09 November 2017

Kajian Kebutuhan Peningkatan Kapasitas Pendamping Lokal Desa



Kajian Kebutuhan
Peningkatan Kapasitas
Pendamping Lokal Desa


Pengertian
Sebelum tenaga pendampin Lapangan Desa bekerja dalam situasi tugas, maka perlu dilakukan penyiapan kemampuan personal dan kelembagaan yang dimulai dengan penilaian atau analisis kebutuhan pendamping (AKP). Analisis kebutuhan pendamping salah satunya terkait dengan kebutuhan pelatihan yang dikenal dengan istilah Traianing Need Assessment (TNA). Menzel dan Messina (2011:22) mengatakan, ―A TNA is only the first critical stage in any training cycle. Thus, a TNA is quite simply a way of identifying the existing gaps in the knowledge and the strengths and weaknesses in the processes that enable or hinder effective training programs being delivered. Artinya, TNA merupakan tahap kritis pertama dalam siklus pelatihan. Dengan TNA, manajemen mengidentifikasi kesenjangan yang ada dalam pengetahuan dan kekuatan dan kelemahan dalam proses yang memungkinkan atau menghambat program pelatihan. Analisis kebutuhan pendamping memiliki kaitan yang erat dengan perencanaan peningkatan kapasitas pendamping, di mana perencanaan yang  paling baik didahului dengan mengidentifikasikan masalah atau kebutuhan. Hasil dari analisis kebutuhan pendamping akan menjadi masukan dalam perencanaan pengembangan kapasitas pendamping.
Moore (1978) dan Schuler (1993), Wulandari (2005:79) menyimpulkan, ―Untuk menentukan kebutuhan dapat diperoleh dari persamaan berikut ini: kinerja standar- kinerja aktual = kebutuhan pelatihan. Hal Ini berarti perbedaan antara kinerja yang ingin dicapai dengan kinerja sesungguhnya merupakan kebutuhan pelatihan. Analisis kebutuhan pelatihan dan pengembangan sangat penting, rumit, dan sulit.
Hariadja (2007) mengungkapkan, sangat penting sebab di samping menjadi landasan kegiatan selanjutnya seperti pemilihan metode pelatihan yang tepat, biaya pelatihannya tidak murah sehingga jika pelatihan tidak sesuai dengan kebutuhan, selain tidak meningkatkan kemampuan organisasi juga akan menghabiskan banyak biaya. Selanjutnya dikatakan rumit dan sulit sebab perlu mendiagnosis kompetensi organisasi pada saat ini dan kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan kecenderungan perubahan situasi lingkungan yang sedang dihadapi dan yang akan dihadapi pada masa yang akan datang.
Analisis kebutuhan pelatihan mengambil peran yang penting dalam menyajikan informasi sebagai upaya sistematis untuk mengenai kebutuhan Pendamping Lokal Desa dalam rangka perbaikan kinerja. Menurut Barbazette (2006:5), ―analisis kebutuhan pelatihan dilakukan untuk meningkatkan kinerja atau menutupi kinerja yang tidak memenuhi standar. Oleh karena itu, analisis kebutuhan menjadi sumber informasi penting dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kapasitas Pendamping Lokal Desa.
B.Tujuan
Tujuan penetapan kebutuhan peningkatan kapasitas Pendamping Lokal Desa di setiap wilayah kerja (Kecamatan/Desa) di dasarkan pada kerangka acuan standar kompetensi Pendamping Lokal Desa yang telah ditetapkan oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melalui Permendesa PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan. Secara umum, tujuan penilaian kebutuhan peningkatan kapasitas pendamping adalah mengumpulkan informasi untuk menetukan bentuk pelatihan dan bimbingan yang di butuhkan bagi pendamping sesuai dengan standar kompetensi yang dipersyaratkan. Secara khusus penilaian kebutuhan peningkatan kapasitas Pendamping Lokal Desa dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Diperolehnya informasi tentang kemampuan baik pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan dalam tugasnya sebagai Pendamping Lokal Desa;
2. Dasar untuk menyelenggarakan pembinaan profesi dan karier Pendamping Lokal Desa.
3. Pedoman bagi Pendamping Lokal Desa untuk meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan tugas.
