Part 7
*Ibuku Orang Gila*
#IOG
#PART 7
#MM
Kami berdiri berhadapan dengan saling memandang dengan tatapan terkejut. Sedang Bang Udin mulutnya menganga lebar melihat lekuk tubuh wanita konglomerat itu.
"Ini itu widodari dari khayangan apa kuntilanak dari kuburan ? Kok bisa ya mulus tanpa cacat gini. Ayuuuu tenan gak main-main. Kok mirip ibukmu ya Fem. Cuma ini seksi sekali dan terawat." Bisik Bang Udin di telingaku.
"Kalian ini siapa ?? Saya tidak merasa kenal dengan kalian. Kamu kenal saya ? Atau hanya sekedar pecinta roti saya ?" Tanya ibu itu dengan tatapan tajam.
"Maaf ... kalau boleh tahu, Anda ini siapa ?" Tanyaku dengan suara bimbang.
"Saya?? Ahhh ... selama ini kamu hidup di gua ya ? Saya ini pemilik toko roti ini . Saya Anggun Nawangsari, pemilik Anggun Bakery. Itu coba lihat papan baliho di atas sana. Sayalah pemilik toko ini. Memangnya kamu siapa anak muda ? Kamu pelanggan di sini atau ingin mencari kerja di sini ?" Tanyanya dengan nada sombong.
Aku terdiam mendengar perkataan wanita itu. Hatiku terasa sesak karena kecewa. Harapan yang tadi terasa nyata kini menjauh menyisakan tanya. Kalau ini Bu Anggun lalu siapa ibuku ?? Kenapa wanita ini bisa begitu mirip dengan ibuku ? Ahhh ... bukannya jalan keluar yang ku dapat, tapi kini timbullah teka-teki baru. Lama-lama aku pusing memikirkan ini.
"Heh ... dasar gak punya adab ! Kamu itu saya tanya, palah diem saja. Mendadak bisu ya kamu ?" Tanya wanita itu dengan kasar.
"Ehhhm ... maaf Bu Anggun. Ini adek saya memang pelanggan baru. Jadi dia belum tahu soal toko roti ini apalagi tentang pemiliknya. Jadi mohon maklum ya Bu. Memang kami orang ndeso. Mau beli roti saja bingung sama mesin ini hehe ... maaf ya Bu." Bang Udin akhirnya membantu menjawab.
Aku masih saja terdiam, masih bingung dengan keadaan ini.
"Emangnya kamu mampu beli roti saya. Kalau lihat pakaianmu yang lusuh bin lecek begini, saya ragu kamu punya uang untuk membelinya." Kata Bu Anggun dengan pandangan jijik pada kami.
Mendengar harga diri kami dihujat, Bang Udin mulai terpancing emosinya. Saat mulut Bang Udin mulai terbuka untuk membalas makian itu, tiba-tiba pintu mobil mewah itu terbuka. Dan terlihatlah kaki putih mulus nan jenjang keluar dari sana. Di susul tubuh langsing bak model yang berpakaian serba minim. Lalu muncullah wajah cantik mulus tanpa cacat. Rambut keriting yang dicat merah tergerai bebas di bahunya. Mata bulat bersoftlens biru itu memandang lekat pada kami.
"Ngapain kamu ikutan keluar Nit ?" Tanya Bu Anggun kasar pada wanita muda itu.
Aku yang melihat wajah wanita itu langsung membuka lembaran kertas di sakuku. Ku perhatikan wajahnya dengan gambar di kertas. Mirip sih tapi berbeda. Di foto ini rambutnya lurus dan hitam sedang di depanku ini keriting dan merah. Bola matanya pun beda, di gambar warna coklat ini warna biru. Aku mendadak pusing, kenapa hari ini banyak orang yang mirip sih ?
"Ayo Bang, kita pergi. Mereka bukan orang yang kita cari." Bisikku pada Bang Udin sembari menarik lengan bajunya berjalan menjauh dengan lesu.
