23 October 2020

Part 16*Ibuku Orang Gila*#IOG#PART 16#MM

*Ibuku Orang Gila*

#IOG
#PART 16
#MM

    Awalnya, aku ragu pada Pak Bram yang malam itu mengaku seoramg dokter plus yang katanya memiliki sebuah rumah sakit besar. Tapi hari ini aku sepenuhnya percaya. Bagaimana tidak ?? Saat mobil mewahnya memasuki parkiran khusus staf rumah sakit, satpam begitu sopan dan hormat padanya. Makin melongo manakala di depan rumah sakit besar itu terpampang baliho besar berisi fotonya. Berkali-kali hati kecilku ini bertanya. Kenapa seorang dokter kaya raya nan tampan itu rela "bertapa" di puncak bukit itu ? Sungguh aku tak bisa menjawabnya.

"Mbak Sinta, besok ada jadwal operasi ndak ?" Tanya Pak Bram pada perawat di meja informasi. 

Perawat itu nampak kaget melihat kedatangan Pak Bram. Wajahnya sedikit gugup.

"Oh ... bentar saya cek dulu, Pak." Katanya sembari mengetik sesuatu pada papan keyboard.

"Sepertinya kosong untuk dua hari ke depan. Bukankah Pak Bram sedang cuti sampai besok lusa ? Kok sudah masuk ?" Tanya perawat itu.

"Ya ni. Punya pasien gawat darurat soalnya. Ya sudah, siapin ruang operasi buat besok ya ? Terus, tolong anter pasien ini ke kamarnya. VIP lho ya ? Terus suruh Mas Ibram untuk ngecek kondisi pasien ini." Kata Pak Bram sembari tersenyum.

"Oke ... kalian tunggu di sini, ya? Nanti biar Mbak Sinta ini yang anter kalian ke ruang perawatan." Katanya pada kami yang hanya membalas dengan anggukan.

"Oh ya ...sementara beri dia obat pereda nyeri sama pencegah infeksi dulu. Oke, aku mau pulang dulu ya." Kata Pak Bram yang kini beralih pada Mbak Sinta.

Perawat itu pun hanya mengangguk tanda mengerti.

"Mari, Mas ... Bu, saya antar ke ruangannya." Kata Mbak Sinta ramah.

Kini kami mengekor mengikuti langkah Mbak Sinta. Dibawanya kami ke ruangan di lantai tiga. Ruangan yang sungguh mewah dan luas. Dan hanya ada satu kasur di sini. Sedang di lain sisi ada sofabed yang diperuntukkan bagi keluarga pasien. Benar-benar nyaman ! Mendadak teringat uang tabunganku yang akan aku gunakan untuk modal usaha. Bisa-bisa habis uangku itu untuk membayar biaya sewa kamar dan operasi ulang. 

"Bu, lebih baik kita minta kamar yang biasa saja. Takut gak cukup uang Fembri." Bisikku pada ibu.

"Biar saja. Toh juga si Bram yang usul agar kita tinggal di ruangan ini." Kata Ibu santai.

"Ya namanya pemilik rumah sakit, pasti rekomendasinya yang mahal lah, Bu." Kataku memprotes.

"Wis, kamu diam saja ! Nanti biar Ibu yang bilang ma dia. Penting kamu fokus pada pengobatan juga penyembuhanmu."

Aku hanya diam, tak berani menyahut melihat ibu yang mendelik ke arahku. Ya Allah ... ibuku kini galak sekali !

~~~~~~

     Hari ini tepat seminggu setelah operasi ulang tanganku. Dan di rumah sakit ini, baik makan juga fasilitas sangat memadai. Bahkan untuk makan ibuku pun tersedia. Aku jadi bertanya-tanya, mungkinkah hubungan ibu dan Pak Bram sudah begitu dekat ? Tapi aku tak berani bertanya  karena melihat wajah ibuku yang kini menjadi sering berubah garang. 

"Hello ... semuanya ! Gimana keadaannya ?" Tanya Pak Bram yang tiba-tiba masuk dengan wajah sumringah.

"Alhamdulilah, baik Pak." Jawabku sembari membalas senyumnya.

"Okeee ... hari ini kamu sudah boleh pulang, ya ? Kira-kira sudah punya pandangan mau tinggal di mana belum ?" Tanya Pak Bram.

Aku hanya terdiam, bingung. Aku belum mengenal seluk beluk kota ini. 
Ibu yang tadinya rebahan kini sudah duduk di sofa. Matanya menatap Pak Bram.

"Bram ... kamu tahu tempat strategis untuk memulai bisnis roti kami ? Yang sewanya cukup murah tapi tempatnya cukup luas untuk kami." Tanya Ibu.

"Ehhhmmm ... sepertinya aku tahu tempatnya. Luasnya standart sih, tapi letaknya top markotop. Pas dan bagus buat usaha kalian. Kemarin ada yang nawarin ke aku, harganya juga lumayan sih. Tapi aku tolak soalnya duitnya lagi buat renovasi bangunan rumah sakit ini. Coba deh nanti aku negoin, secepatnya aku kabari." Kata Pak Bram santai.

"Oh ... terimakasih, Pak . Omong-omong, berapa total biaya pengobatan saya, ya?" Tanyaku.

Pak Bram hanya tersenyum sembari melirik ibuku.

"Bayarlah nanti bila kau sukses, Fem. Dan selama kau belum sukses, cukup buatin saja roti terenakmu untukku tiap hari." Katanya ramah.

Ibuku tersenyum samar sembari melihat Pak Bram. Tatapan matanya, bak anak muda yang kasmaran. Ahhh ... gawat !

"Ya sudah, aku coba telepon temanku dulu. Semoga ruko itu belum terjual, jadi kita bisa menyewanya." Kata Pak Bram sembari menatap ibu dalam.

Aku mendadak risih berada di tempat ini. Serasa bagai pihak yang tak diharapkan hadir di sini. Bukan tak tahu, tapi selama di sini sering aku melihat Pak Bram menyelinap masuk ke kamar. Entah hanya mengecek aku atau mungkin ibuku. Bahkan pernah aku melihat dia membenarkan selimut ibu dengan senyum penuh ketulusan. Sejak kapan mereka saling menautkan rasa ? Sungguh masih misteri !