4. Acuan bagi pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga terkait dalam memfasilitasi peningkatan kompetensi Pendamping Lokal Desa serta menjamin kualitas penyelenggaraan pelatihan dan bimbingan teknis sesuai dengan tugas pokoknya.
C. Sasaran
Sasaran penilaian kebutuhan peningkatan kapasitas Pendamping Lokal Desa, sebagai berikut:
1.      Terselenggaranya pembinaan, pengembangan dan pengendalian Pendamping Lokal Desa secara efektif, efisien dan akuntabel;
2.  Tersedianya Pendamping Lokal Desa yang profesional;
4. Terselenggaranya kegiatan pelatihan dan bimbingan teknis yang berkualitas.
D. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penilaian kebutuhan Peningkatan Kapasitas Pendamping Lokal Desa, sebagai berikut:
1. Program pelatihan dan bimbingan (non-pelatihan) yang disusun sesuai dengan kebutuhan organisasi, jabatan maupun individu setiap Pendamping Lokal Desa;
2.  Menjaga dan meningkatkan motivasi Pendamping Lokal Desa dalam mengikuti pelatihan dan bimbingan kinerja, karena program yang diikutinya sesuai dengan kebutuhan dalam menjalankan tugas di lapangan;
3. Mencapai efektifitas pencapaian target kinerja Pendamping Lokal Desa dalam rangka pencapaian tujuan dan standar kompetensi yang ditetapkan;
4. Efisiensi biaya pembinaan dan pengembangan Pendamping Lokal Desa karena program yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan untuk pelatihan dan bimbingan kinerja tidak sia-sia;
5. Menemukenali penyebab timbulnya masalah dalam pelaksanaan tugas sebagai Pendamping Lokal Desa, karena pelaksanaan penilaian kebutuhan yang tepat dan efektif, tidak saja akan menemukan masalah yang ditimbulkan oleh diskrepansi kompetensi pendamping dengan standar kompetensi dan tuntutan masyarakat desa sebagai pengguna.
E. Tahapan Analisis Kebutuhan Pengembangan Kapasitas
Tahapan Analisis Kebutuhan Pendamping (AKP) atau Training Needs Analysis (TNA) menurut Tees, David W., You, Nicholas., dan Fisher, Fred., (1987) membagi dalam 5 (lima) proses penting yaitu :
1.      Tahap 1: Persetujuan dan kesiapan manajemen dalam melakukan analisis kebutuhan. Proses TNA dimulai ketika manajemen terutama pimpinan organisasi mengizinkan penggunaan penilaian kebutuhan yang sistematis dalam menemukan target yang tepat untuk pelatihan. Inisiasi TNA harus didahului dengan perencanaan yang rinci dan penjadwalan.
2.      Tahap 2: Membaca lingkungan kerja organisasi. Tahapan ini melihat permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan pekerjaan, tim kerja, departemen, atau organisasi. Tiga bentuk umum dalam pembacaan lingkungan organisasi dengan mempelajari catatan tertulis/telaah dokumen organisasi, mengajukan pertanyaan/kuesioner kepada pegawai tentang kinerja atau kesenjangan lain yang dicari, dan mengamati kinerja yang terjadi.
3.      Tahap 3: Memfokuskan pada kesenjangan dan kebutuhan pelatihan. Tahapan selanjutnya adalah memfokuskan permasalahan yang didapatkan sebelumnya dengan menghimpun semua permasalahan, menganalisa dan menspesifikasikan jenis kesenjangan yang dapat diselesaikan melalui kebutuhan diklat atau kebutuhan non diklat;
4.      Tahap 4: Merencanakan untuk pelaksanaan pelatihan. Setelah menetapkan kebutuhan diklat, selanjutnya merancang pelaksanaan diklat. Proses ini bisa saja menggunakan tenaga konsultan/tenaga ahli dalam memudahkan penentuan model dan jenis pelatihan yang akan digunakan.
5.      Tahap 5: Pelaporan Manajemen. Langkah terakhir dalam penilaian kebutuhan pelatihan adalah untuk mempersiapkan laporan kepada manajemen. Isi laporan harus mencakup latar belakang pada setiap kebutuhan pelatihan, tingkat kinerja yang diinginkan dalam setiap permasalahan, strategi pelatihan yang digunakan untuk mencapai atau mengembalikan kinerja ketingkat yang diinginkan, peringkat prioritas pelatihan dan berbagai fakta tentang setiap detail dan strategi yang dilakukan dalam pelaksanaan TNA

