Aslkm bpk ibu...
Semangat siang semua, mari kita lnjutkan cerita kita.....
*Ibuku Orang Gila*
*#IOG*
*#PART 3*
Tanpa terasa aku sudah berada di depan sebuah gedung. Dengan tidak memperdulikan rasa capai, tanpa terasa peluhku membanjiri bajuku. Lututku lemas seperti mau copot. Sedang nafasku tersengal-sengal. Gedung itu sudah sepi dan gelap. Tak ada tanda-tanda orang yang masih melek. Hingga ku putuskan berkeliling di sekitar gedung. Hingga aku terhenyak kala mendengar suara wanita berteriak-teriak. Ibuku kah itu ??
Aku berlari, lalu menempelkan telingaku di pagar berkawat. Nyaring terdengar teriakan wanita yang ku duga ibuku. Dengan langkah tergesa aku menuju pintu depan. Lalu ku gedor-gedor pintu itu. Lama tak ada gerak-gerik dari dalam. Lalu ku beranikan diri berteriak.
"Ibu ... ibu ... !"
"Woy ... ngapain teriak-teriak ?? "
Seseorang dengan kasar menbuka pintu. Matanya melotot seperti ingin loncat keluar.
"Saya sedang mencari ibu saya Pak. "
"Ibumu siapa ? Kok nyariknya ke sini ? Kamu gepeng ya ?"
Belum sempat aku menjawab seseorang datang dengan keringat bercucuran dari dalam.
"Pak Ndut ... itu ibu gilanya ngamuk . Mas Ilham aja sampai hidungnya berdarah-darah kena tonjok. "
"Iya toh ? Panggil Pak Budi aja. Biasanya kalau soal ngurusin yang ngamuk-ngamuk beliau bisa ."
Laki-laki tadi pergi keluar dan menuju sebuah rumah kecil di seberang gedung ini . Aku mendekati yang bernama Pak Ndut itu. Ku beranikan diri bertanya.
"Pak ... apakah ibu gila itu pakai jilbab ?"
"Kamu mau nginep di sini ? Masuk saja, besok akan kami data. Atau pulanglah ke rumahmu. " jawabnya ketus .
Aku hanya terdiam, kaki nya enggan pergi menjauh. Hingga ada seorang laki-laki dengan langkah tergopoh-gopoh masuk ke bangunan itu. Terlihat sarungnya berkobar terkena angin malam. Setelah lelaki itu masuk , Pak Ndut ikut masuk. Hingga tinggallah aku sendiri di luar.
Perutku keroncongan, sepertinya perjalanan yang lumayan jauh membuatku kelaparan. Aku mengelus kakiku yang masih beraroma soto. Ahhh ... bayangan bahagia kala pulang membawa soto hangat untuk ibuku hancur sudah. Ku rogoh saku celanaku, hmm lumayan uang yang ku punya. Ingin rasanya membeli makan, tapi ku urungkan niatku. Pikiranku melayang pada ibu, mungkinkah dia sudah makan ? Atau mungkin dia sama laparnya denganku ? Mungkinkah dia baik-baik saja atau malah sedang terluka ?
Terdengar teriakan wanita yang ku duga ibu itu. Teriakannya begitu keras dan melengking. Tapi bukannya sumpah serapah kasar yang ku dengar dari petugas yang menenangkan ibu, tapi malah lantunan ayat suci Al Qur'an. Entah apa maksudnya, suaranya seperti mengaji. Aku kebingungan sendiri, hingga ku dengar pintu depan terbuka. Aku bergegas menuju pintu itu saat yang namanya Pak Ndut melambaikan tangan padaku.
"Kamu yakin ?? Wanita yang di dalam itu ibumu ??" Tanyanya padaku.
"Apakah dia berjilbab ?" Tanyaku memastikan.
"Tadinya sih sepertinya iya, tapi entah sekarang ke mana jilbabnya. Apa kamu masuk saja, coba kamu pastikan sendiri. Jangan bohong ya ?! Kalau bohong ku robek mulutmu !!" Katanya mengancamku.
"Terimakasih Pak. Tapi Fembri janji tak akan bohong. Kalau itu bukan ibuku, aku akan pergi. "
Diajaknya aku masuk ke dalam gedung itu. Besar dan bersih, jauh dari pikiranku tadi yang mengira mungkin saja gedung ini menyeramkan. Mendengar namanya saja membuatku membayangkan para gepeng disiksa dan dipukuli. Tapi semua terbantahkan saat melihat gepeng yang terjaring razia itu tertidur di lantai beralaskan kasur lantai yang terlihat empuk. Aku diajak ke sebuah ruangan berjeruji besi. Aku melihat ada 3 lelaki dewasa di sana. Dan wanita yang rambutnya sudah acak-acakan.