Dengan lirikan, aku melihat Bu Anggun berlalu dan masuk ke toko kue itu. Terlihat wajah pegawai yang tadinya tenang berubah kusut manakala Bu Anggun berjalan melewatinya.
"Tunggu ... !"
Aku segera menoleh ke asal suara. Wanita keriting merah itu menghentikan langkah putus asaku. Matanya lekat memandangiku. Tatapannya lurus dan tajam, mirip mata Bu Anggun. Aku membalas menatapnya lalu menunduk segera setelah melihat sedikit dadanya menyembul keluar dari belahan yang menurutku terlalu ke bawah itu.
"Bukannya kamu yang kemarin nyariin aku di kampus ya ?" Tanyanya sembari berdiri berpegangan pada pintu mobil.
Aku segera mendongak, sebisa mungkin menghindari menatap belahan dadanya itu. Tapi bagaimanapun aku juga lelaki. Sebanyak apapun aku mencoba menghindar, tetap saja sesekali melirik belahan dada itu. Arrrgh ... gelora nafsu mudaku mulai menghangat.
"Kok diem sih ! Kamu nyariin aku ke kampus kemarin ??" Tanyanya dengan nada lebih tinggi.
"Maksud Mbak apa ya ?" Tanyaku sembari menunduk.
"Bukankah kamu kemari karena info dari Bowo ?" Tanyanya lagi.
Aku mendongakkan kepala. Bowo ?? Siapa lagi dia ?
"Maaf Mbak. Mungkin Mbak salah orang." Kataku sembari berjalan menjauh dari wanita itu.
Mataku terasa sulit diatur. Berapa kalipun hatiku mengingatkan untuk menundukkan pandangan, tapi sepertinya mataku enggan melewatkan pemandangan langka itu. Iya ... langka dan sangat langka. Apalagi di pesantren, yang kulihat hanya orang gila. Tentu melihat pemandangan indah itu bagaikan candu bagi remaja sepertiku. Tak hentinya aku beristighfar, menyadari kekalahan imanku karena sebuah belahan dada !
Aku berjalan menjauh, tapi tak ku lihat Bang Udin berjalan di sisiku. Aku celingukan mencarinya, dan menengok ke belakang. Ya Allah ... itu orang masih berdiri tegak di tempatnya dan tak bergeser sesenti pun ! Matanya membesar dan menatap wanita muda itu penuh tatapan nafsu, bagaikan serigala dengan air liur yang menetes siap menerkam mangsa di depannya.
"Baaaaaang .... !!" Panggilku dengan suara melengking karena jengkel.
Yang dipanggil segera menoleh ke arahku lalu berjalan kecewa menyusulku. Tampak jelas gurat kecewa di matanya. Lebih tepatnya penyesalan yang dia rasakan. Ahhhh ... bagaimanapun kami lelaki ! Yang biasanya hanya melihat orang gila dengan segala kegiatannya tentu saja melihat makhluk seseksi ini membuat kami syok !
"Hey ... bukannya kamu mencari Nita Nilamsari ?" Katanya lagi dengan setengah berteriak.
Mendengar nama yang ku cari itu, aku menoleh cepat. Kini aku fokus pada wajahnya yang mulus itu. Bahkan mungkin saja lalat pun akan tergelincir bila hinggap di sana.
"Mbak kenal sama Nita Nilamsari ?" Tanyaku penuh harapan.
"Hahahha ... bukan kenal saja. Tapi akulah yang kamu cari itu. Aku Nita Nilamsari ." Katanya dengan senyum tulus.
Aku melongo, lalu melihat sekali lagi pada kertas di tanganku. Beda sih, tapi kok ngakunya Nita Nilamsari ya ?
