KERANGKA PIKIR UUDESA
A. Gambaran Umum
Perspektif
dimaknai sebagai sikap dan keyakinan terhadap acuan dasar berpikir yang
kemudian membentuk cara pandang seseorang dalam memahami sebuah isu. Perspektif
itu kemudian menuntun dan mengarahkan tindakan. Dengan demikian, ketepatan
tindakan, khususnya dalam konteks pemandirian Desa, pemberdayaan masyarakat,
ditentukan oleh ketepatan perspektif berpikir para pelakunya.
Perspektif tentang
(misalnya) kemiskinan yang dianut seseorang, jelas akan menunjukkan sikap dan
arah tindakan yang bersangkutan dalam upaya memberdayakan masyarakat. Penganut
perspektif Ekonomis akan melihat kemiskinan sebagai persoalan modal, teknologi
produksi, pasar….’ Seorang Pemberdaya kemudian menuntun masyarakat pada
berbagai kegiatan untuk mengakses - meningkatkan modal, keterampilan, bantuan
mesin pengolah, dst. Sedangkan penganut
perspektif Hak, meyakini kemiskinan terjadi karena tidak terpenuhinya hak
masyarakat untuk hidup secara layak. Perspektif itu kemudian menuntun pelaku
memasuki wilayah ‘pemenuhuan kewajiban pemerintah’ hal itu mengantarkan pada
persoalan/isu tentang tugas Negara, dan hubungan antara Negara dengan warga
negaranya.
B. Perspektif UU No. 6 Tahun 2014
Bagaimana
mengetahui atau memahami kerangka pikir yang mendasari konstruksi Undang-Undang
Desa? kerangka pikir itu tentu tidak dinyatakan secara naratif atau langsung
dapat terbaca dari pasal-demi pasal yang tertera dalam Undang-Undang Desa,
tetapi akan terbaca apabila si pembaca memiliki wawasan/informasi yang memadai
tentang “aliran pemikiran” atau teori berkenaan dengan isu-isu tertentu terkait
berbagai aspek penting tentang desa, baik dari segi sejarah, budaya,
sosiologis, politik, pemerintahan,
maupun hukum.
Terdapat empat
cara pandang terhadap keberadaan desa, sebagimana dipaparkan di bawah ini:
Cara pandang 1:
memandang desa hanya sebagai wilayah administratif, yang kemudian melahirkan
desa birokratis, dengan cirikhas: pemerintah desa lemah dan masyarakat juga
lemah. Cara pandang ini terjadi juga dalam praktik, terbukti banyak desa di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang tidak memiliki pemerintahan desa
yang kuat dan masyarakat yang kuat. Desa semacam ini tidak menghadirkan kepala
desa sebagai pemimpin lokal yang kuat, kecuali hanya sebagai pesuruh atau
“mandor” yang meenjalankan tugas-tugas
administratif dari atas. Desa tidak memberikan manfaat kepada warga
secara hakiki, kecuali hanya memberikan pelayanan administratif. Demikian juga
dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki inisiatif dan swadaya yang kuat,
kecuali hanya tergantung pada bantuan dari pemerintah.
Cara pandang 2:
memandang desa sebagai kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis.
Desa semacam ini menampilkan pemerintah desa, khususnya kepala desa, yang kuat
dalam melayani warga dan mengontrol masyarakat, sebagaimana diterapkan oleh
Orde Baru dengan UU No. 5/1979. Masyarakat sipil tidak tumbuh di desa, sehingga
melahirkan kepala desa yang dominatif dan otokratis tanpa kontrol dari
masyarakat.
Bagan: Tipologi cara
pandang terhadap desa
|
Cara pandang 3:
memandang desa sebagai persekutuan masyarakat (self governing community). Ada
dua aliran dalam cara pandang ini. Pertama, aliran komunitarian klasik yang
memuja komunitas (masyarakat adat), sebuah komunitas yang sangat kuat memiliki
ikatan komunal dan kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya lokal sebagai
property rights mereka. Termasuk memiliki demokrasi komunitarian, yakni
demokrasi yang menolak kebebasan individu dan lebih mengutamakan kebaikan
bersama. Kedua, aliran libertarian, yang memadang desa tidak perlu memiliki
pemerintah desa yang kuat, juga tidak perlu didukung dengan demokrasi
perwakilan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD). Masyarakat, termasuk individu
anggota masyarakat, menjadi titik central perhatian cara pandang ini. Artinya
setiap individu harus kuat, sadar akan hak-haknya, dan kemudian membangun modal
sosial (social capital) serta melakukan aksi kolektif dalam wadah masyarakat
untuk mencapai kehendak dan tujuan kolektif itu.