"Ibu ... !!!"
Wanita yang sedang mendesis itu tiba-tiba menoleh padaku. Ahhh ... benar ! Dia ibuku. Hatiku bahagia sekali bisa bertemu dengannya. Walau melihatnya sangat berantakan tapi kelegaan di hatiku begitu nyata. Ku dekati dia sedangkan melihatku datang ibu langsung melolong. Suaranya terdengar begitu dalam dan menyedihkan. Lalu serta merta air matanya meleleh diiringi dengan suara meraung-raung penuh luka.
"Ibu ... ini Fembri, anak ibu. Aku kira ibu hilang ke mana. Fembri takut tak bisa lagi bertemu ibu lagi. Hu hu hu ."
Aku ikut menangis, lalu jongkok memeluk ibu. Sehari tak melihatnya, keadaan ibu sangat kacau. Aku tahu dalam hatinya juga ketakutan. Dia pasti takut tak menemukanku. Dia pun juga pasti bingung mencariku. Ku lihat dahinya berdarah, seperti luka dari lemparan batu. Hatiku sakiiiiiit sekali. Dia tak mungkin melukai orang, tapi melihatnya terluka begini aku tak terima. Tapi apa dayaku ?? Melawan rasa lapar aku sanggup, tapi melawan takdir aku tak mampu. Aku begitu merasa kerdil, menjaga satu-satunya keluagaku saja aku tak mampu.
Ibu menyentuh kepalaku, menengok tubuhku. Mungkin maksudnya mengecek keadaanku. Aku begitu terharu, tangannya menghapus air mataku. Lalu kini dia tertawa cekikikan. Dia lega aku di hadapannya. Aku tersenyum bahagia.
"Benar kamu anaknya ?" Tanya seseorang bersarung tadi.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Kamu hidup berdua saja dengan ibumu ?? Atau ada orang lain juga ?"
"Kami hanya berdua saja Pak. "
"Kamu tak bohongkan ? Kamu yakin bukan dari komplotan geng gepeng ?"
"Bukan Pak. Sejak lahir saya dirawat ibu saya."
"Lalu apakah kamu tahu asal-usul keluargamu ?"
"Tidak Pak. Kata orang sejak hamil dan melahirkan saya, ibu sudah seperti ini dan tanpa tahu siapa yang menghamilinya ."
"Astaghfirullah ...."
Ku pandang lekat ekspresi orang bersarung itu. Tampak ekspresi kaget dan simpati di wajahnya.
"Kamu gak bohongkan ? Jangan berani ngaku-ngaku anaknya ya ?"
"Saya gak bohong Pak. Saya lahir di Pasar baru. Dan saya bekerja untuk makan kami . Dan tadi saya sedang bekerja di warung soto. Tapi setelah pulang ibu saya ini tak ada dan katanya di bawa ke sini."
"Terus ?? Kamu ke sini naik apa dan dengan siapa ?"
"Saya tadi jalan kaki Pak. Sendirian saja. Kadang saya juga berlari. Takut ibu saya hilang Pak . Hiks hiks hiks ." Aku menangis lagi teringat perasaanku tadi.
"Sepertinya dia tak bohong Pak Budi. Buktinya si ibu itu langsung tenang saat dia datang. Padahal tadi histeris juga ngamuk-ngamuk ."
Pak Ndut akhirnya percaya padaku. Sedang yang namanya Pak Budi itu menganggukkan kepala. Lalu saat semua terdiam, perutku berbunyi nyaring. Sungguh aku kelaparan. Mendengar perutku berbunyi, ibu langsung panik. Dielusnya perutku sembari menengokkan kepalanya,mencari makanan di sekitarnya.
"Ndut ... carikan dia nasi goreng. Sekalian ibunya juga. Setelah itu biarkan dia tidur malam ini di sini ." Kata Pak Budi.
"Maaf Pak, beli nasi satu saja. Dan ini uangnya Pak. Saya tak mau merepotkan Bapak. Dan katakan di mana saya bisa membelinya biar Fembri beli sendiri."
Pak Budi memandangku lekat, matanya tak berkedip.
"Kamu punya uang dari mana ?" Tanyanya.
"Saya kan bilang tadi, saya kerja."
"Baiklah ... simpan saja uangmu. Biar Pak Ndut membelikannya."
Pak Budi bangkit lalu melangkah pergi. Tapi sebelum jauh aku berkata.
"Pak, ijinkan saya dan ibu tidur dengan mereka. Kasihan kalau ibu tidur di sini. Takut kedinginan dan sakit."
"Kamu yakin ? Saya takut dia mengamuk nanti ."
