23 October 2020

Ibuku Orang Gila#IOG#PART 6#MM

Part 6

Ibuku Orang Gila


Ibuku Orang Gila

#IOG
#PART 6
#MM

Terimakasih pada admin dan jajarannya yang telah meloloskan tulisan saya.

Part sebelumnya

https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2806130492782157

====

    Aku berlari menemui Pak Abu dengan baju basah kuyup. Aku mencari Pak Abu di ruangannya tapi tak ada. Aku berlari mengelilingi pesantren putra pun juga tak ada. Dengan nafas tersengal-sengal aku duduk di bawah pohon rambutan. Menunggu siapa tahu Pak Abu melewatinya.

"Ngapain kamu basah gitu Fem ?"
 
Bang Udin yang baru saja pulang dari pasar menghampiriku. Diulurkannya sebungkus dawet ayu yang di bawa dari pasar. Ku gigit ujung plastik lalu ku sedot dengan tergesa. Haus mulai berkurang ku rasa.

"Makasih Bang. Lagi nyariin Pak Abu nih. Ada hal mendesak ."

"Owalah ... lha itu to dianya. Kan tadi ikut aku ke pasar. Niih Bu Suci nitip bahan roti buat ibumu. Katanya ibumu sedang semangat nge-baking. Eeh sudah tahu kan ?" Tanyanya.

"Heem Bang. Sudah."

"Mbok ya ganti baju dulu. Masuk angin nanti. Besok jadi ikut ke Semarang ndak ?"

"Ya jadi to Bang. Ya udah Fembri ganti dulu ya. Mau cepet ketemu Pak Abu nih ."

Aku meninggalkan Bang Udin yang penasaran. Setelah berganti pakaian, aku bergegas menemui Pak Abu. Setelah saling menjawab salam, aku duduk di sampingnya.

"Niiih hasil kerjaku semalaman Fem. Lihatlah ...."

Pak Abu menjejerkan lembaran kertas di meja panjang. Lalu satu persatu ku lihat lembaran itu. Mulutku menganga lebar. Sungguh aku terkejut luar biasa kala melihat foto wanita yang mirip, ahh bukan mirip tapi sangat persis dengan ibuku. Tahi lalat di bawah matanya pun sama. Aku ambil lembaran yang berisi biodatanya. 

    Anggun Nawangsari, lahir di Bandung 59 tahun yang lalu. Dia pemilik toko roti ternama di kota Yogyakarta, Anggun Bakery. Sebuah toko roti yang tak biasa dengan omzet puluhan juta sehari nya. Wow ... fantastis ! Terlebih angka itu hanya dari satu toko roti saja. Otak bebalku tak bisa membayangkan berapa banyak uangnya itu.

"Kaget ??" Tanya Pak Abu membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk masih tak percaya. Ibunya bukan sembarang orang ternyata ! Lalu dengan kekayaannya itu kenapa bisa berakhir di jalanan dan gila ?

"Nah ini nih kejutan lainnya. Nita Nilamsari, dia anak tunggal wanita ini. Jadi kalau benar wanita ini adalah ibumu, fiks dia adalah kakakmu. Dan ini Pak Adi Surono, adalah suami ibu Anggun Nawangsari dan kemungkinan dia adalah ayahmu. "

Aku terduduk makin lemas. Terduga ayahku itu sangat tampan. Bisa dibilang mirip denganku. Hati kecilku bersorak kalau mungkin saja memang dialah ayahku.

"Besok gimana Pak Abu ? Jadi ke Semarang ?" Tanyaku.

"Jadi ... ini kartu bawalah. Kalau ketemu si Nita ini berikan padanya. "

Aku mengangguk sembari melihat sebuah kartu nama pesantren ini.

"Cobalah . Ini roti buatan ibumu. Enak bukan ?"

Aku mengicip roti pisang dan benar-benar enak dan lembut. 

