalu berpaling menghadapku.
"Besok kita harus berkemas. Sebenarnya ibu sudah bilang jauh-jauh hari dengan Bu Suci. Soal rencana kepergian kita. Tapi dia memohon agar kau sehat dulu, baru pergi."
"Memangnya kita mau ke mana, Bu ?"
"Ke medan pertempuran yang sesungguhnya. Bila kita ingin menumpas ular, jangan menunggunya menghampiri kita. Tapi kitalah yang harus lebih dulu mendekati sarangnya dan menyerangnya. Kita harus menyerang Anggun."
Aku menelan ludah. Tenggorokanku langsung terasa kering. Menyerang Bu Anggun ?? Dengan keadaan kami yang sekarang, di matanya kami bagai nyamuk yang begitu mudah dikibasnya.
"Maksud ibu apa ?? Bukankah Bu Anggun punya banyak preman ? Yang pasti kita akan terbunuh sebelum melawan."
"Kita melawan bukan dengan otot, Fem. Tapi dengan otak dan tangan."
Aku memandangi tanganku yang masih terasa ngilu. Dengan tangan seperti ini aku melawan Bu Anggun ?? Mustahil !
"Tapi tanganku belum pulih, Bu." Kataku parau.
"Kita serang titik kekuatan mereka yang juga menjadi titik kelemahannya. Bukan adu jotos !"
"Maksud ibu ?? Aku makin tak paham, Bu?"
"Ya Allah ... kau ini ! Apa yang membuat Anggun begitu sombong dan hebat hingga punya uang untuk membayar preman ?" Tanya ibu dengan keras.
"Ehmm ... dia kaya, Bu." Kataku dengan nada ketakutan melihat ibu marah.
"Iya ! Lalu apa yang membuatnya kaya dan menghasilkan banyak uang ??" Sentak ibu.
Aku gemetaran, ibuku sangat seram sekali.
"Toko Anggun Bakery, Bu." Jawabku.
"Betul ! Maka dari itu, kita serang toko roti Anggun !" Kata ibu berapi-api.
"Maksud ibu, kita hancurkan toko rotinya ?" Tanyaku bodoh.
"Ooohhh ... lha kamu itu geblek !! Kita serang bukan dengan otot ! Tapi pakai otak dan taktik dagang. Kita buat toko roti sendiri untuk menghancurkan pasar roti Anggun. Dengan cara kita membuat roti yang sama persis dan lebih murah ! Itulah kenapa Anggun sangat ketakutan padamu ! Karena dia tahu kau punya bakat alami yang menurun dariku. Ditambah lagi, pemilik resep rotinya yang dia kira telah mati kini teryata masih hidup. Tak tau kah kau, Fem ? Baginya ... kita adalah musuh menakutkan. Bila kita bersama, kita punya peluang lebih besar untuk menang. Karena apa ? Karena kita punya apa yang tak dia punyai. Resep asli dari roti-rotinya itu ada di sini ." Kata ibu sembari menunjuk kepalanya.
Mulutku menganga lebar. Jadi, itukah alasan Bu Anggun berusaha untuk melenyapkan ibu ? Karena ibulah pemilik asli dari resep roti yang dijualnya itu ?? Waaaah ... benar-benar aku terkejut dengan ini !
"Paham kau ?!" Bentak ibu.
Aku mengangguk mengerti. Jadi ... Bu Anggun mencuri resep roti ibuku ?? Dan entah kenapa, semangatku kini mulai membara. Memanaskan hatiku dan membakar pikiranku. Kini aku merasa berenergi kembali. Semangat yang tadinya runtuh, kini terbangun lagi. Ya ... benar kata ibu. Inilah medan perang kami. Antara sang pencuri dan sang pemilik asli. Aku tersenyum puas. Ku pandang ibu yang kini matanya berkobar penuh api. Api pembalasan dendam dan perang melindungi nyawa.
"Fembri paham maksud ibu." Aku tersenyum lebar.
Bayangan tabunganku yang lumayan, sangat cukup untuk memulai bisnis kami. Tabungan seumur hidupku, kini tiba saatnya kau mengambil peran.
"Tapi ... bagaimana dengan tanganku ?"
"Serahkan padaku, Nak !" Sahut Pak Bram dengan senyum misterius .
Aku memandangnya dengan penuh tanda tanya. Dia dukun pijat ??