Seperti tahu kebingunganku dia tertawa lepas. Lalu menarik rambut merahnya itu dan terurailah rambut hitam yang lurus sama seperti gambar. Aku makin melongo, ngeri melihat rambut yang bisa segampang itu di copot dan berganti model juga warna. Kayak bunglon ! Terus kira-kira rambut siapa yang dia pakai tadi ya ? Lalu dia sibuk dengan mengotak-atik matanya dan alangkah terkejutnya aku. Tiba-tiba mata birunya lepas berganti menjadi mata yang berwarna coklat.
Aku terbengong bagai orang bodoh. Ajaib bener ini orang, rambut bisa gonta-ganti dan mata bisa dengan mudahnya dicopot berganti warna. Otak awamku begitu takjub melihatnya. Dan alien cantik itu tertawa lepas melihatku yang bengong. Sedang Bang Udin sama terkejutnya tapi tak sebengong aku. Aku melihat ke lembaran kertas sekali lagi dan memang dia Nita Nilamsari yang aku cari kemarin.
"Sudah percaya kalau aku Nita ?" Tanyanya dengan terkekeh.
Dan entah melihatnya tertawa renyah membuatku hangat hingga tersipu malu. Wanita itu seperti tahu apa yang aku pikirkan lalu mengambil sebuah jaket dan merapatkan resletingnya hingga belahan dada itu tak lagi terlihat. Aku bersyukur sekali dengan tindakannya barusan. Setidaknya mataku tak melihat itu lagi walau paha mulusnya masih melambai bebas pada mataku. Dan jujur aku berharap membawa sarung untuk menutupinya.
"Kenapa kamu mencariku ? Sampai-sampai Bowo menyuruhku berhati-hati padamu." Tanyanya dengan masih berdiri berpegangan pada pintu mobil.
"Ada hal yang mau saya tanyakan Mbak . Semoga Mbak berkenan memberi saya kesempatan untuk bertanya." Kataku sopan.
"Okelah ... ayo masuk ke kafe itu. Kita ngobrol di sana. Tenang saja, aku yang traktir. Sebenarnya aku penasaran, terlebih setelah melihat kartu nama yang Bowo kirimkan padaku." Katanya padaku.
Aku melihatnya duduk di jok mobil dan terlihat seperti dia sedang mengeluarkan sesuatu. Dan benar saja, sebuah tongkat dia keluarkan. Dan aku baru ingat kata Bowo kemarin, Nita cuti karena kecelakaan. Tapi dari pengamatan netraku, tak nampak ada luka bekas kecelakaan di sana.
"Ayo ... ikut aku !"
Aku mengikuti dari belakang. Sedang dia berjalan dengan bantuan tongkat di bahu kirinya. Dengan tanpa sengaja aku melihat bayangan Bu Anggun mengawasi kami dari jendela kaca di lantai dua toko roti itu. Tatapan matanya tajam mengarah padaku. Ekspresi wajahnya dingin sedingin kutub es membuatku bergidik ngeri. Mungkinkah orang kaya seperti itu sikapnya ? Ngeri sekali wajahnya.
"Duduk di sini saja, biar aku bebas lihatin kalau mama keluar dari toko. Kalian duduklah di depanku." Kata Nita sambil duduk di sofa yang empuk.
Seorang pelayan kafe menghampiri kami dengan buku menu di tangannya lalu menyodorkan pada Nita.
"Aku coklat panas satu ya. Kalian mau minum apa ?" Tanyanya padaku dan Bang Udin.
Aku hanya gelagapan, seumur hidup masuk dan minum di kafe baru sekali ini. Tapi aku mencoba setenang mungkin lalu meminta buku menu yang dipegang Nita. Ku buka lembaran demi lembaran. Aaaah aku tak tahu apa yang mau ku pesan. Ku lihat barisan minuman kopi, tapi namanya aku tak paham. Padahal setahuku kopi ya kopi bubuk hitam itu. Ini ada Americano, Mochacino dan no no yang lainnya . Aku pusing membacanya. Dan aku melihat daftar jus, ahhh ... akhirnya aku temukan juga minuman yang aku tahu.
