04 November 2017

KERANGKA PIKIR UUDESA



KERANGKA PIKIR UUDESA

A.       Gambaran Umum
Perspektif dimaknai sebagai sikap dan keyakinan terhadap acuan dasar berpikir yang kemudian membentuk cara pandang seseorang dalam memahami sebuah isu. Perspektif itu kemudian menuntun dan mengarahkan tindakan. Dengan demikian, ketepatan tindakan, khususnya dalam konteks pemandirian Desa, pemberdayaan masyarakat, ditentukan oleh ketepatan perspektif berpikir para pelakunya.

Perspektif tentang (misalnya) kemiskinan yang dianut seseorang, jelas akan menunjukkan sikap dan arah tindakan yang bersangkutan dalam upaya memberdayakan masyarakat. Penganut perspektif Ekonomis akan melihat kemiskinan sebagai persoalan modal, teknologi produksi, pasar….’ Seorang Pemberdaya kemudian menuntun masyarakat pada berbagai kegiatan untuk mengakses - meningkatkan modal, keterampilan, bantuan mesin pengolah, dst.  Sedangkan penganut perspektif Hak, meyakini kemiskinan terjadi karena tidak terpenuhinya hak masyarakat untuk hidup secara layak. Perspektif itu kemudian menuntun pelaku memasuki wilayah ‘pemenuhuan kewajiban pemerintah’ hal itu mengantarkan pada persoalan/isu tentang tugas Negara, dan hubungan antara Negara dengan warga negaranya.

B.       Perspektif  UU No. 6 Tahun 2014
Bagaimana mengetahui atau memahami kerangka pikir yang mendasari konstruksi Undang-Undang Desa? kerangka pikir itu tentu tidak dinyatakan secara naratif atau langsung dapat terbaca dari pasal-demi pasal yang tertera dalam Undang-Undang Desa, tetapi akan terbaca apabila si pembaca memiliki wawasan/informasi yang memadai tentang “aliran pemikiran” atau teori berkenaan dengan isu-isu tertentu terkait berbagai aspek  penting  tentang desa, baik dari segi sejarah, budaya, sosiologis, politik,  pemerintahan, maupun hukum.

Terdapat empat cara pandang terhadap keberadaan desa, sebagimana dipaparkan di bawah ini:

Cara pandang 1: memandang desa hanya sebagai wilayah administratif, yang kemudian melahirkan desa birokratis, dengan cirikhas: pemerintah desa lemah dan masyarakat juga lemah. Cara pandang ini terjadi juga dalam praktik, terbukti banyak desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang tidak memiliki pemerintahan desa yang kuat dan masyarakat yang kuat. Desa semacam ini tidak menghadirkan kepala desa sebagai pemimpin lokal yang kuat, kecuali hanya sebagai pesuruh atau “mandor” yang meenjalankan tugas-tugas  administratif dari atas. Desa tidak memberikan manfaat kepada warga secara hakiki, kecuali hanya memberikan pelayanan administratif. Demikian juga dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki inisiatif dan swadaya yang kuat, kecuali hanya tergantung pada bantuan dari pemerintah.

Cara pandang 2: memandang desa sebagai kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis. Desa semacam ini menampilkan pemerintah desa, khususnya kepala desa, yang kuat dalam melayani warga dan mengontrol masyarakat, sebagaimana diterapkan oleh Orde Baru dengan UU No. 5/1979. Masyarakat sipil tidak tumbuh di desa, sehingga melahirkan kepala desa yang dominatif dan otokratis tanpa kontrol dari masyarakat.