Sumber: Diagram of the Training needs Assessment Process, Tees, You, dan Fisher (1987:10).

F. Instrumen Pengumpul Informasi dan Data
 Menilai kebutuhan pendamping terkait dengan aspek komptensi mencakup kemampuan menyerap pengatahuan, mengembangkan keterampilan dan bertindak benar. Kajian terhadap kemampuan belajar Pendamping Lokal Desa dilakukan melalui pengenalan terhadap sejumlah tugas atau kompetensi yang akan dikembangkan melalui berbagai pendekatan. Tidak ada satu tes pun yang mampu menghasilkan instrumen yang komprehensif mengenai kecerdasan dan potensi pembelajar. Tidak selamanya tes formal mampu memberikan informasi yang cukup mengenai potensi dan kemampuan seseorang, namun perlu dilengkapi dengan alat uji sederhana yang telah tersedia diantaranya observasi. Indikator pengamatan yang baik dapat menunjukkan kecenderungan kemampuan seorang pendamping terutama cara menggunakan waktu luang, minat terhadap suatu objek, kebiasaan dan tindakan yang menonjol. Pengamatan dan penilaian terhadap kemampuan awal peserta sangat diperlukan untuk menentukan ke dalam dan keluasan materi yang akan disampaikan. Berikut beberapa teknik dalam menggali kebutuhan pembelajar:

1.      Checklist penilaian merupakan cara yang paling sederhana dan praktis yang digunakan secara informal untuk kepentingan praktis pelatihan terutama untuk mengenal secara cepat kecerdasan masing-masing individu. Checklist bukan tes untuk menguji kahandalan dan kesesuaiannya. Checklist digunakan sebagai alat bantu untuk mengumpulkan informasi dengan menggunakan teknik lainnya;
2.      Dokumentasi. Catatan tertulis atau bentuk visual lain untuk memperlihatkan kompetensi Pendamping Lokal Desa. Dokumentasi foto sangat bermanfaat untuk mengabadikan suatu perilaku tindakan dan bentuk komptensi yang menonjol yang mungkin tidak akan berulang lagi pada waktu lain. Misalnya seorang pendamping sedang melakukan asistensi perencanaan, dokumentasikan langkah-langkah dan kemahiran dalam melakukannya. Penggunaan teknologi CD ROM memungkinkan seluruh informasi dapat direkam dalam suatu piringan disket praktis dan mudah ditelaah oleh masyarakat.
3.      Data evaluasi. Catatan komulatif yang menunjukkan prestasi baik dari hasil pretest-posttest atau tindakan dalam setiap kegiatan pendampingan baik kepada masyarakat, Pemerintah Desa, UPTD dan pemangku lainnya di tingkat Kecamatan dan desa. Apakah kemampuan Pendamping Lokal Desa lebih kuat dibidang visual melalui pemaparan atau dalam menyusun urutan logis kegiatan pendampingan dalam rangka implementasi Undang-Undang Desa. Hal ini dapat diukur melalui beberapa tes yang telah dikembangkan sebagai bagian dari penilaian kinerja.
4.      Berdiskusi dengan kelompok. Jika Pendamping Lokal Desa ingin mengenal masyarakat lebih dekat terkait dengan potensi dan keberhasilnannya dapat dilakukan melalui diskusi dengan kelompoknya. Misalnya tanyakan kepada kelompok tani tentang kontribusi dan kemampuan yang diberikan anggota bersangkutan dalam menerapkan teknologi pertanian atau pasca panen.
5.      Berbicara dengan pembimbing atau pelatih lain. Kerapkali pelatihan merupakan kegiatan serial dan bersambung untuk mengembangkan berbagai pengetahuan dan keterampilan dalam bidang yang beragam. Jika pendamping akan melatih penerapan rencana pembangunan Desa, maka perlu mendapat informasi tambahan dari ahli lain yang pernah memberikan kemampuan sejenis untuk matematis-logis, spasial dan naturalis dalam pelatihan yang berbeda;
6.      Berdiskusi dengan masyarakat dan organisasi lokal. Cara ini dilakukan untuk mendukung penilaian lain terutama dalam mengembangkan beberapa keterampilan dasar menyangkut kebiasaan dan pola hidup masyarakat. Jika ingin mengetahui kemampuan berhubungan dengan pemerintah, LSM, koperasi dan organisasi lainnya, dapat berdiskusi dengan lembaga di mana peserta atau pembelajar terlibat dan berhubungan aktif dengannya.
7.      Bertanya langsung kepada masyarakat. Orang dewasa yang sangat tahu cara mereka belajar dan memecahkan masalah yang dihadapinya adalah dirinya sendiri. Mereka menggunakan kemampuan belajarnya selama 24 jam sejak dilahirkan. Pelatih dapat berdiskusi bersama pembelajar dan bertanya langsung tentang kecerdasan yang paling berkembang atau melengkapinya dengan karya, gambar dan foto pada saat menunjukkan kecerdasannya;
8.      Kegiatan khusus. pendamping dapat mengembangkan beberapa kegiatan untuk menguji kecerdasan dengan memberikan wahana agar pembelajar menunjukkan kinerja yang dapat diamati. Gunakan cara atau teknik tertentu untuk mengukur seluruh wilayah potensi dan kebutuhan belajar peserta, misalnya dengan menggambar, bercerita, menari, berhitung dan bermain peran, bernyayi, dan tugas tim.