"Oh maaf. Ibu lupa mengenalkan dia. Dia adalah Bramantya. Seorang dokter ahli tulang yang telah pensiun dan lebih memilih mengasingkan diri di sini dengan menjadi penunggu bukit."
Aku kini melongo lagi. Laki-laki itu seorang dokter ahli yang sudah pensiun ? Aku ragu melihat penampilannya yang amburadul itu. Melihatku tak percaya, Bram tertawa keras. Lalu berdiri dengan menarik jenggotnya dan ... jenggot itu terlepas, jenggot palsu ! Lalu naik ke kumisnya dan ternyata juga palsu ! Dan menarik rambutnya, lepas juga ! Semua yang ada di kepalanya itu palsu. Lalu setelah itu berubahlah dia menjadi sosok pria yang berwajah bersih dan tampan. Jauh berbeda dengan awal tadi aku melihatnya. Mataku bagai ingin meloncat dari tempatnya melihat perubahan drastisnya itu.
Melihat aku melongo dengan wajah bodohku, dia tertawa terbahak-bahak. Aku tersenyum tak percaya. Kejutan apalagi yang akan menemuiku nanti ?? Rasanya aku hampir gila !
"Aku ?? Pensiun demi menjadi penunggu bukit ini ?? Hadeh ! Itu hoak. Cerita yang benar adalah aku seorang dokter kaya raya, yang punya sebuah rumah sakit besar. Aku bukan pensiun, hanya ingin menikmati keindahan alam saja. Dan asal kau tahu, Nak. Ini adalah rumahku."
Arrrrgh ... aku benar-benar pusing dibuatnya. Muncul dengan penampilan berantakan lalu tiba-tiba berubah menjadi tampan dan sekarang?? Mengaku menjadi pemilik rumah sakit yang kaya raya ?? Edan !
Dengan langkah santainya, Pak Bram mendekati lalu menarik tanganku yang sakit. Diamatinya dengan seksama dari ruas ke ruas jari yang lain. Alisnya berkerut seolah menemui kesalahan di sana.
"Besok kita operasi lagi tanganmu ini. Operasinya gagal. Andai jarinya tumbuh dan menyambung, tulangnya akan berantakan. Mungkin awalnya bagus memang. Tapi saat kau ke mari dan naik ke atas sini, tulangmu yang belum sembuh sempurna bergeser lagi. Hingga kemungkinan tersambung dengan baik bisa ku katakan mustahil tanpa operasi ulang."
Dia berdiri lalu melirik Sahla. Lalu tersenyum lembut memandangnya.
"Dia pasti kelelahan. Hei kau bocah ! Mau sampai kapan kau buat wanita ini melindungimu terus ?? Tak malukah kau ? Harusnya kau yang melindungi wanita, tapi hmmm ... ckckck." Dia menggeleng sembari berdecak menghinaku.
Nyaliku makin menciut kala hatiku membenarkan kata-kata Pak Bram itu. Sahla, wanita yang melindungiku dengan nyawanya.
"Tidurlah. Besok kita akan turun bukit. Dan bersiaplah untuk operasi ulang."
Aku hanya mengangguk lalu merebahkan diri. Ku lihat ibu mulai merapatkan matanya. Tapi entah kenapa, pikiranku melayang jauh. Hatiku berat bila harus meninggalkan pesantren. Ataukah aku belum siap bertarung melawan takdir ? Ahhh ... entahlah. Aku meringis kala rasa nyeri melanda tanganku. Aku bangkit, berwudlu lalu bersujud menghadap Sang Khalik. Meminta jawaban atas kegundahan juga masalah pelik yang melilitku. Di sela-sela doaku terdengar dengkuran halus dari Pak Bram. Tanpa ku sadari, sepasang mata lentik mengawasi dari balik punggung ibuku yang tertidur lelap.
~~~~
Bertiga kami menuruni bukit. Dan entah saat aku terbangun, Pak Bram tak lagi ada di rumah pohon. Dan ibu terlihat santai saja. Kini semangatku membaja. Merangkai asa, merajut masa depan yang tak mudah. Siap tak siap, aku harus siap. Dunia tetap akan berputar walau kita tak siap menghadapinya. Sesekali aku melirik ke Sahla, seperti biasa dia tak acuh padaku.