Bagan: Tipologi cara pandang terhadap desa

Cara pandang 3: memandang desa sebagai persekutuan masyarakat (self governing community). Ada dua aliran dalam cara pandang ini. Pertama, aliran komunitarian klasik yang memuja komunitas (masyarakat adat), sebuah komunitas yang sangat kuat memiliki ikatan komunal dan kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya lokal sebagai property rights mereka. Termasuk memiliki demokrasi komunitarian, yakni demokrasi yang menolak kebebasan individu dan lebih mengutamakan kebaikan bersama. Kedua, aliran libertarian, yang memadang desa tidak perlu memiliki pemerintah desa yang kuat, juga tidak perlu didukung dengan demokrasi perwakilan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD). Masyarakat, termasuk individu anggota masyarakat, menjadi titik central perhatian cara pandang ini. Artinya setiap individu harus kuat, sadar akan hak-haknya, dan kemudian membangun modal sosial (social capital) serta melakukan aksi kolektif dalam wadah masyarakat untuk mencapai kehendak dan tujuan kolektif itu.

Cara pandang 4: memandang desa bukan sekadar kampung halaman, perkumpulan komunitas, pemukiman penduduk atau wilayah administratif, tetapi sebagai entitas  seperti “Negara kecil”. Konsep “Negara Kecil” sengaja kami beri “tanda petik” karena kami posisikan sebagai sebuah metafora yang bisa memudahkan pemahaman.

Metafora ini tentu serupa dengan Liefrinck van der Tuuk  (1886-1887) yang membuat metafora desa sebagai “republik kecil”, setelah dia melakukan penelitian di Buleleng Bali Utara. Negara kecil bukanlah negara dalam negara, melainkan sebagai organisasi lokal yang memiliki wilayah, kekuasaan, rakyat, sumberdaya (agraria, hutan, sungai, dan sebagainya), livelihood, maupun budaya dan institusi (identitas, norma, nilai, aturan, lembaga, aktor, dll). Desa sebagai negara kecil memiliki pemerintahan yang kuat sekaligus masyarakat yang kuat. Sebagai negara kecil, desa mempunyai beberapa makna penting:

1.       Sebagai negara kecil desa berfungsi sebagai basis sosial, basis politik, basis pemerintahan, basis ekonomi, basis budaya dan basis keamanan. Basis ini merupakan fondasi. Jika fondasi negara kecil ini kuat maka bangunan besar atau negara besar yang bernama NKRI akan menjadi lebih kokoh. Sebagai basis sosial, desa merupakan tempat menyemai dan merawat modal sosial (kohesi sosial, jembatan sosial, solidaritas sosial dan jaringan sosial) sehingga desa mampu bertenaga secara sosial. Sebagai basis politik, desa menyediakan arena kontestasi politik bagi kepemimpinan lokal, sekaligus arena representasi dan partisipasi warga dalam pemerintahan dan pembangunan desa. Dengan kalimat lain, desa menjadi arena bagi demokratisasi lokal yang paling kecil dan paling dekat dengan warga.Sebagai basis pemerintahan, desa memiliki organisasi dan tatapemerintahan yang mengelola kebijakan, perencanaan, keuangan dan layanan dasar yang bermanfaat untuk warga. Sebagai basis ekonomi, desa sebenarnya mempunyai aset-aset ekonomi (hutan, kebun, sawah, tambang, sungai, pasar, lumbung, perikanan darat, kerajinan, wisata, dan sebagainya), yang bermanfaat untuk sumber-sumber penghidupan bagi warga. Sudah banyak contoh yang memberi bukti-bukti tentang identitas ekonomi yang memberikan penghidupan bagi warga: desa cengkeh, desa kopi, desa vanili, desa keramik, desa genting, desa wisata, desa ikan, desa kakao, desa mau, desa garam, dan lain-lain.
2.       Desa sebagai negara kecil bukan hanya sekadar obyek penerima bantuan pemerintah, tetapi sebagai subyek yang mampu melakukan emansipasi lokal (atau otonomi dari dalam dan otonomi dari bawah) untuk mengembangkan asset-aset lokal sebagai sumber penghidupan bersama.
3.       Desa memiliki property right atau mempunyai aset dan akses terhadap sumberdaya lokal yang dimanfaatkan secara kolektif untuk kemakmuran bersama.
4.       Desa mempunyai pemerintah desa yang kuat dan mampu menjadi penggerak potensi lokal dan memberikan perlindungan secara langsung terhadap warga, termasuk kaum marginal dan perempuan yang lemah.
5.       Pemerintahan desa yang kuat bukan dimengerti dalam bentuk pemerintah dan kapala desa yang otokratis (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), tetapi lebih dalam bentuk pemerintahan desa yang mempunyai kewenangan dan anggaran memadai, sekaligus mempunyai tatapemerintahan demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa  dan masyarakat setempat.
6.       Desa tidak hanya memiliki lembaga kemasyarakatan korporatis (bentukan negara), tetapi juga memiliki organisasi masyarakat sipil.
7.       Desa bermartabat secara budaya, yang memiliki identitas atau sistem social budaya yang kuat, atau memiliki kearifan lokal yang kuat untuk mengelola masyarakat dan sumberdaya lokal.
Pesan pokok Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014, diletakkan dalam perspektif  paduan antara konsep self governing community dengan  Negara kecil (Local Self Government), dengan menekankan keberadaan Desa sebagai organisasi masyarakat yang berpemerintahan, yaitu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Mengatur ditunjukkan dengan hak dan kewenangan Desa membuat produk hukum (Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa). Mengurus ditunjukkan dengan hak dan kewenangan Desa untuk menyelenggarakan segala urusan yang menjadi kewenangan lokal desa, yang dijabarkan pelaksanaannya dalam empat bidang (penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pembinaan kemasyarakatan).