G. Pendekatan dalam Analisis Kebutuhan Pengembangan Kapasitas
       Sedarmayanti (2007) membagi pendekatan dalam analisis pengembangan kapasitas dalam empat cara, yaitu: (1) performance analysis (analisis kinerja), (2) task analysis (analisis tugas/pekerjaan), (3) competency study (studi kompetensi) dan (4) training needs survei (survei kebutuhan pelatihan). Masing-masing pendekatan diuraikan sebagai berikut:    
1.      Analisis Kinerja
Analisis kinerja (Dessler, 2015:331) merupakan proses yang dilakukan secara terus-menerus untuk mengidentifikasi, mengukur dan mengembangkan kinerja individu dan tim dan menyelaraskan kinerja mereka dengan sasaran organisasi. Sementara Barbazatte (2006) menyatakan bahwa ―analisis kinerja biasa disebut gap analysis, yaitu melihat kinerja yang telah dilakukan pegawai dan melihat hasil pekerjaan tersebut apakah telah sesuai dengan kinerja yang diinginkan. tujuan melakukan analisis kinerja adalah untuk mengidentifikasi penyebab kekurangan/kesenjangan kinerja dan tindakan korektif apa yang tepat untuk mengatasinya.
Jika masalah kesenjangan tersebut disebabkan oleh kurangnya keterampilan, solusi berupa pelatihan yang sesuai. Jika masalah tersebut bukan disebabkan karena kurangnya keterampilan, maka solusi non pelatihan apa yang lebih tepat. Dengan demikian analisis kinerja sebagai salah satu metode dalam melakukan analisis kebutuhan di mana identifikasi pengembangan kapasitas yang dibutuhkan organisasi ditentukan berdasarkan analisa kesenjangan antara target kinerja organisasi dengan hasil kinerja individu. Apabila seorang pendamping tidak melakukan pekerjaan seperti yang diharapkan sesuai standar yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi apa yang salah terhadap pegawai tersebut, dan apakah pegawai tersebut memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan tugasnya.