"Roti seperti ini enaknya hanya bisa dibuat oleh tangan ahli yang terbiasa membuatnya. Jadi nyambunglah dengan biodata ini. Tapi belum jelas juga sih. Tapi setidaknya babak baru telah di mulai. Temuilah ibumu, dia sedang dites sama Bu Suci. Jadi ibumu ditantang membuat roti hanya dengan melihat brosur daftar roti di Anggun Bakery ini."

"Sekarang ibu di mana Pak ?"

"Tuuh di dapur tamu. Sama Bu Suci."

Aku bergegas bangkit walau kakiku masih lemas. Sungguh aku syok mengetahui kabar tadi. Tapi tiba-tiba ingatan tentang wanita bercadar hitam mengusik pikiranku. Ku hentikan langkah dan berbalik pada Pak Abu. Aku berniat menanyakan hal ini padanya. 

"Pak Abu ... tahukah Bapak kalau ada wanita bercadar di sini ? Sudah dua kali aku bertemu dengannya. Dan sampai detik ini aku belum tahu siapa dia."

Pak Abu tampak terkejut. Tapi terlihat jelas dia berusaha setenang mungkin.
Wajahnya tegang walau terllihat tenang.

"Oh ... benarkah ? Aku tak tahu." Katanya dengan cepat-cepat menenggelamkan wajahnya pada komputer.

Aku masih tak bergerak. Aku menangkap ketidakberesan pada Pak Abu. Melihatku tak berpindah tempat, Pak Abu melihat lurus padaku.

"Bersiap-siaplah untuk besok Fem. Cepatlah temui ibumu. Fokuslah dahulu dengan masalahmu itu. Bukankah itu yang kau cari selama ini ?"

Aku mengangguk setuju. 

"Baiklah. Tapi aku anggap Pak Abu berhutang satu penjelasan padaku. Siapakah wanita bercadar itu ?"

"Iya iya ... sudahlah. Besok kalau waktunya tepat kamu pasti juga tahu."

Aku bergegas menuju dapur tamu menemui ibu setelah mendengar janji Pak Abu. Dia lelaki jujur, janjinya pasti dia tepati. Sesampainya di dapur tercium aroma roti panggang yang menggugah selera. Manis dan harum nampaknya.

"Masuk Fem ! Lihatlah karya ibumu ini."

