Aslkm....
Semangat siang semua....
Penasaran dg kisah Fembri....?
Ini lnjutannya.....
*_Ibuku Orang Gila_*
Part 4.
Pesantren An Nuur, sebuah tempat terapi dan penyembuhan bagi pasien gangguan jiwa. Dan kini aku menjadi salah satu penghuninya. Bukan karena aku gila tapi karena ibuku yang gila. Mau tahu kenapa Pak Budi bilang aku istimewa ? Karena bertahun-tahun hidup dengan orang gila, dilahirkan dari orang gila juga dibesarkan oleh orang gila.
Semenjak aku datang, ibu dipindahkan ke pondok putri. Konon di sana juga ada praktisi ruqyah juga terapist-nya. Walau aku agak was-was takut ibuku mengamuk tapi melihat betapa banyak pasien yang kini mulai sadar dan kembali terjun ke masyarakat membuatku lega. Setidaknya aku dan ibu hidup lebih layak daripada di jalanan. Di sini aku punya banyak teman baru walau umur mereka tergolong umur dewasa. Tapi dari merekalah aku belajar memaknai hidup juga mendalami agama yang selama ini ku dapat dari hasil mengamati dan mendengar.
"Nov ... sini ." Seseorang memanggilku.
Bang Udin namanya, usia sekitar 30-an tahun . Kini dia sudah benar-benar pulih dan normal. Dia adalah pasien yang menjalani terapi selama 4 tahun. Dari ceritanya, dia gila karena depresi. Konon dia depresi karena kelakuan sang istri. Demi membuatkan rumah istrinya, dia menjual tanah warisan satu-satunya lalu membangun sebuah rumah di atas tanah mertuanya. Tapi sayang setelah rumah berdiri, istrinya selingkuh lalu menggugat cerai. Dan dari sinilah awal dia depresi. Rumah yang dia bangun dari harta warisan orangtuanya kini didiami mantan istri dan suami barunya. Bang Udin bingung mau pergi ke mana dan akhirnya hidup di jalanan hingga depresi akut lalu gila.
"Ya Bang Udin." Aku mendekatinya.
"Ini tolong cuci sarung-sarung ini ya ? Terus jemur tuuuh di samping musholla." Katanya sembari menunjuk tali panjang sebagai jemuran.
Aku mengangguk lalu membawa keranjang penuh sarung kotor itu. Jangan tanya bagaimana keadaannya. Yang pasti bisa kalian bayangkan betapa kotor dan baunya. Jangankan mereka mandi, buang air saja tetap diam di tempat. Tapi aku enjoy saja, toh aku sudah sering melakukannya. Mencuci baju dan memandikan ibu yang kadang penuh kotoran. Jujur aku senang di sini. Soal makan aku terjamin walau kadang hanya dengan sayur sop atau tempe goreng. Aku tidur di musholla dan bersih-bersih area pesantren. Bahkan kadang aku diberi uang jajan oleh Pak Rahmat. Uang itu aku tabung dalam kaleng bekas wafer.
"Nov ... sarungnya nanti aja nyucinya. Itu pasien ujung sono ngamuk-ngamuk. Tuuuh dianya bisa diem kalau kamu yang pegang. Cepetan gih ke sono, di tunggu Pak Rahmat ."
Namanya Mas Aan, pasien yang menjalani pengobatan selama 3 tahun . Dia bukan karena gila, tapi karena ketergantungannya pada obat-obatan terlarang. Orangtua kaya raya, tapi hidup anaknya menderita kurang perhatian. Hingga akhirnya menempuh jalan sesat. Kini dia sudah sembuh total bahkan sudah hafal Al Qur'an walau baru 2 juzz. Tapi alih-alih pulang ke rumah mewahnya, dia lebih senang di sini. Setiap bulan aku diajaknya pergi ke mesin atm ujung pasar. Katanya ayah ibunya mengirim uang untuknya. Dan yang pasti mendonasikan sedikit harta untuk pesantren kami.
"Maksud Mas Aan, pasien yang masuk bulan lalu itu ? Fulan O ? "
Mas Aan mengangguk. Aku bergegas menurunkan keranjang sarung lalu mengikuti Mas Aan. Ya ... setiap pasien yang masuk pasti kami beri nama berupa kode. Karena begitulah, jangankan nama sendiri. Ditanya lapar apa tidak saja mereka tak tahu. Dan sejak awal kedatangannya, Fulan O sering mengamuk. Dan entah kenapa, setiap mengamuk dia akan tenang kalau aku mendekat. Mungkin karena aku hidup bertahun-tahun dengan ibu yang sering juga mengamuk aku jadi lebih peka terhadap apa yang mereka mau.