2.      Analisis Tugas
 Analisis tugas dilakukan untuk menemukan metode terbaik dalam menyelesaikan tugas dengan konsistensi urutan berupa langkah-langkah bagaimana tugas tersebut diselesaikan, seperti yang dikemukakan Barbazette (2006:87), ―The purpose of task analysis is to find the best method to perform a task and the best sequence of steps to complete a specific task”. Analisis tugas merupakan serangkaian kegiatan pemeriksaan terhadap tugas yang dijalankan, berfokus pada kewajiban dan tugas di seluruh organisasi itu untuk menentukan pekerjaan yang mana yang membutuhkan pelatihan. Analisis tugas seharusnya memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk memahami persyaratan pekerjaan. Selanjutnya Sedarmayanti (2007), task analysis berupa penetapan langkah dalam mewujudkan :
a.      Tugas yang harus dilaksanakan guna mewujudkan kinerja;
b.       Kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna mengerjakan tugas dengan baik; dan
c.       Skala prioritas kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna merumuskan kurikulum pelatihan.

 Langkah dalam menganalisis tugas menurut Kaswan (2011:74), sebagai berikut:
a.      Mendepskripsikan pekerjaan secara menyeluruh.
b.      Mengidentifikasi tugas dengan mendeskripsikan dengan jelas mengenai:
- Tugas-tugas utama dalam pekerjaan.
- Bagaimana tugas itu harus dilakukan.
- Bagaimana tugas itu dilakukan sehari-hari.

c.  Mengidentifikasi apa yang perlu dilakukan untuk melakukan pekerjaan.
d. Menentukan tugas, dan kapabilitas mana yang membutuhkan pengembangan berupa pendidikan dan pelatihan.
Informasi atau instrumen yang dibutuhkan melakukan task analysis menurut Barbazette (2006) diantaranya: observasi, wawancara informan utama, wawancara pimpinan organisasi, Identifikasi dan analisis tugas berdasar tugas sebenarnya, diskusi kelompok, validasi dengan observasi akhir.
3.Studi Kompetensi
Spencer dan spencer dalam Wibowo (2010:325) menyatakan bahwa kompetensi merupakan landasan dasar karakteristik orang dan mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir, menyamakan situasi, dan mendukung untuk periode waktu cukup lama. Kompetensi pada hakikatnya memiliki komponen knowledge, skill, dan personal attitude, dengan demikian secara umum kompetensi dapat diartikan sebagai tingkat pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku yang dimiliki seseorang dalam menjalankan tugas yang dibebankannya didalam organisasi. Terdapat lima lima kategori kompetensi, yang terdiri dari :
a.      Task achievement merupakan kategori kompetensi yang berhubungan dengan kinerja baik. Kompetensi yang berkaitan dengan Task achievement ditunjukan oleh: orientasi pada hasil, mengelola kinerja, memengaruhi, inisiatif, efisiensi produksi, fleksibilitas, inovasi, peduli pada kualitas, perbaikan berkelanjutan, dan keahlian teknis.
b.      Relationship merupakan kategori kompetensi yang berhubungan dengan komunikasi dan bekerja baik dengan orang lain dan memeuaskan kebutuhannya.
c.       Personal attribute merupakan kompetensi karakteristik individu yang menghubungkan bagaimana orang berpikir, merasa, belajar, dan berkembang.
d.      Managerial merupakan kompetensi yang secara spesifik berkaitan dengan pengelolaan, pengawasan, dan pengembangan orang.
e.      Leadership merupakan kompetensi yang berhubungan dengan memimpin  organisasidan orang untuk mencapai maksud, visi, dan tujuan organisasi.
Dengan demikian, standar kompetensi merupakan kemampuan seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performa yang ditetapkan. Mengaacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Standar kompetensi kerja dikembangkan mengacu pada Permenakertrans No. 21/MEN/2007 tentang Tata Cara Penetapan SKKNI. Atas dasar penetapan tersebut maka standar kompetensi yang dikembangkan harus mengacu kepada Regional Model of Competency Standard (RMCS). Prinsip yang harus dipenuhi dalam penyusunan standar dengan model RMCS yang merefleksikan kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan industri, maka harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
a.      Fokus kepada kebutuhan dunia usaha/dunia industri. Dimana kompetensi kerja yang berlaku dan diibutuhkan oleh dunia usaha/dunia industri, dalam upaya melaksanakan proses bisnis sesuai dengan tuntutan oprasional perusahaan yang dipengaruhi oleh dampak era globalisasi;
b.      Kompatibilitas. Memiliki kompatibilitas dengan standar yang berlaku di dunia usaha/dunia industri untuk bidang pekerjaan yang sejenis dan kompatibel dengan standar sejenis yang berlaku dinegara lain ataupun secara internasional.
c.       Fleksibilitas. Memiliki sifat generik yang mampu mengakomodasi perubahan dan penerapan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diaplikasikan dalam bidang pekerjaan terkait;
d.      Keterukuran. Meskipun bersifat generik standar kompetensi harus memiliki kemampuan ukur yang akurat, untuk itu standar harus terfokus pada apa yang diharapkan dapat dilakukan pekerja di tempat kerja, memberikan pengarahan yang cukup untuk pelatihan dan penilaian, diperlihatkan dalam bentuk hasil akhir yang diharapkan, selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, standar produk dan jasa yang terkait serta kode etik profesi.
e.      Ketelusuran. Standar harus memiliki sifat ketelusuran yang tinggi, sehingga dapat menjamin: ebenaran substansi yang tertuang dalam standar, dapat tertelusuri sumber rujukan yang menjadi dasar perumusan standar
f.        Transferlibilitas. Terfokus pada keterampilan dan pengetahuan yang dapat dialihkan kedalam situasi maupun di tempat kerja yang baru. Aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja, terumuskan secara holistik (menyatu).