"Saya jus jeruk saja. Bang Udin apa ?" Tanyaku pada Bang Udin sembari melihatkan buku menu padanya.
"Saya jus tomat saja hehhe ."
"Hahahhaha ...."
Terdengar Nita tertawa keras melihat kami memesan. Ya mau bagaimana lagi ? Memang jeruk dan tomat adalah buah kami sehari-hari selain pisang dan pepaya tentunya.
"Okelah Mbak. Sama potato crispy satu ya. Terus sama vegetable crispy satu juga meat ball balado pedas satu."
Pegawai kafe tersenyum lalu berlalu setelah meminta kami menunggu pesanan datang. Aku celingukan melihat sekeliling. Hampir semua mainan ponsel. Sedang aku belum pernah mempunyai ponsel walau tahu gunanya. Mau buat nelepon siapa juga ? Hanya ibu kerabatku dan hampir setiap hari bisa bertemu dengannya. Jadi ponsel bukanlah hal yang penting untukku.
"Jadi katakan, kenapa kau mencariku ." Akhirnya Nita buka suara.
"Maaf sebelumnya Mbak. Sebenarnya kami mencari Mbak karena ini ."
Aku menyodorkan kertas berisi gambar Nita saat wawancara.
"Astaga ... kamu nyariin aku dari Semarang sampai Jogja karena tayangan wawancara di stasiun tivi kemarin ? Kalian ini apa sih ? Penggemarku kah ?? Hahagaga ... lucu ... lucu."
Nita tertawa sambil memukul-mukul meja. Sementara Bang Udin masih asyik menikmati wajah ayu Nita. Sedang aku hanya bengong, Nita memang cantik.
"Bukan Mbak. Jadi gini Mbak. Ehhhmmm gimana ngomongnya ya ?" Aku kebingungan menyusun kata untuk mengungkapkan niatku.
"Jadi gini lho Mbak cah ayu yang bikin aku gemes. Ini namanya Nofembri dan aku U-D-I-N dipanggil Bang Udin sengaja nyari Mbak karena sesuatu hal yang penting. Jadi ibunya Fembri ini agak gak waras alias gila. Naah selama 17 tahun itu dia gak pernah ngomong lho Mbak. Tapi pas lihat gambar Mbak di tivi kemarin kok langsung ribut memanggil nama Nita gitu. Padahal dia ndak bisa baca lho Mbak. Naaah akhirnya kami mengambil kesimpulan kalau mungkin saja ibu Fembri ini pernah kenal sama Mbak sebelum dia gila." Kata Bang Udin panjang lebar.
Nita mengerutkan dahinya. Sepertinya dia masih belum paham.
"Maksudnya itu ibu Mas ini gila terus tiba-tiba bisa ngomong Nita pas aku muncul di tivi gitu ? Padahal selama 17 tahun dia gak pernah ngomong gitu ? Kok aneh ya ? Padahal juga gak pernah kenal gitu ya ?Atau gimana sih ? Nita bingung !"
"Ya kurang lebihnya begitu Mbak. Dan pagi ini ada yang lebih aneh lagi. Wajah ibu saya itu mirip dan persis sama Bu Anggun tadi." Kataku tanpa basa-basi.
Nita kini yang gantian melongo. Dia mengacak-acak rambutnya tanda bingung tingkat dewa.
"Jadi maksud Mas, ibu saya mirip sama ibu Mas gitu ?" Katanya sembari membulatkan matanya.
"Iya Mbak . Makanya saya kaget tadi. Kok seperti ibu saya tapi kok beda penampilannya. Jadi Mbak Nita itu anaknya Bu Anggun tadi ?" Tanyaku memastikan.
Nita mengangguk membenarkan.
"Iya ... dia ibu kandung saya. Kok bisa ya ?"
