23 October 2020

Ibuku Orang Gila#IOG#PART 5#MM

Aslkm.... 

Semangat pagi.... 
Masih mnunggu kisah Fembri?  Mari kita lnjutkan.... 


Ibuku Orang Gila

#IOG
#PART 5
#MM

Nita Nilamsari. Nama baru yang kini mengusik ketenanganku. Bagaimana tidak ? Ibuku yang sudah 17 tahun tak mau berbicara kini untuk pertama kalinya dia mengatakan sesuatu. Dan kata Nita itulah yang terucap dari bibirnya. Kini kepalaku terasa pusing, apalagi bila mengingat kelakuan ibu yang histeris kala melihat gambar orang itu di layar kaca. Batinku bertanya-tanya mungkinkah dia kenalan lama ibuku ? Atau mungkin saudaranya ? Atau mungkin malah anaknya yang lain ?

Pak Abu mendekatiku lalu menepuk bahuku dengan lembut. Sepertinya dia tahu kegalauanku . Aku yakin semua orang yang ada di sini juga terkejut melihat ibu.

"Bagaimana keadaan kamu? Sudah tenangkah ?" Tanya Pak Abu.

"Alhamdulillah Pak. Tapi Fembri masih kaget. Jujur Fembri menjadi penasaran sekali. Siapakah Nita itu ? Apa mungkin ibu bisa membaca ya Pak ?"

"Bisa jadi dia dulu bisa membaca. Tapi bukan itu fokusmu sekarang Fem. Mungkin kita bisa mencari siapa wanita muda itu. Siapa tahu dia adalah orang dari masa lalu ibumu. Yang mungkin juga bisa menuntunmu kepada siapa sebenarnya kamu juga siapa ayahmu. Bukankah selama ini itu yang kau cari ? Kejelasan tentang identitasmu yang sebenarnya. "

Aku mengangguk mengerti. Lalu terdengar suara Pak Rahmat memasuki ruangan ini.

"Apa sebenarnya yang terjadi ? Benarkah ibumu mengenali seseorang ?" Tanya Pak Rahmat padaku.

"Iya Pak. Melihat betapa ibu histeris kemungkinan besar ibu mengenalnya."

"Oh ... syukurlah. Alhamdulillah akhirnya tabir misteri tentang dirimu mulai terkuak. Lalu bagaimana langkahmu selanjutnya ?"

Aku menggeleng lemah, mana bisa aku mencari tahu seseorang melalui tayangan televisi yang hanya sekilas itu ? Kini aku berpikir ada jalan baru terbuka tapi jalan itu tiba-tiba buntu.

"Tenang saja ada Pak Abu di sini. Serahkan padaku soal itu." Katanya sembari tersenyum.

Pak Abu berjalan menuju kursi di depan komputernya. Lalu sejenak terdengar dia mengetik sesuatu. Dan akhirnya muncullah sebuah video dari halaman YouTube. Aku mendekat lalu ikut duduk di sebelah kursi Pak Abu.

"Naah betul Pak. Iya ini tadi videonya." Seruku bersemangat.

Aku melihat Pak Abu dengan kagum. Selain pintar dia juga sigap rupanya. Dalam waktu yang cukup singkat tayangan televisi tadi sudah berputar di depan mataku. Lalu aku berdiri cepat kala video itu menayangkan sosok Nita Nilamsari . Pak Abu menghentikan video itu pas saat wawancara dengan Nita. Pak Abu memutar perlahan lalu tiba-tiba dia hentikan tayangan video itu lalu memperbesar gambar itu.

"Lihatlah lekat-lekat wajahnya . Ini akan aku print ke selembar kertas. Oke ... mari kita mulai investigasinya. " katanya sambil tersenyum bersemangat.

Aku pun ikut kepo dan begitu juga Pak Rahmat. Bertiga kami memelototi layar komputer yang sama. Suasana menjadi hening karena kami terfokus ke layar komputer.

"Ini pada ngapain sih ?" Tiba-tiba Bang Udin ikut nimbrung dengan kami.

"Ya Allah ... Udiiiiin. Kenapa gak uluk salam dulu sih ? Main nyelonong masuk aja kamu ini. Bikin aku kaget Diiiiin !" Seru Pak Rahmat.