"Nov ... daritadi belum mau anteng. Lagi-lagi sepertinya kamu lebih terampil daripada saya hahaha ." Pak Rahmat menyambutku.
Aku hanya tersenyum malu. Dibandingkan ilmu Pak Rahmat, aku tak ada apa-apanya. Tapi untuk pasien Fulan O ini sepertinya dia memang lebih memperhatikan arahanku daripada Pak Rahmat. Aku mendekatinya dengan perlahan lalu mencoba mengajaknya komunikasi. Melihatku dia langsung terdiam. Matanya yang tadi mengerling ke sana ke mari kini fokus melihatku. Setelah agak lama akhirnya aku tahu apa keinginannya. Aku keluar dengan tersenyum setelah menjanjikannya sesuatu.
"Apa maunya dia Nov ?" Tanya Pak Rahmat penasaran.
"Kayaknya sih dia tak bisa tidur Pak." Kataku.
"Gak bisa tidur gimana ? Semalem aku lihat dia merem sambil ngorok ." Sanggah Mas Aan.
"Ya mungkin dia lupa kalau semalam tidur. Ya dia sih mau minta lotion anti nyamuk gitu. Mungkin dia tak bisa tidur karena banyak nyamuk. "
"Owalah ... aneh-aneh bae ! Tahu lotion nyamuk darimana dia ?" Mas Aan menatapku.
"Mungkin dari ingatannya dulu. Bisa jadi dia orang yang cukup mampu dan pengalaman." Kataku.
Mas Aan mengangguk-angguk setuju.
"Nov ... temuilah ibumu dulu. Dia sekarang sedang ada di rumah depan." Kata Pak Rahmat.
"Tapi Fembri mau nyuci sarung dulu. Nanti Bang Udin nyariin Pak." Jawabku.
"Ndak usah khawatir, biar nanti saya yang bilang padanya."
Aku mengangguk dan berterimakasih. Hatiku begitu sumringah. Terlebih tidak setiap hari aku bisa bertemu ibu. Semoga ibu ada kemajuan minggu ini. Oh ya ... aku sudah ada di pesantren ini selama 9 tahun. Dan kini aku sudah remaja. Usiaku sekarang sudah 17 tahun. Kini aku menjadi salah satu pegawai Pak Rahmat. Berkat bimbingan darinya, kini aku bisa membaca dan menulis. Bahkan aku sudah hafal 6 juzz. Setiap hari ku jalani hidupku penuh dengan semangat sembari berharap ibuku bisa pulih seperti pasien lain. Tapi walau sudah 9 tahun dirawat, ibuku belum membuat kemajuan besar. Tapi lumayanlah, dia sudah hafal juzzamma. Tapi tak pernah sekalipun dia bicara. Setiap kali dia butuh sesuatu dia memberi kode. Jadi aku pun juga tak berharap dia memanggil namaku. Aku cukup bahagia dengan kemajuan ibuku.
"Assalamualaikum ."
Aku mengucap salam pada Pak Abu, penjaga meja informasi.
"Waalaikumsalam. Masuk Fem ... itu ibumu sudah di dalem sama Bu Suci. "
Pak Abu, orang kaya raya. Lebih tepatnya mantan orang kaya. Usaha yang dia rintis hancur, harta habis. Sang istri kabur dengan lelaki lain setelah bisnisnya bangkrut. Sedang anaknya pun ikut serta dengan ibunya. Dia stres karena rumah dilelang bank dan hutang bertebaran di mana-mana. Dan dia berakhir di pesantren ini. Setelah menjalani pengobatan selama 3 tahun akhirnya dia pulih. Kini hutangnya sudah lunas setelah menjual tanah warisan orangtuanya. Dan akhirnya dia lebih memilih tinggal di sini. Dia ahli komputer di mataku. Dan dari dialah akhirnya kini aku tahu apa itu facebook juga youtube. Setidaknya untuk anak yang tak sedikitpun mengenyam pendidikan, bisa tahu apa internet sudahlah bagus. Bahkan dulu lihat televisi pun bingung saking kudetnya.
Aku memasuki sebuah ruangan yang luas. Di sana ada beberapa rak buku juga televisi besar. Memang ini tempat untuk rapat juga tempat melepas penat bagi pegawai di sini. Buku-buku sumbangan donatur berjejer rapi di sini. Bisa dibilang tempat nongkrong yang nyaman.
"Nak ... sini masuk. Ini lho ibumu sudah daritadi di sini." Kata Bu Suci, istri Pak Rahmat.