"Apa mungkin ibu Mbak dan ibu Fembri saudara kembar ?" Tanya Bang Udin ikut memastikan.
"Ahhh mana mungkin sih. Setahuku ibu tak punya saudara kok. Ya dulu sih ibu pernah bilang kalau punya seorang kakak. Tapi sudah meninggal karena sakit. Bahkan aku sering ziarah kok ke makamnya. Dan selain itu tidak ada saudara lagi." Jelas Nita .
"Kalau boleh tahu saudara Bu Anggun itu wanita apa pria Mbak ?" Tanya Bang Udin mewakili rasa penasaranku.
"Perempuan. Kalau tidak salah namanya Anggi Nawangwulan."
Aku terperanjat kaget. Namanya mirip seperti kembar. Anggun Nawangsari dan Anggi Nawangwulan. Mirip sekali namanya.
"Mbak pernah ketemu sama Bu Anggi ?" Tanyaku penasaran.
"Gak pernah. Katanya sih sudah meninggal saat aku berusia 5 tahun. Aku tahu karena baca di batu nisannya kok. Bukannya ketemu langsung. Ya mungkin sih dulu pernah kali ya ? Tapi namanya umur segitu bisa saja kan lupa setelah dewasa."
Aku mengangguk perlahan. Masuk akal sih. Tapi entah kenapa aku masih di landa penasaran. Seperti mozaik yang kini mulai tersusun satu persatu.
"Aku kok penasaran ya ? Boleh lihat foto ibunya gak Mas ?" Tanya Nita sambil menatapku.
Aku menggeleng. Ahhhh ... aku tak pernah memiliki fotonya seumur hidup.
"Hmmm gimana aku bisa mengenalinya kalau tak lihat langsung. Ya minimal fotonya lah. Kan jaman dah maju, emangnya gak punya ponsel ?" Tanya Nita lagi.
Lagi-lagi aku menggeleng.
"Oh ... oke. Oh ya ini kartu nama pesantren An Nuur itu apa ya ?"
Nita menunjukkan sebuah kartu nama yang kemarin Bowo ambil gambarnya.
"Oh ... ini pesantren tempat kami tinggal Mbak. Pesantren khusus orang kelainan jiwa." Terang Bang Udin.
"Jadi selain kalian, ibu itu juga di sana ? Jadi kalau aku mau ketemu ibu itu harus ke tempat ini ya ?"
Aku dan Bang Udin mengangguk bersama.
"Oke ... baiklah . Kapan-kapan aku mau survey ke sana. Penasaran aku jadinya. Tapi sementara biar aku saja yang tahu ya ? Hati-hati sama ibuku pokoknya. Tetep waspada, jangankan kalian. Dengan aku yang anaknya saja dia kejam. Aku kuliah di Semarang saja tak tenang. Ada saja orang suruhan ibu yang membuntutiku."
"Kenapa ? Kok agak gimana gitu ?" Tanya Bang Udin.
"Ya ... karena ibuku mewaspadaiku ."
Katanya pelan seakan takut didengar orang.
"Kok begitu sih ?" Tanya Bang Udin makin terseret rasa penasaran.
"Soalnya ibuku itu ...."
"Nita !!! "
Aku terperanjat kaget. Suara keras bak halilintar menyambar telingaku. Nita yang tadi santai mendadak pucat pasi. Aku dan Bang Udin refleks menoleh. Dan sosok Bu Anggun sudah berdiri di sana. Sosok seorang wanita yang tak seanggun namanya itu sedang berkacak pinggang dengan menatap tajam kepada kami. Tatapannya bagai menembus jantung dan menghujam bagai mencabik-cabik. Entah kenapa, bagai diserang aura mistis kami mendadak menggigil ketakutan. Sosok wanita berpakaian ketat itu bagai iblis di mataku.
~~~~bersambung~~~~
No comments:
Post a Comment