"Udah lho Pak. Tadi Udin sudah uluk salam. Lhaaaa pada diem bae. Ya tak kira ndak ada orang, langsung aja aku masuk. Lhah ternyata lagi pada ngumpul dan diem-dieman pula. Hayoooo nonton apaan ...?" Tanya nya dengan nada menuduh.

"Hissssh ... mbok yo diem to Din. Masuk-masuk kayak polisi aja main interogasi. Kalau kepo nooh ambil tu kursi sini duduk bareng-bareng. " sahut Pak Abu.

"Ehhhh ... bocah tengil ! Disuruh nyuci sarung kok malah ndhesel, ngumpul di sini. Itu sarung kotornya malah buat guling-guling Fulan E lho. " kata Bang Udin sewot padaku.

Hening, semua pada diam terpaku pada layar komputer itu. Tak ada satupun yang menyahut Bang Udin. Bang Udin mulai kesal lalu main nempel saja di telingaku.

"Fembriiiiii ... tes tes tes. Saudara Fembri tolong segera bangkit untuk mencuci sarung. " katanya sembari berbisik dengan sedikit meniup-niup telingaku.

"Bang ... geli bang ! Plis lah Bang, jangan ganggu Fembri dulu. Ini Fembri lagi dag-dig-dug nih ." Aku menghiba.

"Yeay ... aku tu agak jengkel tauk !Itu si Fulan E sudah aku mandiin berapa kali coba ? Ti ... ga ... kali tauk ! Itu gegara sarung kotor yang masih numpuk di sono. Fulan E bahagia banget guling-guling di sono alhasil kotor lagi kotor lagi. Piye tanggung jawabnya Fem ?"

"Sudah to Din ... Din. Kamu dulu gih yang nyuci. Ini lagi pada sibuk ." Sahut Pak Rahmat.

Bang Udin mengintip dengan sewot. Dia tak melihat apapun selain gambar wanita cantik.

"Sibuk ngapain to Pak? Jelas-jelas lagi pada sibuk ngeliatin wong ayu gini. Ini gambar apa video toh ? Sopo iku sih ?? Ayu tenan !"

"Din ... ini itu kemungkinan saudara Fembri. Ya doakan sajalah, misal bukan saudara ya mungkin tetangga gitu. " Pak Rahmat menjelaskan.

"Ya Allah !! Beneran Fem ? Tapi tahu dari mana kamu kalau ini saudaramu atau tetanggamu?" Tanya Bang Udin heboh.

"Belum pasti sih Bang. Baru dugaan saja. Makanya ini Pak Abu sedang mencari info sebanyak mungkin."

"Lha terus kok kamu bisa punya dugaan ke situ. Darimana tahu ?? Apa mungkin kamu pernah ketemu dia? Atau kamu tidur terus dapet wangsit gitu? Lha nak tetangga kok ya aneh Fem. Lha katanya dulu lahir dan hidup di pasar. Hmmmh aku kok melu penasaran toh. Kalau ini saudaramu kok ya pantes. Kamu ganteng lha iki ya ayu ..." Bang Udin menyimpulkan sendiri.

"Ealah to Din ... Din. Lama-lama aku pingin nabok kamu tahu gak ? Lah pantes kamu gila, wong pas waras saja yang dibahas wangsit wae ! Sini tak jelasin, tapi selesai aku ngomong kamu cuci itu sarung kotornya ! Fembri biar fokus di sini. Kamu gak seneng Fembri ketemu keluarga juga bapaknya ??"

"Ya ikut seneng to Pak. Hehehe ." Bang Udin menggaruk kepalanya yang tak gatal itu.

Pak Rahmat keluar, lalu dengan langkah lunglai Bang Udin mengikutinya. Tapi tiba-tiba Bang Udin mencolekkan tangannya pada pipiku.

"Aku maning yang kena ya Fem. Tapi yo wislah moga sukses ya. Aku mendukungmu tapi inget lho Fem, besok terus besoknya lagi kamu yang nyuci lho ya ."

Aku mengangguk dan tersenyum pada Bang Udin. Walau dia suka rempong, tapi hatinya hangat.

"Lihat ni Fem. Sepertinya aku tahu letak kampus ini ." Kata Pak Abu tiba-tiba.

"Beneran Pak ?? Dimana tuh ??" Tanyaku antusias.