Bu Suci menunjukkan roti dengan berbagai bentuk juga hiasan berjejer di nampan depan ibuku. Air liurku seakan mau menetes melihat roti-roti itu. Tampak enak dan mahal sekali. Ibuku langsung tersenyum melihatku. Diambilkannya brownis berwarna hitam itu padaku. Ehhhmm ... begitu empuk di lidahku. Coklatnya meleleh lembut di mulutku. Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih dengan berlinang air mata. Ya ... aku lelaki cengeng. Melihat ibuku bisa masak roti seenak ini membuatku terharu. Walau ada nyeri di sudut hatiku tapi aku mencoba bertahan. Aku , Nofembri yang selama ini dia lahirkan juga dia rawat tak pernah sekalipun bibirnya memanggil namaku. Ahhhh ... entahlah . 

~~~~

     Kota Semarang, hiruk pikuk jalanan yang dipoles dengan cuaca yang panas menyengat ubun-ubunku. Aku yang duduk di samping sopir begitu gerah hingga peluh meleleh di pipiku. Apa kabar Bang Udin yang di bak belakang, pasti dia bagai terpanggang di sana.

"Pak Rahmat kenapa tak jadi ikut Pak ?" Tanyaku pada Pak Abu.

"Oh ... ada tamu penting katanya."

"Donaturkah atau keluarga pasien ?" 

"Keluarga pasien plus donatur hehe." Kata Pak Abu.

"Ohhh ... makanya nyuruh Bang Udin ikut." 

"Nanti aku turunin di kampus dengan Udin ya ? Biar aku pergi sendiri saja. " kata Pak Abu.

"Baiklah Pak. Terimakasih ."

    Mobil bak terbuka itu menembus keramaian kota. Aku yang baru kali pertama melihatnya sungguh bahagia sekali. Bertahun-tahun di pesantren hanya ke pasarlah paling jauh aku pergi. Dan tak berapa lama Pak Abu menepi lalu parkir di bahu jalan. 

"Sudah sampai Fem. Tuh Udin suruh turun. Oh ya ... kok diem banget sih itu Udin. Jangan-jangan pingsan hahaha ." Kata Pak Abu sembari menoleh ke belakang. 

Aku hanya tersenyum lalu turun memanggil Bang Udin.

"Bang ... ayo turun ." Teriakku.

Bang Udin hanya diam tak bergerak. Jangan-jangan beneran pingsan tuh Bang Udin. Aku bergegas naik ke bak lalu mengguncang tubuhnya.

"Bang ... Bang . Bangun !"

Lalu perlahan matanya terbuka. Aku lega melihatnya sadar. Bang Udin terlihat menggeliat. 

"Sudah sampai ya Fem ? Hmmmmh ... haus nih. "

"Ya Allah ... tidur to Bang ??" Tanyaku kesal.

Ku kira pingsan ehhh ternyata dia tertidur. Yang ditanya malah terkekeh.

Kami berdua berdiri di depan gerbang. Mencoba peruntungan hanya berbekal selembar kertas bernama Nita Nilamsari. Setiap mahasiswa yang keluar masuk kami tanya. Tapi tak ada satupun yang tahu soal Nita.  Hingga kami berdiri kepanasan dengan putus asa. Akhirnya aku putuskan mengajak Bang Udin untuk membeli minuman di warung makan depan kampus. Di sana ramai mahasiswa yang makan.

    Kami mengambil duduk di samping jendela sembari mengawasi kalau-kalau ada sosok Nita lewat di sana.

"Mau pesan apa Mas ?" Tanya seorang ibu-ibu muda pada kami.

"Mau pesan es teh Buk. Dua gelas ya ?" 

Si ibu masih berdiri menunggu pesanan lanjutan kami. 

"Mau pesan apa lagi Bang ?" Tanyaku pada Bang Udin.

Yang ditanya hanya mengangkat bahu. Ohh ... mungkin dia tak membawa uang. Untung aku membawa cukup uang untuk perjalanan hari ini.

"Soto ayam 2 porsi ya Buk ?" Kataku akhirnya disambut senyuman tipis dari Bang Udin.

Si ibu berlalu menyiapkan pesanan kami. 

"Maaf ya Fem . Abang tadi lupa bawa uang. Hehhehe ."

"Gak apa-apa Bang. Sekali-kali biar aku yang traktir." Kataku legowo.

Sembari menunggu kami menjembreng kertas berisi foto Nita. Takut kalau-kalau terlewat tanpa kami sadari. Hingga seseorang menepuk bahuku.