Cara pandang 4:
memandang desa bukan sekadar kampung halaman, perkumpulan komunitas, pemukiman
penduduk atau wilayah administratif, tetapi sebagai entitas seperti “Negara kecil”. Konsep “Negara Kecil”
sengaja kami beri “tanda petik” karena kami posisikan sebagai sebuah metafora yang
bisa memudahkan pemahaman.
Metafora ini tentu
serupa dengan Liefrinck van der Tuuk
(1886-1887) yang membuat metafora desa sebagai “republik kecil”, setelah
dia melakukan penelitian di Buleleng Bali Utara. Negara kecil bukanlah negara
dalam negara, melainkan sebagai organisasi lokal yang memiliki wilayah,
kekuasaan, rakyat, sumberdaya (agraria, hutan, sungai, dan sebagainya),
livelihood, maupun budaya dan institusi (identitas, norma, nilai, aturan,
lembaga, aktor, dll). Desa sebagai negara kecil memiliki pemerintahan yang kuat
sekaligus masyarakat yang kuat. Sebagai negara kecil, desa mempunyai beberapa
makna penting:
1.
Sebagai negara kecil desa berfungsi
sebagai basis sosial, basis politik, basis pemerintahan, basis ekonomi, basis
budaya dan basis keamanan. Basis ini merupakan fondasi. Jika fondasi negara
kecil ini kuat maka bangunan besar atau negara besar yang bernama NKRI akan
menjadi lebih kokoh. Sebagai basis sosial, desa merupakan tempat menyemai dan
merawat modal sosial (kohesi sosial, jembatan sosial, solidaritas sosial dan
jaringan sosial) sehingga desa mampu bertenaga secara sosial. Sebagai basis
politik, desa menyediakan arena kontestasi politik bagi kepemimpinan lokal,
sekaligus arena representasi dan partisipasi warga dalam pemerintahan dan
pembangunan desa. Dengan kalimat lain, desa menjadi arena bagi demokratisasi
lokal yang paling kecil dan paling dekat dengan warga.Sebagai basis
pemerintahan, desa memiliki organisasi dan tatapemerintahan yang mengelola
kebijakan, perencanaan, keuangan dan layanan dasar yang bermanfaat untuk warga.
Sebagai basis ekonomi, desa sebenarnya mempunyai aset-aset ekonomi (hutan,
kebun, sawah, tambang, sungai, pasar, lumbung, perikanan darat, kerajinan,
wisata, dan sebagainya), yang bermanfaat untuk sumber-sumber penghidupan bagi
warga. Sudah banyak contoh yang memberi bukti-bukti tentang identitas ekonomi
yang memberikan penghidupan bagi warga: desa cengkeh, desa kopi, desa vanili,
desa keramik, desa genting, desa wisata, desa ikan, desa kakao, desa mau, desa
garam, dan lain-lain.
2.
Desa sebagai negara kecil bukan
hanya sekadar obyek penerima bantuan pemerintah, tetapi sebagai subyek yang
mampu melakukan emansipasi lokal (atau otonomi dari dalam dan otonomi dari
bawah) untuk mengembangkan asset-aset lokal sebagai sumber penghidupan bersama.
3.
Desa memiliki property right atau mempunyai aset dan akses terhadap sumberdaya
lokal yang dimanfaatkan secara kolektif untuk kemakmuran bersama.
4.
Desa mempunyai pemerintah desa yang
kuat dan mampu menjadi penggerak potensi lokal dan memberikan perlindungan
secara langsung terhadap warga, termasuk kaum marginal dan perempuan yang
lemah.
5.
Pemerintahan desa yang kuat bukan
dimengerti dalam bentuk pemerintah dan kapala desa yang otokratis (misalnya
dengan masa jabatan yang terlalu lama), tetapi lebih dalam bentuk pemerintahan
desa yang mempunyai kewenangan dan anggaran memadai, sekaligus mempunyai
tatapemerintahan demokratis yang dikontrol (check
and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa dan masyarakat setempat.