"Coba lihat. Ini salah satu kampus swasta di Semarang. Deket dari sini nih, coba lihat pas aku zoom belakangnya. Tuuuh kan match banget sama foto ini."

Pak Abu menunjukkan dua foto yang berjejer. Benar, mirip dengan latar belakang lokasi wawancara tadi.

"Alhamdulilah ... benarkah Pak ? Ya Allah ... akhirnya. Terimakasih lho Pak."

"Sama-sama. Cobalah untuk mencarinya di kampus ini . Tapi pastinya tak gampang, soalnya ini kampus swasta terkenal. Di sana ribuan mahasiswanya. Tapi setidaknya tabir kehidupanmu mulai terkuak. Sabarlah ... tetap kuat. Inn syaa Allah ada jalan untukmu. "

Aku mengangguk mendengar wejangan Pak Abu. Ku lihat dia menuliskan beberapa kata di balik selembar foto Nita itu.

"Nih ... semua data yang kita tahu tentang dia. Kalau dilihat dari jaketnya, kemungkinan dia seorang mahasiswi semester akhir. Kalau aku hitung-hitung, usianya sekitar 5 tahun lebih tua darimu."

Hmmmh ... 5 tahun lebih tua dariku ?? Berarti sekitar 23 tahun usianya. Aku manggut-manggut.

"Lalu apa rencanamu Fem ?" Tanya Pak Abu.

"Fembri bingung Pak. Baiknya gimana ya ? Fembri takut kesasar bila ke sana sendirian."

"Hahaha ... benar juga. Baiklah ... inn syaa Allah besok lusa aku mau ke Semarang. Ini mau mengajukan proposal. Ikut sajalah. Nanti aku antar ke kampusnya. Dan ketika kamu nyariin ini wanita, aku dan Pak Rahmat akan mengantar proposalnya. Bagaimana ?" Tanya Pak Abu.

"Baik Pak. Tapi Fembri jangan ditinggal lho ya ? Beneran hilang nanti . Kalau hilang gimana nasibku ? Hanya ibu satu-satunya yang ku miliki."

"Iya ... iya hahaha . Oke ... sekarang kembalilah ke pondok putra." Kata Pak Abu sembari menepuk-nepuk punggungku.