"Kamu ngapain nyarik Nita ? Pake jembreng-jembreng kertas segala . Penguntit ya ?" Seru seorang pemuda tampan padaku.

"Mas kenal Mbak Nita ini ?" Tanyaku serius.

Akhirnya ada juga yang bisa mengenalinya.

"Jelas dong ! Dia mantan pacarku. Kamu siapanya dia ?"

"Ehhhmm ... saya ada keperluan sama Mbak Nita. Saya kenalannya. "

Mata lelaki itu menatapku curiga dari kaki hingga kepala. 

"Masa sih Nita mau kenal sama kamu ? Penguntit ya ? Apa jangan-jangan preman sewaan ibunya ya ?" Seru lelaki itu dengan mendelik.

"Ooohh ... jangan gitu Mas. Slow ya ... ini adek saya Mas. Dia sedang nyari saudaranya dan kebetulan mirip sama Mbak Nita ini. Mas tahu di mana kami bisa ketemu Mbak Nita ?" Kata Bang Udin.

"Dia cuti kuliah tiga hari ini. Katanya sih kecelakaan."

"Terus tahu di mana rumahnya ?" Tanyaku penasaran.

"Mana aku tahu ? Dia itu rumahnya banyak, maklum anak konglomerat. Tapi walau terkenal, dia tertutup orangnya. Tapi aku pernah diajak  ketemuan sama dia. Kalau gak salah namanya Anggun Bakery. Itu nama toko roti ibunya. Di Jogja sono." 

Lelaki itu menjelaskan detail yang dia tahu .

"Cuma itu yang aku tahu. Awas aja kalau kamu penguntit . Sini aku ambil fotomu dulu. Ntar aku coba tanya Nita kalau dia sudah masuk. Aku mau masuk dulu nih. "

Lelaki itu bersama temannya bersiap-siap ingin keluar kala aku menarik tasnya.

"Mas bisa tolong berikan ini pada Mbak Nita ?" Tanyaku sembari menyodorkan kartu nama pesantren. 

"Aku foto sajalah. Nanti aku share ke WA-nya dia aja. Belum pasti kapan dia masuknya. "

Setelah memotret kartu nama itu dia pamit kembali ke kampus. Aku hanya memandangnya menjauh. Hmmm ... pantas kalau dia menjadi pacar Nita, secara fisik memang tampan dan menarik.

"Ini Mas sotonya dan ini teh nya." Kata ibu penjual padaku. 

Berdua dengan Bang Udin kami menyantap soto yang masih mengepul itu. Walau kuahnya panas dan cuaca di luar juga panas tapi entah kenapa terasa nikmat apalagi setelah menyeruput es tehnya. Berasa nikmat banget, seger .

"Bang ... tahu Jogja ndak Bang ?" Tanyaku pada Bang Udin.

"Tahulah ...." katanya sembari menyeruput kuah sotonya.

"Kalau kita sekarang ke Jogja gimana ?" Tanyaku tanpa basa-basi.

"Ngapain ?? " Bang Udin bengong.

"Dari info Pak Abu memang cocok sama keterangan Mas-nya tadi. Walau ada sedikit tidak kecocokan tapi memang infonya sama dengan Pak Abu."

"Kamu mau ke Jogja ?? Ke toko itu ?? Jangan nekat dong !"

"Mumpung lho Bang. Nanggung nih ... kan sudah keluar dari pesantren. Sekalian lahhh ." 

"Terus Pak Abu gimana ?? Ongkosnya ?? Aku gak bawa uang lho !"

"Aku bawa 1 juta cukup ndak ?" Kataku.

"Heh ... kecil-kecil banyak duit rupanya. Cukuplah duit segitu . "

"Ya wis ... ayo berangkat !"

"Lha terus ngomong sama Pak Abu gimana ??" 

"Nitip pesen saja sama satpam itu. Ntar kita telepon aja Pak Rahmat. Kan ada nomornya di kartu ini ." 

Aku menunjukkan kartu nama pesantren.

"Cerdas kowe Le !! Ayoooo ... jalan-jalan lintas kota hahaha ."

Setelah membayar kami mulai mencari bis jurusan Semarang-Yogyakarta . Sebelum itu tak lupa kami menitip pesan pada satpam depan kampus kalau kami melanjutkan perjalanan ke Jogja . Aku penasaran dengan Anggun Bakery itu. Akhirnya setelah sekian lama dan muter-muter kami tetap saja tak menemukan toko itu. 

    Gelap sudah menyapa , akhirnya kami putuskan makan lalu sholat di sebuah masjid. Setelah sholat kami ijin pada penjaga masjid untuk menginap semalam di sana. Setelah menunjukkan kartu nama pesantren, akhirnya kami diijinkan menginap di masjid itu. Barulah keesokan harinya kami melanjutkan pencarian. Berkat penjelasan penjaga masjid, akhirnya kami bisa menemukan lokasi toko roti itu. Kami bergegas menyeberang menuju bangunan yang megah itu.