6.
Desa tidak hanya memiliki lembaga
kemasyarakatan korporatis (bentukan negara), tetapi juga memiliki organisasi
masyarakat sipil.
7.
Desa bermartabat secara budaya,
yang memiliki identitas atau sistem social budaya yang kuat, atau memiliki
kearifan lokal yang kuat untuk mengelola masyarakat dan sumberdaya lokal.
Pesan pokok Desa
dalam UU No. 6 Tahun 2014, diletakkan dalam perspektif paduan antara konsep self governing community
dengan Negara kecil (Local Self Government), dengan
menekankan keberadaan Desa sebagai organisasi masyarakat yang berpemerintahan,
yaitu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Mengatur
ditunjukkan dengan hak dan kewenangan Desa membuat produk hukum (Peraturan
Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa). Mengurus ditunjukkan
dengan hak dan kewenangan Desa untuk menyelenggarakan segala urusan yang
menjadi kewenangan lokal desa, yang dijabarkan pelaksanaannya dalam empat
bidang (penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan
pembinaan kemasyarakatan).
Dengan demikian,
Desa menjadi paduan antara entitas masyarakat dan pemerintah. Hal ini berbeda
dengan praksis sebelumnya, baik dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan
maupun pembangunan (misalnya melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan) yang cenderung melihat dan memilah masyarakat dengan pemerintah
sebagai dua entitas yang berbeda.
UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa juga merubah secara mendasar perspektif dan pola hubungan
antara Desa dengan Negara. Desa sebagai sebuah entitas diakui keberadaan dan
haknya, sebagaimana ditegaskan dalam azas Pengakuan/Rekognisi dan
Subsidiaritas, dan Desa memiliki hubungan langsung dengan Negara, sebagaimana
diwujudkan melalui Dana Desa.
Perspektif dan
konstruksi yang demikian itu, diorientasikan untuk menguatkan kapasitas Desa
menuju Desa yang maju, mandiri, dan demokratis dengan bertumpu pada nilai-nilai
kegotongroyongan serta memulihkan kolektivisme/kebersamaan dan kepemilikan
kolektif atas asset strategis Desa.
C.
Kebijakan
Baru tentang Desa
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang selanjutnya, menjadi sebuah
titik awal harapan desa untuk bisa menentukan posisi, peran dan kewenangan atas
dirinya. Harapan supaya desa bisa bertenaga secara sosial dan berdaulat secara
politik sebagai fondasi demokrasi desa, serta berdaya secara ekonomi dan
bermartabat secara budaya sebagai wajah kemandirian desa dan pembangunan desa.
Harapan tersebut semakin menggairah ketika muncul kombinasi antara azas
rekognisi dan subsidiaritas sebagai azas utama yang menjadi jiwa dari
undang-undang ini.
Undang-Undang Desa
yang didukung PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP No. 60 tentang, Dana Desa yang Bersumber
dari APBN, telah memberikan pondasi dasar terkait dengan Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat 6 (enam) kebijakan
pokok yang mengatur tentang desa, yaitu:
1)
Penambahan kewenangan desa yakni
urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada desa.
2)
Kepastian sumber keuangan desa,
yakni: alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima oleh kabupaten/kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah
dikurangi Dana Alokasi Khusus.
3)
Memperkuat makna demokrasi desa
berdasarkan nilai musyawarah untuk mufakat dalam penetapan kebijakan desa,
yakni merubah nomenklatur “Badan Perwakilan Desa” menjadi “Badan
Permusyawaratan Desa”.
4)
Memperkuat kedudukan Kepala Desa
sebagai Kepala Pemerintahan
Desa agar tercipta kesinambungan
penyelenggaraan pemerintahan desa, yakni: (a) melarang Kepala Desa menjadi
pengurus partai politik, (b) memastikan kedudukan keuangan kepala desa, dan (c)
Kepala Desa bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota.
5)
Dalam rangka meningkatkan kinerja
penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa, Kepala Desa dibantu oleh
Sekretariat Desa yang dipimpin Sekretaris Desa.