Aku bangkit dengan sedikit kelegaan di hati. Aku memegang selembar kertas itu dengan penuh harapan. Semoga ini langkah awal untukku.

~~~

Aku mencuci sarung dengan gelisah. Besok sesuai kesepakatan, aku akan berkunjung ke Semarang. Bukan untuk wisata, melainkan mengadu nasib mencari jejak kehidupanku yang terputus. Aku mulai berangan-angan. Andai benar dia kakakku, lalu pasti dengan mudahnya aku menemukan ayahku. Hatiku berdegup kencang sekali, aku gugup. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa seperti anak-anak lain.

"Fem ... Fem !! Berita heboh Fem !!"

Aku melirik Mas Aan sekilas lalu melanjutkan aktivitas mencuciku. Mas Aan melompat turun menghampiriku yang sedang jongkok di samping kali.

"Hissssh ... dibilangin ada berita heboh kok ya melengos aja. Itu lho ibumu ...."

Belum selesai Mas Aan bicara, aku langsung bangkit dari jongkokku.

"Ibuku kenapa lagi Mas ? Ngamuk lagi ?" Tanyaku gusar.

"Owalah ... ndak ! Bukan itu Fem ! Ibumu sekarang bisa masak !" Kata Mas Aan berapi-api.

"Wah ... kalau soal itu aku sudah tahu Mas ! Ibuku kan sudah lama bisa masak walau cuma menu sederhana. Lha ya apa sampeyan baru tahu toh ? Kok heboh banget !" Kataku kesal.

"Bukan masakan biasa lho Fem ! Ibumu masak macem-macem roti ! Dan ruasaneee itu uuuueeeenak pol ." Kata Mas Aan sembari mengangkat kedua jempolnya.

"Roti ?? Roti apaan Mas ?"

"Macem-macem Fem. Makanya Bu Suci lho sampai kaget, gumun ! Kan Bu Suci lagi ke dapur, lha kok sudah berantakan ternyata ibumu sudah buat roti macem-macem. "

Aku melongo. Roti ?? Dapat resep dari mana coba ? Setahuku Bu Suci tidak pernah bilang kalau pernah mengajari ibu masak roti. Aku bergegas naik dengan langkah tergesa-gesa.

"Fem ... Fem. Sarungnya pada hanyut tuh ."

Aku menoleh dan benar saja sarungnya hanyut lumayan jauh. Aku berlari sekuat tenaga lalu menceburkan diri menangkap sarung yang terhanyut. Sementara Mas Aan menyelamatkan yang hanyut di dekatnya. Dengan nafas terengah-engah aku berjalan sembari memberikan sarungnya pada Mas Aan.

"Mas tolong urus sarungnya ya. Aku mau nemuin ibuk dulu."

Aku berlari dengan kencang menemui ibuku. Dengan tersengal-sengal aku berpikir. Apa karena melihat Nita itu membuat ingatan ibu sedikit-sedikit mulai terbuka. Ahhh ... entahlah. Aku mempercepat lariku melewati jembatan penghubung pondok pria dan wanita.

Dan karena baju basahku, aku tergelincir dari jembatan lalu terjun bebas ke sungai. Tapi sebelum aku mencapai air ada sebuah tangan terulur menahanku. Aku mendongak ke atas lalu terlihatlah wanita bercadar itu. Hijabnya yang berkibar karena hembusan angin melambai-lambai padaku. Matanya yang lentik seakan menembus dadaku. Ku rasakan pegangan tangannya makin lama makin lemah hingga ku rasakan aku terjatuh menyentuh air. Beruntung tidak ada batu besar di sana jadi kepalaku aman. Hanya lecet-lecet saja kaki dan tanganku.

Aku mendongak tapi wanita itu sudah tidak ada. Dengan sedikit lemas aku berenang menepi.

"Fem ... kamu ngapain ? Cepat naik ke sini !!"

Pak Rahmat tiba-tiba sudah ada di jembatan. Aku berjalan mendekatinya .

"Sudah ketemu Pak Abu belum ?" Tanyanya.

"Belum Pak. Ibu bagaimana ?"

"Iya itu tak terlalu penting lagi. Sepertinya Pak Abu menemukan sesuatu tentang ibumu. "

"Maksud Pak Rahmat apa ?"

"Pak Abu sudah menemukan identitas seseorang yang mirip ibumu."

Aku ternganga, tenggorokanku bagai keselek kerikil. Benarkah itu ??

"Maksud Pak Rahmat, soal siapa ibuku sekarang Pak Abu sudah tahu ?"

"Iya ... dan katanya nama ibumu adalah Anggun Nawangsari . Dan sepertinya benar kalau Nita Nilamsari itu kakakmu."

Bak disambar petir, tubuhku menggigil hebat. Rasa penasaran berkecamuk di otakku. Siapa sebenarnya ibuku ? Wanita seperti apa dia dulu ? Apa benar Nita Nilamsari adalah kakakku ? Lalu bagaimana ceritanya hingga ibuku berakhir di jalanan ? Dan hatiku bertanya-tanya, apakah ayahku sama dengan ayah Nita ini ??

~~~BERSAMBUNG~~~

Benarkah Anggun Nawangsari adalah ibunya ?

Lalu siapa sosok Anggun Nawangsari ini ?

Apakah keberhasilan ibu Novembri membuat roti ada hubungannya dengan masa lalunya ?

Jangan lewatkan part selanjutnya .

Potongan part berikutnya.

Aku berdiri terbengong di depan sebuah toko roti besar. Aku melihat bangunan yang besar menjulang. Dan ternyata bukan hanya aku saja yang berdiri di sini. Aku hanya satu dari ratusan orang yang berkumpul di sini. Ku dongakkan kepalaku, terlihat papan baleho bertuliskan ANGGUN BAKERY.

"Pelanggan baru ya ?" Tanya seseorang padaku.

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum.

"Pantes ... bengong. Memang di sini bukan pedagang yang menunggu, justru pelangganlah yang berebut hingga rela antre berjam-jam. Di sini rotinya enak dan hangat. Dan kau tahu ? Semua roti dimasak di sini. Dan setelah matang semua, baru toko dibuka. Uniknya toko ini hanya melayani pembeli secara langsung. Tahu kenapa ?? Karena mereka membuat roti dengan jumlah yang sama setiap hari dan tidak pernah membuka cabang. Ya beginilah kami, rela antre demi makan roti yang enak. "

No comments:

Post a Comment