~~~~~

    Seminggu sejak kepindahanku ke ruko sederhana ini, sudah berulangkali kami keluar masuk pasar. Untuk survey target pembeli juga standart selera orang-orang di sana. Dan inilah kami, mantap "bertarung" memperebutkan pelanggan. Dan melalui tangan ibu yang cekatan, terciptalah roti yang sempurna. Melalui internet kami mencari info jenis-jenis roti yang dipasarkan oleh Anggun Bakery. Pernah sekali kami membeli roti dari sana. Tentu saja bukan kami yang mengantre, melainkan Pak Bram. Dari sana kami jadi tahu rasa dan kualitas roti milik Anggun Bakery. Bahkan menurut ibu, resep yang dipraktekkan Bu Anggun belumlah sempurna. Maka kini master sebenarnya sudah kembali. Siap untuk serangan balasan. 

    Melalui aplikasi online yang dulu aku pakai berjualan, kami mengumumkan pada pelanggan bahwa kini kami buka di Solo. Berbeda dengan Anggun Bakery yang memakai konsep offline dan siapa cepat dia dapat, kami memakai konsep online. Dan akhirnya setelah sebulan kami mempersiapkan diri, kini kami benar-benar siap bersaing.

    Awalnya hanya beberapa buah saja yang terjual. Namun seiring berjalannya waktu, toko kami makin banjir orderan. Bukan hanya dari online, bahkan para pembeli pun banyak yang menyempatkan diri mampir ke toko roti sederhana kami. Bahkan ada yang terang-terangan mengaku penasaran dengan proses kami membuatnya. Katanya dia was-was kalau roti yang kami jual itu tidak fresh alias roti sisa dari Anggun Bakery. Tapi setelah melihat langsung, mereka menobatkan diri menjadi langganan tetap kami.

    Dan dari situlah awal mula kesuksesan kami. Bahkan santer terdengar kalau Anggun Bakery tak seramai dulu. Bahkan ada juga yang menyebutkan, kalau toko roti ternama itu kini terpaksa mengurangi jumlah roti yang diproduksi. Usut punya usut, beredar kabar kalau kini banyak roti yang tersisa. Padahal dulu satu jam setelah buka semua roti sudah ludes terjual. Setidaknya langkah awal kami 
mulai membuahkan hasil. Hingga seseorang yang tak kami harapkan muncul.

"Fembri !" 

Aku langsung menoleh mencari sosok yang aku benci itu. Dia berjalan masuk dengan tergesa-gesa. Wajahnya nampak begitu khawatir.

"Apa maksud semua ini, hah ?! Bukankah sudah aku bilang untuk bersembunyi sementara waktu ? Hanya masalah waktu saja Bu Anggun akan menemukan kalian ! Kalian cari mati, hah ?!" Katanya kasar padaku.

"Mau bersembunyi ataupun tidak, bagi kami sama saja. Tentu saja kami tak akan menyerah begitu saja. Lalu bagaimana dengan syarat yang ibu minta ? Sudahkah kau lakukan ?" Tanyaku tajam.

"Tentu saja. Orang suruhanku sedang pergi ke desa itu. Dan dia baru akan pulang akhir bulan ini. Tapi apa ?? Kau membahayakan nyawa kita ! Kalau Bu Anggun tahu, bukan hanya kita yang akan mati, tapi ibumu juga !" Kata Pak Koco dengan menahan marah.