4. Survei Kebutuhan Pelatihan
training needs survei adalah cara meminta anggota organisasi, kelompok atau anggota masyarakat apa yang mereka lihat sebagai kebutuhan yang paling penting dari organisasi, kelompok atau masyarakat. Hasil survei kemudian memandu tindakan apa yang akan dilakukan dimasa depan. Cara yang digunakan tergantung pada sumber daya (waktu, uang, dan responden). Survei bisa dilakukan dengan menggunakan kuesioner kepada orang organisasi, atau orang sekitar (pelanggan misalnya) yang bersentuhan langsung dengan organisasi tersebut. menurut Sedarmayanti (2006:175-176) metode ini digunakan untuk menjawab pertanyaan kemampuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan. Pertanyaan ini untuk menentukan:
a.    Kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna melaksanakan tugas jabatannya
b.   Skala prioritas tentang kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna merumuskan kurikulum pelatihan.
Karakteristik umum training needs survei menurut Berkowitz, Bill and Nagy,
Jenette (2014), sebagai berikut:
a.      Memiliki daftar pertanyaan yang harus dijawab.
b.      Memiliki sampel yang telah ditentukan jumlah dan jenis orang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dipilih terlebih dahulu.
c.       Wawancara dilakukan secara pribadi, telepon, atau dengan tanggapan tertulis (misalnya, mail-in survei).
d.      Hasil survei ditabulasi, diringkas, didistribusikan, dibahas, dan digunakan.

Daftar Pustaka
Idris (tt). Analisis Kebutuhan Diklat (training Needs) dalam Berbagai Pendekatan.
Jerold E. Kemp, Gary R. Morrison, Steven M. Ross (1994) Designing Effective Instruction.
New York: Macmillan College Publishing Company
Arief S. Sadiman (1992/1993) Perencanaan Sistem Pembelajaran, Prototipa Bahan
Perkuliahan. Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta
Allison Rosset and Joseph W. Arwady (1987) Training Needs Assesment. New Jersey:
Education Techology Publications, Inc
http://jadhie.blogspot.co.id/2011/12/standar-kompetensi-kerja-nasional.html
https://edutrial.wordpress.com/2012/05/05/analisis-kebutuhan-diklat-training-needs-
assessment/

1 comment:

  1. Kelanjutan untuk para pendamping lokal desa di tahun yang akan datang

    ReplyDelete