6)
Pembentukan Desa merupakan tindakan
mengadakan Desa baru di luar Desa yang sudah ada dilakukan melalui Desa
Persiapan.
D. Kewenangan Desa
Desa sebagai
sebuah entitas pemerintahan otonom (otonomi asli) dijelaskan dalam pasal 18
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mempunyai kewenangan dibidang
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
Kemasyarakatan desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal-usul, dan adat istiadat. Selanjutnya dalam pasal 19
Kewenangan Desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan asal-usul; (b) kewenangan
lokal berskala desa; kewenangan yang ditugaskan oeh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; (d)
kewenangan lainnya yang ditugaskanoleh pemerintah, pemerintah daerah Provinsi
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 19 dan 103
Undang-Undang Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan,
meliputi:
1)
Kewenangan berdasarkan hak asal
usul. Hal ini bebeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan
bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
2)
Kewenangan lokal berskala Desa
dimana desa mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desanya.
Berbeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa;
3)
Kewenangan yang ditugaskan oleh
pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota;
4)
Kewenangan lain yang ditugaskan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Desa berdasarkan hak
asal-usul paling
sedikit terdiri atas:
1)
Sistem organisasi masyarakat desa;
2)
Pembinaan kelembagaan masyarakat;
3)
Pembinaan tanah kas Desa; dan
4)
Pengembangan peran masyarakat desa.
Kewenangan lokal berskala desa
paling sedikit terdiri atas:
1)
Pengelolaan tambatan perahu;
2)
Pengelolaan pasar desa;
3)
Pengelolaan tempat pemandian umum;
4)
Pengelolaan jaringan irigasi;
5)
Pengelolaan lingkungan pemukiman
masyarakat desa;
6)
Pembinaan kesehatan masyarakat dan
pengelolaan pos pelayanan terpadu;
7)
Pengembangan dan pembiayaan sanggar seni dan
belajar;
8)
Pengelolaan perpustakaan desa dan
taman bacaan;
9)
Pengelolaan embung desa;
10)
Pengelolaan air minum berskala
desa; dan
11)
Pembuatan jalan desa antar
pemukiman ke wilayah pertanian.
Pelaksanaan
kewenangan lokal berkonsekwensi terhadap masuknya program pemerintah ke ranah
desa. Pasal 20 Undang-Undang Desa menegaskan, bahwa pelaksanaan kewenangan
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa (sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf [a] dan [b] Undang-Undang Desa) diatur dan
diurus oleh Desa. Pasal ini terkait dengan Pasal 81 ayat (4 dan 5):
“Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa” dan
“Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada
Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa”.
|
Selain kewenangan
di atas, menteri dapat mentapkan jenis kewenagan desa lain sesuai dengan situasi,
kondisi dan kebutuhan lokal.
Penyerahan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan
pengaturannya kepada Desa akan berimplikasi sebagai berikut:
(1)
Kewenangan memutuskan ada pada tingkat
desa, sehingga terjadi: 1) pergeseran
kewenangan dari pemerintahan kabupaten/kota kepada Pemerintahan Desa, 2)
peningkatan volume perumusan peraturan perundang-undangan di desa berupa Peraturan
Desa, Peraturan Kepala Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
(2)
Adanya pembiayaan yang diberikan
Kabupaten/Kota kepada Desa dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut, sehingga
terjadi: 1) pergeseran anggaran dari pos perangkat daerah kepada pos
pemerintahan desa, dan 2) adanya program pembangunan yang bisa mengatasi kebutuhan masyarakat
Desa dalam skala desa.
(3)
Adanya prakarsa dan inisiatif
pemerintahan desa dalam mengembangkan aspek budaya, ekonomi, dan lingkungan
hidup di wilayahnya sesuai ruang lingkup kewenangan yang diserahkan.
(4)
Adanya prakarsa dan kewenangan
memutuskan oleh Pemerintah Desa sesuai kebutuhan masyarakat Desa, sehingga
keterlibatan seluruh pemangku kepentingan (Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga
Kemasyarakatan, dan Masyarakat Desa) dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawsan pembangunan semakin lebih maksimal.
(5)
Bila semua kebutuhan lokal dapat teratasi oleh
Pemerintah Desa diharapkan akan semakin meningkat partisipasi masyarakat dalam
mendukung keberhasilan program pemerintah.