"Tidak Pak. Fembri jamin selama bersamaku, ibu akan baik-baik saja." Aku tersenyum berusaha meyakinkannya.
"Baiklah ... tapi tanggung jawab ya ?"
Aku mengangguk bahagia.
"Pak ... bolehkah saya mandi ? Saya belum sholat isya tadi."
"Kamu bisa sholat ?" Tanya Pak Ndut tak percaya.
"Iya Pak. Fembri walau gelandangan tak boleh lupa sholat. Karena selain ibu, hanya Allah yang Fembri punya."
"Baiklah ... mandi saja. Aku mau membelikan nasi goreng untukmu. Tapi awasi ibumu ya ?" Kata Pak Ndut.
Aku melonjak bahagia. Ahhhh ... Allah memang baik. Pak Budi melihatku tertawa. Dan ku lihat ada senyum samar di sudut bibirnya. Aku hanya melihatnya berlalu sambil mengucapkan terimakasih.
~~~
Aku terbangun, kulihat jam di dinding . Masih jam tiga rupanya. Ku selimuti ibu dengan sarung yang Pak Ilham pinjamkan. Aku berusaha memejamkan mata tapi tak bisa. Akhirnya aku duduk di teras belakang dekat kamar mandi. Angin dingin tak membuatku ingin tidur. Ku pandang langit malam itu. Langit cerah bertaburan bintang yang berkedip-kedip padaku. Aku terpesona melihatnya.
Lalu tiba-tiba air mataku mengalir dengan sendirinya. Hatiku terasa kosong. Tak hentinya aku bertanya pada diriku sendiri. Kenapa nasibku begini ? Aku tak mengeluh dengan keadaan ibuku, tapi mengeluh dengan jalan hidupku. Aku ingin seperti anak lain yang hidup di dalam rumah yang hangat dan bersama hidup dengan saudara juga seorang ayah. Saat aku melihat anak seusiaku yang dituntun ayahnya memilih mainan di toko membuatku iri. Kata orang, setiap anak pasti memiliki ayah. Lalu siapa ayahku ? Aku sedih, di saat anak lain terjatuh kala bermain ayah mereka menggendong lalu membelikan permen agar anaknya terdiam. Sedang aku terjatuh, orang-orang menertawakan aku bahkan mengomeliku. Arrrgh ... mungkinkah hidupku akan seperti ini sampai mati ? Andai memang Allah Maha Adil, aku meminta agar membuka jalanku untuk sukses. Aku ingin memberi kehidupan yang layak untuk ibuku.
Sayup-sayup terdengar adzan subuh. Bergegas aku menghapus air mataku. Entah kenapa, setiap mendengar adzan seperti ada sesuatu yang memantik semangatku. Ku ambil sarung selimut ibuku. Lalu bergegas ke asal suara adzan. Dengan mengendap-endap aku menyelinap keluar. Dengan memperhatikan sekeliling aku mencari letak masjid itu. Akhirnya ku temukan dan bergegas aku berwudlu.
Setelah selesai sholat, aku berlari menuju gedung . Di sana terdengar suara Pak Ndut berteriak-teriak.
"Bocah kurang ajar. Di kasih hati kok main kabur saja. Ngaku-ngaku anaknya tapi tiba-tiba hilang bagai setan. Kabur sendirian pula ! Ketipu aku sama tuyul satu itu. "
"Maaf Pak Ndut. Fembri sedang jamaah tadi." Kataku dari belakang Pak Ndut.
"Ohhh ... sok-sok bohong lagi kamu. Baru sadar ? Wanita ini ketinggalan ?" Katanya membentakku.
Aku ketakutan melihat wajahnya itu. Aku mulai menangis dalam diam.
"Ndut ... tutup mulutmu. Dia tak berbohong. Tadi aku memang melihatnya sholat tepat di barisan belakang imam. "
Pak Budi tiba-tiba datang dan langsung membelaku. Ternyata dia bersaksi untukku.
"Nak ... bersiaplah. Akan aku antarkan kau ke suatu tempat. "
Aku menghapus air mataku lalu mendekat ke Pak Budi dan mencium tangannya.
"Mau Bapak bawa ke mana ? Fembri gak mau pisah dari ibu. " kataku serak.
"Anggap saja ini bantuanku untukmu. Ku harap di tempat ini kau bisa lebih banyak belajar dan mungkin saja ibumu bisa sembuh. Dan bila begitu tak menutup kemungkinan ibumu akan ingat masa lalunya. "
"Baik Pak. Saya akan bersiap-siap. Bolehkah saya memandikan ibu ?"
"Mandikan saja dia. Nanti akan saya mintakan baju ganti pada istriku. Bergegaslah ."