"Kau takut  Bu Anggun akan membunuhmu setelah tahu kebohonganmu itu ?" Kataku dengan sinis.

"Kalau tahu begini, aku pasti lebih memilih membunuhmu dulu. Dan apa-apaan ini ? Andai Bu Anggun tahu, kalian pasti tewas !" Kata Pak Koco serius.

"Ini adalah perang terbuka kami. Perang antara pemilik resep asli dan pencuri." Kataku lantang dan keras hingga banyak pelanggan yang sontak berdiri diam karena kaget mendengar perkataanku.

"Diam ! Kalian cari mati, ya ?!" Sentak Pak Koco.

"Kami tak takut lagi, Pak ! Katakan saja pada Bu Anggun. Kami menantangnya untuk berduel secara terbuka di depan umum. Duel untuk membuktikan kalau sebenarnya Bu Anggun telah mencuri resep dari ibuku." Kataku tegas.

Lalu terdengarlah bisik-bisik para pelangganku. Bahkan beberapa ada yang mengambil fotoku. Entah untuk apa. Lalu ibu yang tadi berdiri di balik etalase yang juga merupakan dapur kami, kini melangkahkan kaki keluar. Selama ini dia tak pernah menunjukkan wajahnya pada pelanggan. Jadi hanya aku saja yang jadi kasir dan pramuniaganya. Dan bisik-bisik para pengunjung mulai berdengung bagai lebah. Mereka saling berbisik satu sama lain dan mengambil foto ibu juga. Bahkan aku bisa mendengar bisikan mereka yang terkejut karena konon ibuku mirip Bu Anggun.

"Aku sudah memutuskan untuk melawannya. Tak apa bila nyawa taruhannya, tapi setidaknya kami berjuang demi menyambung hidup daripada sembunyi melarikan diri." Kata ibu.

   Koco yang melihat kelakuan nekat kami pun segera hengkang dari toko kecil kami. Wajahnya memerah karena amarah yang tersimpan di dalam dada. Aku hanya tersenyum dalam hati. Walau mungkin saja dia itu ayah kandungku, tapi entah kenapa aku masih belum bisa menelan kenyataan itu. Dan jujur saja, aku berharap Pak Bram lah ayah kandungku.

     Sejak hari itu, banyak orang-orang yang berkumpul di depan toko rotiku. Bahkan beberapa ada yang mengaku sebagai wartawan. Walau terasa sedikit aneh, tapi mengingat pamor dan popularitas Bu Anggun di kancah pebisnis lokal terutama bisnis kuliner tentu saja hal ini lumrah. Aku tahu banyak yang kaget dengan pengakuan kami tempo hari yang menyebut Bu Anggun pencuri resep. Dan jujur sampai detik ini, aku belum tahu detail peristiwa kelam yang melibatkan ibuku dan Bu Anggun. Tapi dugaanku meleset. Rupanya Bu Anggun sangat tangguh. 

"Seperti yang kalian tahu. Pembuat onar itu adalah penjiplak resep roti saya. Bahkan dulu dia pernah diam-diam menyusup ke toko kami. Ini bukan hanya gosip, tapi fakta ! Bisa tanyakan langsung beberapa pelanggan setia saya yang saat itu di lokasi kejadian. Bahkan saya kira dia adalah pelamar yang akan melakukan wawancara kerja untuk menjadi pramuniaga kami. Tapi ternyata, kami salah besar. Dia adalah penjiplak yang mengaku-ngaku sebagai pemilik asli resep roti saya." Ucapnya seperti yang tertulis di surat kabar online.

Hatiku meradang ! Maling teriak maling ! Ini tak bisa ku biarkan !

"Fem ! Fokus saja dulu ke pekerjaanmu." Kata ibu kala melihatku gusar dan tak fokus pada pelanggan. 

Walaupun berita itu masih hangat, tak mengurangi jumlah pelanggan kami. Bahkan fotoku dan ibu yang sedang bertengkar dengan Koco pun beredar luas di internet. Bahkan ada judul artikel yang sangat menohokku. Judul artikel itu berbunyi, Sosok Wanita Misterius Mirip Pemilik Anggun Bakery Diduga Melakukan Operasi Plastik. Jadi, menurut mereka ibuku melakukan operasi wajah agar bisa mirip dengan Bu Anggun ! Katanya demi memuluskan "serangan" pada Bu Anggun. Yang benar saja ! Ibuku itu lahir lebih dulu dari Bu Anggun. 

     Dan makin hari, makin banyak pelanggan yang datang langsung ke ruko kecil kami. Sebagian karena merasa penasaran dengan sosok ibuku. Bahkan ibu yang biasanya membuat roti secara tertutup, kini mulai terbiasa membuat langsung di depan pelanggan. Dan para pelanggan pun begitu antusias mengikuti proses demi proses ibu membuat roti. 