Aku mengangguk padanya lalu menatap ibu yang sedang asyik melihat televisi. Aku duduk di sampingnya lalu meraih tangan ibu. Ku cium tangannya dengan lembut lalu ku peluk beliau. Dia menoleh padaku lalu tersenyum. Dulu pandangan ibu kosong kini sudah berubah menghangat. Dulu setiap ku raih tangannya dia akan tertawa cekikian sekarang dia tersenyum lembut. Dulu setiap aku ajak bicara dia tak merespon, tapi kini memandangku dengan antusias. Walau mulutnya masih bungkam, tapi dia memberi kode padaku. Itulah selama ini caranya dia berkomunikasi. Ibu kini sedang fokus menonton televisi. Sedang aku memulai mengobrol dengan Bu Suci.
"Makasih ya Bu. Tanpa bantuan Ibu, kami tak akan seperti ini. Pasti kami masih hidup di jalanan. Bersyukur Allah pertemukan Fembri dengan keluarga Pak Rahmat. Semoga Allah membalas kebaikan keluarga Bu Suci." Kataku terharu.
"Aamiin ... jujur nak melihatmu sekarang ini membuatku teringat pada Pak Rahmat muda. Dia adalah lulusan psikologi. Dan setelah lulus dia mulai memperdalam ilmu agama seperti metode pengobatan ala Rosulullah seperti bekam dan ruqyah." Jelas Bu Suci.
Aku mendengarkan dengan antusias. Cerita asal-usul berdirinya pesantren ini.
"Dulu sewaktu perjalanan pulang dari pondok, Pak Rahmat berjalan melewati sebuah pasar. Di sana sedang terjadi kericuhan. Ternyata penyebabnya adalah amukan orang gila. Laki-laki gila itu mengambil parang dari pedagang ayam. Lalu menyabetkannya dengan membabi-buta." Kata Bu Suci berhenti sejenak, lalu meneruskan ceritanya.
"Padahal awalnya hanya sepele, orang gila itu meminta bubur karena lapar. Tapi dengan si pedagang bubur, permintaannya diacuhkan. Laki-laki itu duduk di depan meja si tukang bubur itu. Tapi karena bau dan mengganggu, banyak pembeli yang takut. Akhirnya di usirlah dia dengan paksa. Diguyurkanlah air bekas mencuci tangan yang ternyata pedas karena sambal dan mengenai mata orang gila itu. Akhirnya dia mengamuk dan mengambil parang itu lalu menyabetkannya dengan ganas. Tak peduli siapa yang mendekat langsung dia sabet. Baru saja Pak Rahmat mau mendekat, seseorang mengambil kayu dan memukuli orang itu hingga tewas mengenaskan. Dan dari aksi sabet-menyabetnya itu, ada total 5 orang terluka dan satu orang meninggal dunia."
Aku mendengarkan dengan ngeri, padahal orang gila tak akan mengamuk bila kita perlakukan dengan lembut. Terlebih bila merasa terancam, siapapun akan melawan tak terkecuali orang gila.
"Sangat disayangkan ya Bu. Bagaimana pun orang gila juga manusia. Secara naluri mereka juga butuh makan untuk hidup. Beda dengan orang sekarang yang terbalik, hidup untuk makan dan memenuhi gaya hidup saja ."
"Betul Nov. Makanya itu dengan berbekal uang tabungan juga ilmu tentang kejiwaan akhirnya Bapak mantap mendirikan pesantren penyembuhan ini. Berharap bisa membantu orang gila yang kini makin banyak berkeliaran bebas. Semua dilakukannya juga semata-mata karena prihatin. Tapi bersyukur walau pasien di sini kebanyakan orang gila jalanan, alhamdulilah banyak donatur yang membantu."
Aku mengangguk setuju dengan perkataan Bu Suci. Memang benar keberadaan pesantren ini sangat membantu, terutama bagi kalangan yang kurang mampu. Jangankan membawa ke RUMAH SAKIT JIWA, untuk makan pun sulit.
"Bentar ya Nov. Ada tamu di pondok putri. Kamu jaga ibumu dulu ya . "
Aku mengangguk, lalu Bu Suci bangkit meninggalkan aku dan ibu. Ibuku masih antusias menonton televisi. Ku biarkan ibu menikmati tontonannya. Aku menghampiri Pak Abu yang sibuk mengetik untuk membuat proposal pengajuan dana sosial dari pemerintah.
"Belum selesai to Pak ? Sini Fembri bantu."