Dengan demikian, Desa menjadi paduan antara entitas masyarakat dan pemerintah. Hal ini berbeda dengan praksis sebelumnya, baik dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan maupun pembangunan (misalnya melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan) yang cenderung melihat dan memilah masyarakat dengan pemerintah sebagai dua entitas yang berbeda.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga merubah secara mendasar perspektif dan pola hubungan antara Desa dengan Negara. Desa sebagai sebuah entitas diakui keberadaan dan haknya, sebagaimana ditegaskan dalam azas Pengakuan/Rekognisi dan Subsidiaritas, dan Desa memiliki hubungan langsung dengan Negara, sebagaimana diwujudkan melalui Dana Desa.

Perspektif dan konstruksi yang demikian itu, diorientasikan untuk menguatkan kapasitas Desa menuju Desa yang maju, mandiri, dan demokratis dengan bertumpu pada nilai-nilai kegotongroyongan serta memulihkan kolektivisme/kebersamaan dan kepemilikan kolektif atas asset strategis Desa.

C.        Kebijakan Baru tentang Desa
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang selanjutnya, menjadi sebuah titik awal harapan desa untuk bisa menentukan posisi, peran dan kewenangan atas dirinya. Harapan supaya desa bisa bertenaga secara sosial dan berdaulat secara politik sebagai fondasi demokrasi desa, serta berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya sebagai wajah kemandirian desa dan pembangunan desa. Harapan tersebut semakin menggairah ketika muncul kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas sebagai azas utama yang menjadi jiwa dari undang-undang ini.

Undang-Undang Desa yang didukung PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP No. 60 tentang, Dana Desa yang Bersumber dari APBN, telah memberikan pondasi dasar terkait dengan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat 6 (enam) kebijakan pokok yang mengatur tentang desa, yaitu:

1)        Penambahan kewenangan desa yakni urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
2)        Kepastian sumber keuangan desa, yakni: alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
3)        Memperkuat makna demokrasi desa berdasarkan nilai musyawarah untuk mufakat dalam penetapan kebijakan desa, yakni merubah nomenklatur “Badan Perwakilan Desa” menjadi “Badan Permusyawaratan Desa”.
4)        Memperkuat kedudukan Kepala Desa sebagai Kepala Pemerintahan Desa agar tercipta kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan desa, yakni: (a) melarang Kepala Desa menjadi pengurus partai politik, (b) memastikan kedudukan keuangan kepala desa, dan (c) Kepala Desa bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota.
5)        Dalam rangka meningkatkan kinerja penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa, Kepala Desa dibantu oleh Sekretariat Desa yang dipimpin Sekretaris Desa.
6)        Pembentukan Desa merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang sudah ada dilakukan melalui Desa Persiapan.