Aku berlari dan membangunkan ibu. Ku tuntun ibu ke kamar mandi dan setelah selesai Pak Budi menyerahkan setumpuk baju bersih dan wangi. Mataku tertuju pada sebuah jilbab bagus berwarna biru. Ibu terlihat bahagia dengan baju barunya. Terlebih dengan jilbabnya itu.
"Sudah siap ? Ini sarapan kalian. Kalau sudah selesai temui aku di depan."
"Terimakasih Pak Budi. "
Aku menyuapi ibuku, lalu setelah selesai ku tuntun dia menemui Pak Budi.
"Masuklah ... akan aku antar kalian. Takut Pak Rahmat sudah berangkat pergi nanti."
Dengan ragu aku masuk ke mobil Pak Budi. Ibu terlihat santai, padahal aku takut setengah mati. Mungkinkah ibu pernah menaikinya ? Sedang aku yang pertama kali menaikinya terasa mual ingin muntah. Ku tahan sekuat tenaga agar aku tak memuntahkan isi perutku.
Pak Budi membelokkan mobilnya ke sebuah tempat. Halaman yang luas nan asri khas pedesaan . Rumahnya pun terbuat dari papan yang dicat biru muda, sederhana sekali. Kami pun turun, lalu Pak Budi langsung mengajak kami berjalan melewati pagar bambu yang sangat tinggi dan kokoh. Setelah melewati pagar itu, aku melihat ruangan bambu yang bersekat-sekat. Di dalamnya berisi satu orang setiap biliknya. Sepertinya mereka sama dengan ibuku, orang gila !
Lalu kami berjalan menuju tempat lapang yang di sebelahnya mengalir sebuah sungai besar yang dangkal. Suara berderit bambu yang terkena angin terdengar menakutkan. Lalu mataku melihat orang-orang yang baru saja mandi di kali berjejer berjemur di lapangan. Sedang di ujung lapangan ada sebuah musholla yang cukup besar. Di sana terlihat beberapa orang mengaji. Tapi di sudut musholla aku melihat orang mengaji yang diiringi teriakan histeris dari lelaki di depannya. Entah apa maksudnya, dia berguling-guling sedang yang mengaji tetap mengaji tanpa peduli dengan pria yang berteriak itu.
"Assalamualaikum Pak Rohmat ?" Seru Pak Budi mendekati seseorang yang sedang mengatur pasien yang berjemur.
"Waalaikumsalam . Lho Dek Budi ? Awal banget datangnya . Orang barukah ?" Kata Pak Rahmat memandang ibuku.
"Iya Pak. Tapi ini istimewa. Oh Nak Fembri, jaga ibu dulu ya? Saya mau ngobrol dulu sama Pak Rahmat."
Aku mendekat lalu mengulurkan tangan. Pak Rahmat menyambutku lalu ku cium tangannya. Pak Rahmat tersenyum padaku.
"Barakallah Nak. " katanya.
Pak Budi mengajak Pak Rahmat menjauh. Terlihat mereka berbicara sesekali menunjuk ke arah kami sembari tersenyum. Entahlah, tapi akhirnya ku lihat Pak Budi melambaikan tangan padaku dan berlalu pergi.
"Nak Fembri, mulai sekarang tinggallah di sini. Inn syaa Allah akan kami rawat ibumu. Saya Rahmat, pemilik pesantren An Nuur ini. Seperti yang kamu lihat kami berikhtiar menyembuhkan pasien gangguan jiwa. Dan inn syaa Allah banyak dari mereka yang sudah sembuh dan kembali terjun ke masyarakat. Naah yang di sana itu mereka sedang di ruqyah . Pokoknya kami berikhtiar dengan sistem yang sesuai syariat. "
Aku mengangguk perlahan walau tak tahu apa itu ruqyah, apa itu ikhtiar dan apa itu syariat. Tapi aku merasa aman dan tenang di sini. Dan inilah kisahku. Dari sinilah awal kehidupan baruku. Dan berawal dari tempat ini kelak akan ku buktikan pada dunia bahwa aku bisa sukses. Penasaran ???? Simak terus perjuanganku. Dan aku berharap bisa menemukan titik terang soal asal usulku.
~~~bersambung kembali~~~
Mau dong lanjutannya, saya udh baca sampe part 12, setelah itu asa ga mba?
ReplyDeletePart 4 nya dmn baca nya @someone05 kok sdh sampe part 12
ReplyDeleteIa, saya baca part 1 langsung part 3 dan semoga ada selanjutnya
ReplyDeleteAlhamdulillah, ternyata sudah disediakan di arsip blog.
ReplyDeletejazakallahu khoirin katsiro
Baca part 8 dimana nih
ReplyDelete