"Ndak usah. Kamu fokus saja pada ibumu. Lagiankan tidak tiap hari kamu bertemu dengannya. Apa ndak kangen kamu sama ibumu."
"Ya kangen to Pak. Cuma lihat ibu lagi fokus nonton tipi gitu kasihan kalau ku ganggu."
Aku duduk di kursi sebelah Pak Abu. Mataku ikut mengawasi kata demi kata yang Pak Abu ketik. Aku menengok dinding, melihat jam yang tergantung di sana. Ternyata baru pukul 10 pagi. Aku edarkan pandangan ke pintu kaca sebelah ruangan santai. Dan aku melihat sekelebat bayangan hitam di sana. Ku tajamkan netraku, mengawasi sosok itu. Tapi yang kulihat selanjutnya sungguh di luar dugaan. Ternyata yang kulihat tadi adalah seorang wanita berjilbab hitam. Wajahnya tertutup cadar, hingga aku tak bisa melihat jelas. Hanya sepasang mata lentiklah yang terlihat.
Aku terhenyak melihatnya. Setahuku tak ada wanita bercadar di lingkunga pesantren ini. Tamukah ?? Atau mungkin saudara salah satu pasien ? Asal tahu saja, pesantren ini tidak hanya menerima orang gila tapi juga orang-orang yang kecanduan obat-obatan terlarang. Yang pasti sebagian dari mereka berasal dari orang berada.
Mata wanita itu menatapku tajam. Pandangan matanya bak menghujam hatiku. Anganku bagai diseret ke masa lalu. Sepertinya aku mengenali mata itu. Mungkinkah aku dejavu ? Ingatanku tiba-tiba berputar kembali pada kejadian dulu. Saat itu aku baru dua bulan di sini. Di suruh memandikan ibu di sungai. Di saat aku memandikan ibu, tiba-tiba muncullah seorang gadis kecil dari bilik tempat pasien wanita mandi. Pondok putri berada tepat di seberang sungai jadi pasien laki-laki dan wanita terpisah oleh sungai.
Gadis itu sepertinya sebaya denganku. Aku yang tak mengira ada orang lain di sana dibuat terkejut dengan kemunculan gadis itu. Dan dia pun sama terkejutnya denganku hingga dia terpeleset dan cadarnya tersangkut ranting bambu hingga terlepas. Dan saat itulah aku melihat gadis kecil yang ayu. Kulitnya bersih dengan hidung kecil. Dengan gugup tampak dia tersenyum padaku. Aku terkesima kala melihat lesung pipi yang menyembul saat dia tersenyum. Dan itulah pertama dan terakhir kali aku melihatnya. Dan kini aku merasa mata itu adalah milik gadis kecil itu. Mata kami saling terhubung sejenak lalu aku lihat dia cepat-cepat menundukkan wajahnya lalu berlalu pergi.
Aku duduk dengan resah. Rasa penasaranku begitu menggebu. Tak pernah aku sepenasaran ini. Ku lirik Pak Abu yang masih sibuk mengetik. Sepertinya hanya aku yang melihat wanita itu. Terbersit niatku untuk bertanya pada Pak Abu. Tapi sebelum mulutku membuka terdengar ibu berteriak gaduh. Dengan cemas, aku bergegas lari menemui ibu. Aku berpikir dia mengamuk. Tapi ibu tidak sedang mengamuk. Dia berdiri menempel di layar televisi sembari memukul-mukul layar. Aku yang bingung segera menyeret ibu menjauh . Tapi ibu bersikeras menunjuk-nunjuk layar televisi yang sedang menayangkan sebuah wawancara dengan seorang mahasiswi.
Pak Abu yang mendengar ibu histeris langsung sigap membantuku menarik ibu. Tapi yang terjadi selanjutnya sungguh membuatku terkejut. Untuk pertama kalinya setelah 17 tahun, ibu berbicara.
"Nita ... Nita ... Nita ."
Ibu terus mengulang-ulang nama itu sembari menunjuk layar televisi. Refleks aku melihat ke arah itu dan ku baca keterangan di wawancara itu. Dan ... betul !! Nama wanita itu Nita Nilamsari. Bu Suci yang baru saja masuk langsung menggandeng ibu keluar menuju pondok putri. Aku langsung terduduk lemas. Ibuku, mustahil bisa membaca ! Tapi bagaimana bisa dia tahu nama wanita itu ? Mungkinkah sebenarnya diam-diam ibu bisa membaca tanpa sepengetahuanku ? Atau mungkin ... ibu benar-benar mengenalinya ??
~~~bersambung~~~
No comments:
Post a Comment