D.       Kewenangan Desa
Desa sebagai sebuah entitas pemerintahan otonom (otonomi asli) dijelaskan dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mempunyai kewenangan dibidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan Kemasyarakatan desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan adat istiadat. Selanjutnya dalam pasal 19 Kewenangan Desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan asal-usul; (b) kewenangan lokal berskala desa; kewenangan yang ditugaskan oeh Pemerintah Provinsi  atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; (d) kewenangan lainnya yang ditugaskanoleh pemerintah, pemerintah daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 19 dan 103 Undang-Undang Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan, meliputi:

1)        Kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
2)        Kewenangan lokal berskala Desa dimana desa mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desanya. Berbeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
3)        Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota;
4)        Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul paling sedikit terdiri atas:

1)        Sistem organisasi masyarakat desa;
2)        Pembinaan kelembagaan masyarakat;
3)        Pembinaan tanah kas Desa; dan
4)        Pengembangan peran masyarakat desa.
Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit terdiri atas:

1)        Pengelolaan tambatan perahu;
2)        Pengelolaan pasar desa;
3)        Pengelolaan tempat pemandian umum;
4)        Pengelolaan jaringan irigasi;
5)        Pengelolaan lingkungan pemukiman masyarakat desa;
6)        Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;
7)        Pengembangan dan pembiayaan sanggar seni dan belajar;
8)        Pengelolaan perpustakaan desa dan taman bacaan;
9)        Pengelolaan embung desa;
10)    Pengelolaan air minum berskala desa; dan
11)    Pembuatan jalan desa antar pemukiman ke wilayah pertanian.



Pelaksanaan kewenangan lokal berkonsekwensi terhadap masuknya program pemerintah ke ranah desa. Pasal 20 Undang-Undang Desa menegaskan, bahwa pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf [a] dan [b] Undang-Undang Desa) diatur dan diurus oleh Desa. Pasal ini terkait dengan Pasal 81 ayat (4 dan 5): “Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa” dan “Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa”.

Selain kewenangan di atas, menteri dapat mentapkan jenis kewenagan desa lain sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal.

Penyerahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa akan berimplikasi sebagai berikut:

(1)     Kewenangan memutuskan ada pada tingkat desa, sehingga terjadi: 1)  pergeseran kewenangan dari pemerintahan kabupaten/kota kepada Pemerintahan Desa, 2) peningkatan volume perumusan peraturan perundang-undangan di desa berupa Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
(2)     Adanya pembiayaan yang diberikan Kabupaten/Kota kepada Desa dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut, sehingga terjadi: 1) pergeseran anggaran dari pos perangkat daerah kepada pos pemerintahan desa, dan 2) adanya program pembangunan yang bisa mengatasi kebutuhan masyarakat Desa dalam skala desa.
(3)     Adanya prakarsa dan inisiatif pemerintahan desa dalam mengembangkan aspek budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup di wilayahnya sesuai ruang lingkup kewenangan yang diserahkan.
(4)     Adanya prakarsa dan kewenangan memutuskan oleh Pemerintah Desa sesuai kebutuhan masyarakat Desa, sehingga keterlibatan seluruh pemangku kepentingan (Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan, dan Masyarakat Desa) dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawsan pembangunan semakin lebih maksimal.
(5)     Bila semua kebutuhan lokal dapat teratasi oleh Pemerintah Desa diharapkan akan semakin meningkat partisipasi masyarakat dalam mendukung keberhasilan program pemerintah.