"Waaaah ... bener-bener cekatan ya. Rasa juga teksturnya pun lebih bagus dari Anggun Bakery." Celetuk salah seorang pengunjung yang membuat ibu makin terbakar api semangat untuk pamer. 

"Masa sih ya, penjiplak tapi rotinya lebih sempurna dari pencipta aslinya. Aneh tapi nyata. Kira-kira yang jiplak siapa nih ?" Sindir seseakun di artikel yang memojokkan ibu.

"Walau lebih enak, yang namanya penjiplak tetap saja penjiplak. Gak ada yang namanya maling itu berkah." Sahut akun lainnya yang ternyata fans garis keras Anggun Bakery.

Dan masih banyak lagi perang komentar di media sosial. Dan tentu saja secara tak langsung, perang itu menjadi ajang promosi kami. Tanpa susah payah, nama toko kami menjadi naik daun. Bahkan jadi buah bibir baik di dunia maya maupun dunia nyata. FemNur Bakery, dalam waktu enam bulan saja mampu "menggoyang" bisnis Bu Anggun. Tapi tetap saja, Bu Anggun masih main aman menghadapi kami. Karena dia tahu reputasi juga karir tokonya akan hancur bila gegabah. Bahkan tak menampik kemungkinan, bisa saja dia jatuh miskin bila tak hati-hati. Bagi pengusaha besar, nama baik bak modal untuk menarik keuntungan. Dan itu menjadi senjata ampuh bagi kami yang merupakan pengusaha "amatiran".

"Minta roti rasa coklat kelapa sepuluh biji saja. Apakah masih tersedia ?" Tanya seorang wanita.

Aku yang sedang sibuk memilah roti sesuai rasa, menjawab tanpa menoleh.

"Masih ... tapi tunggu sekitar sepuluh menit bisa ? Sedang dipanggang soalnya." 

"Jangankan sepuluh menit, setahun pun aku siap menunggumu." Kata wanita itu santai.

Jiwa mudaku tergelitik untuk melihat wajah wanita bersuara lembut itu. Dan mataku menangkap wanita muda yang cantik dengan hijab berwarna coklat muda. Dipadu dengan blouse berwarna senada dan celana jeans warna hitam. Wanita itu tersenyum manis padaku membuat hati lelakiku berontak bahagia.

"Mbak Nita ??" Kataku sumringah setelah tahu siapa wanita yang di depanku ini.

"Yoi ! Gimana kabarnya, Fem ?" Tanyanya ramah.

"Alhamdulilah, baik." Jawabku dengan agak gugup.

"Ibuk ada ?" Tanyanya lagi padaku.

Ibuk ?? Jadi dia memanggil wanita yang melahirkanku itu dengan sebutan yang sama denganku ?? Ahhh ... rasa penasaranku dulu kini terjawab sudah.

"Ohhh ... tuh lagi ngadon. Adonan terakhir. Langsung aja, masuk dari pintu itu. Ntar langsung tembus ke ruangan sebelah." Kataku.

"Oke ... makasih. Oh ya, hampir setahun tak bertemu kamu terlihat makin ganteng aja. Makin dewasa." Katanya yang sukses membuat jantungku melompat berjingkrak karena bahagia.

"Mbak Nita juga makin cantik." Kataku balas memuji.

"Ahahaha ... beneran nih ?" Katanya sembari melirik menggodaku.

Alamakkkk ...! Godaan !
Aku hanya tersenyum sembari mengangguk.

"Oke ... makasih. Aku langsung masuk saja, ya?"

"Oh ... monggo, Mbak." Kataku ramah.

Dan kini Mbak Nita sudah menyelinap ke ruang pribadi ibu. Ruang di mana ibu merasakan bahagia kala tangannya menyentuh adonan dan menuangkan keajaibannya menjadikan tepung berubah wujud menjadi roti yang menggoda. Dan dari kejauhan, aku menangkap gelagat orang yang aneh. Matanya sesekali melihat ke arahku dan ke sekelilingku. Tampak seperti mata-mata yang diutus seseorang untuk menyelidiki aktivitasku. Hingga teleponku berbunyi. Dengan langkah sigap aku mengangkatnya. Lalu terdengarlah suara yang tak asing bagiku.

"Nikmatilah waktumu yang tersisa dengan bahagia. Karena sebentar lagi, mata-mata yang kalian tempatkan pada kami akan tewas." 

Sebelum aku sempat menjawab, saluran telepon itu sudah terputus. Aku berdiri mematung. Mencoba mencerna ucapan lelaki itu. Apa maksud ancaman itu ? Mata-mata kami ?? Siapa yang dia maksud ? Mbak Nita kah ?? 

~~~~BERSAMBUNG~~~~

No comments:

Post a Comment