Aku memandang tak percaya pada pemandangan di depan mataku ini. Pesantren kacau balau. Kaca-kaca pecah berantakan. Perabotan berantakan. Pot dan vas banyak yang hancur. Kursi rusak dan patah. Bahkan televisi pun hancur berkeping-keping. Hatiku sungguh hancur. Kami menyeret mereka dalam pusaran masalah pribadi. Rasanya aku ingin menangis. Tempat yang membesarkanku kini hancur !
"Tenang saja. Tak lama lagi, pesantren ini akan rapi."
Aku menoleh ke asal suara. Pak Bram !
"Aku akan membiayai perbaikan pesantren ini. Dengan syarat, kau harus membuatkan roti terenakmu untukku setiap hari. Bagaimana ??" Katanya sambil tersenyum.
Aku menunduk lesu. Benar kata Pak Bram. Mungkin ini saatnya untukku pergi dari sini. Memutus tali setan yang bisa saja menarik pasukan preman Bu Anggun kembali memporak-porandakan tempat ini.
"Suwun ya, Kang. Atas bantuannya." Kata Pak Rahmat menyalami Pak Bram.
"Tenang saja. Kita kan keluarga." Kata Pak Bram.
Keluarga ?? Batinku bertanya-tanya.
"Fem, kenalkan, ini Bramantya. Sepupuku." Kata Pak Rahmat.
Ohhhh ... sepupu rupanya ! Pantes !
"Mat, aku akan membawa Fembri ke Solo. Tangannya harus dioperasi ulang. Bila tak segera dilakukan, aku khawatir tangannya tak bisa lagi normal."
"Baiklah, Kang. Asal demi kebaikan Fembri, aku tak mengapa. Pasti dia sangat tersiksa dengan rasa sakit dari tangannya itu."
Pak Rahmat tersenyum padaku. Aku menghambur lalu memeluk Pak Rahmat. Ada rasa haru dan sedih. Aku ingin sosok ayahku seperti Pak Rahmat ini. Bukan seperti Koco yang kejam itu !
"Datanglah kapan saja ke sini. Ini adalah rumahmu, Fem. Kau akan selalu diterima di sini."
Aku memeluk Pak Rahmat makin erat. Mataku yang basah menangkap ibu yang telah menjinjing tas besar. Inilah waktunya kami berpisah. Ahhh ... hatiku sakit !
"Bu Suci ke mana, Pak ?" Tanyaku.
"Dia mengawasimu dari dalam. Sejak semalam dia menangisimu. Baginya, kau adalah anak kami. Tentu dia sedih sekali. Makanya dia lebih memilih tak menemuimu. Takut dia tak sanggup melepasmu. Maka dari itu, seringlah menengoknya."
Air mataku makin deras. Mataku menangkap bayangan dua wanita berdiri dari balik kaca hitam. Mereka adalah Bu Suci dan Sahla. Hatiku perih bagai tersayat silet. Perpisahan ini begitu menyakitkan.
"Ayo masuk !" Seru Pak Bram dari mobil mewahnya.
Aku melangkah mendekati mobil. Sedang ibu sudah duduk manis di sana. Walau dia terlihat tenang, wajahnya mengguratkan kesedihan mendalam. Pesantren ini adalah rumah kami, kenangan kami.
"Fembriiiiii !!!! "
Bang Udin dan Mas Aan memanggilku berbarengan. Berdua mereka menghambur memelukku. Air mataku makin mengalir deras hingga ingus keluar dari hidungku. Sementara Pak Abu hanya menepuk bahuku sembari mengusap air matanya. Setelah saling mendoakan, aku masuk ke mobil. Dengan lambaian tangan yang lesu, aku mengucapkan selamat tinggal.
Aku melihat gapura pesantren semakin jauh dan mengecil. Sepanjang jalan aku tak hentinya menangis. Rasa sedih memeluk hatiku. Rasa haru menyelimuti kalbuku. Mereka awalnya bukan siapa-siapa. Tapi kehilangan mereka bagai kehilangan keluarga terdekatku. Kini mobil ini akan membawaku ke Solo. Sebuah kota yang akan menjadi tempat bertarung hidup dan matiku. Asa tak boleh putus. Harapan tak boleh pupus. Inilah semangat baruku. Semangat seorang Fembri mencoba melawan takdir.
~~~bersambung~~~
No comments:
Post a Comment