     Aku berdiri terbengong di depan sebuah toko roti besar. Aku melihat bangunan yang besar menjulang. Dan ternyata bukan hanya aku saja yang berdiri di sini. Aku hanya satu dari ratusan orang yang berkumpul di sini. Ku dongakkan kepalaku, terlihat papan baleho bertuliskan ANGGUN BAKERY. 

"Pelanggan baru ya ?" Tanya seseorang padaku.

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum.

"Pantes ... bengong. Memang di sini bukan pedagang yang menunggu, justru pelangganlah yang berebut hingga rela antre berjam-jam. Di sini rotinya enak dan hangat. Dan kau tahu ? Semua roti dimasak di sini. Dan setelah matang semua, baru toko dibuka. Uniknya toko ini hanya melayani pembeli secara langsung. Tahu kenapa ?? Karena mereka membuat roti dengan jumlah yang sama setiap hari dan tidak pernah membuka cabang. Ya beginilah kami, rela antre demi makan roti yang enak."

Aku terdiam, memang roti buatan ibu sangat enak. Mungkin rasa roti di sini  dengan roti buatan ibu tak berbeda jauh. 

"Duduklah dulu. Sebentar lagi toko buka. Sudah ambil antrean ?" Tanya lelaki itu.

"Oh ... belum Pak. Saya tak tahu. "

"Pergilah ke sana, ada mesin dengan tombol hijau. Tekan tombol itu, lalu masukkan namamu. Setelah itu pilih varian roti yang kamu inginkan. Lalu pilih menu beli. Kalau stoknya masih nanti bakal keluar struk antrean, kalau habis kamu terpaksa pilih varian lain." 

Aku mengikuti arah telunjuk laki-laki itu. Setelah mengucap terimakasih aku bergegas menuju mesin itu. Bang Udin mengikuti langkahku. Ku ikuti sesuai arahan lelaki tadi, tapi setelah memasukkan nama aku bingung memilih varian roti. Namanya sangat asing bagiku. Bahkan lidah lokalku sangat sulit membaca nama-nama roti itu. Dan Bang Udin apalagi, dia tambah bingung. 

"Waaah nama roti wae syantiknya begini. Lidahku sampai ngilu bacanya. Lihat Fem, satu roti harga bisa sampai puluhan ribu. Laaaah kelasku makan roti seribuan jadi ngeces rasane kayak apa kok mahal banget." Celutuk Bang Udin. 

Aku celingukan mencari bantuan. Tapi sayang semua orang yang tadinya duduk berceceran kini sudah berbaris rapi sesuai no antrean. Di saat aku kebingungan, di depanku menepilah sebuah mobil mewah yang kinclongnya kebangetan. Bahkan aku bisa mengaca di body sampingnya. Tapi apa yang aku lihat selanjutnya lebih mencengangkan ! Aku melihat sosok wanita berkerudung dengan gamis mewah yang terlalu ketat. Hingga lekuk tubuh wanita itu begitu kentara. 

    Wanita itu berjalan melewatiku tanpa menoleh. Tapi kakiku gemetaran hebat. Tanganku  menggosok mata berkali-kali takut aku salah lihat. Tapi memang apa yang ku lihat itu nyata ! Dia, wanita yang berpakaian modis dan mewah dengan perhiasan berkilauan itu mirip dengan ibu ! Sangat mirip dengan ibuku yang kini di pesantren. Kalau ibuku di sana, lalu siapa wanita yang ada di depanku ini ?? 

"Bu Anggun Nawangsari ?" 

Aku perlahan tanpa sadar mengucapkan kata itu. Dan walau aku rasa itu pelan tapi nyatanya wanita itu berbalik dan memandangku. Dia mendengar kata-kataku nampaknya.

"Iya ... kamu siapa  ya ?"

Aku hanya diam mematung. Jantungku bagai berhenti berdetak. Dia tak cuma mirip, tapi sama persis ! Lalu dengan terbata-bata aku mulai menjawabnya.

"Anda siapa ??" 

Suaraku terdengar parau dan serak. Bagai suara ayam yang terjepit pagar bambu.

~~~bersambung~~~

No comments:

Post a Comment