09 November 2017

Strategi Pengembangan Kapasitas Pendamping Lokal Desa



Strategi Pengembangan
Kapasitas Pendamping Lokal Desa

A.Latar Belakang
 Pengembangan kapasitas tentu tidak hanya berorientasi pada kemampuan pendamping saja, namun mencakup keseluruhan lingkup sistem dan kelembagan yang
terdiri dari struktur penataan organisasi atau sering dikenal dengan sistem manajemen,
kebijakan, target capaian, strategi pencapaian, dan peraturan operasional. Hal demikian
mengisyaratkan adanya tingkat pengembangan kapasitas (capacity development) yang
berarti mengembangkan kemampuan yang sudah ada (existing capacity), dan pengembangan kapasitas yang mengedepankan proses kreatif untuk membangun
kapasitas yang belum terlihat atau constructing capacity.
Pengembangan kapasitas merupakan suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian kegiatan untuk melakukan perubahan multilevel pada diri individu, kelompok, organisasi, dan sistem guna memperkuat kemampuan penyesuaian individu
dan organisasi dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan. Oleh karena itu peningkatan kapasitas pendamping dapat dilakukan melalui proses menganalisis lingkungan, mengidentifikasi masalah, menemukenali kebutuhan pengembangan diri, isu-isu strategis dalam masyarakat dan peluang yang dapat diperankan pendamping,
membuat formulasi strategi dalam proses mengatasi masalah, serta merancang sebuah
rencana aksi agar dapat dilaksanakan guna pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam The Capacity Building For Local Government Toward Good Governance
bahwa peningkatan kapasitas perlu memperhatikan tiga aspek yaitu. Pertama,
pengembangan SDM melalui pelatihan, sistem rekruitmen yang transparan, pemutusan
pegawai secara profesional, dan updating pola manajerial dan teknis. Kedua, pengembangan kelembagaan yang mencakup pada aspek menganalisis postur struktur organisasi berdasarkan peran dan fungsi, proses pengembangan SDM, dan gaya manajemen organisasi. Ketiga, pengembangan jejaring kerja (networking) yang dilakukan melalui penguatan koordinasi, memperjelas fungsi jejaring, serta interaksi formal dan informal antar kelembagaan.

B.Tingkatan Pengembangan Kapasitas
            Pengembangan kapasitas demikian menjelaskan adanya tingkatan yang mencakup keseluruhan aspek berdasarkan analisis kebutuhan organisasi atau dalam lingkup Peningkatan Kapasitas Pendamping Lokal Desa dalam bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa. Secara umum, tingkatan pengembangan kapasitas diuraikan sebagai berikut:
Pertama, tingkat pengembangan sistem pendampingan. Pada tingkatan ini, pengembangan kapasitas dilakukan terhadap kerangka kerja yang berhubungan dengan pengaturan, kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian tujuan kebijakan atau program tertentu. Ketika Tim Pendamping Lokal Desa memiliki target capaian yang menjadi sasaran yang hendak dicapai secara berkualitas dan berintegritas, maka pada tingkatan ini perlu dibangun adanya pengaturan sistem pendidikan dan pelatihan yang baik sebagaimana ditetapkan dalam standar kompetensi Pendamping Lapngan Desa.
Penerapan manajemen kualitas pelayanan yang diberikan oleh  pendampingmerupakan langkah untuk terwujudnya pelayanan yang mengedepankan kepentingan pengguna yaitu masyarakat yang didampinginya. Fokus pada pengguna mutlak dilakukan karena pelayanan sangat tergantung pada keberadaan pengguna yang membutuhkan jasa pelayanan. Dalam hal ini, Pendamping Lokal Desa memiliki pengguna bukan sekadar kelompok, aparatur Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa, tetapi juga pemangku kepentingan lain yang bergerak di bidang pembangunan dan
pemberdayaan Desa. Oleh karena itu, pengembangan kapasitas Pendamping Lokal Desa tidak hanya berperan dalam pelatihan saja lebih dari bagaimana mendorong kinerja, koordinasi dan mensertifikasi seluruh pendamping di bidang pembangunan dan
pemberdayaan Desa.
Kedua, tingkat pengembangan kelembagaan pendamping. Pada tingkatan ini, pengembangan dilakukan untuk mengembangkan prosedur dan mekanisme pekerjaan serta membangun hubungan atau jejaring kerja pendamping dengan pemangku kepentingan lain. Dalam organisasi, jejaring kerja jelas sangat dibutuhkan untuk setiap tingkatan manajemen yang biasa dikenal dengan perencanaan, pengorganisasian, pembagian kerja, pengawasan. Oleh karena itu, dalam setiap tahapan harus didukung adanya penguasaan tentang cara-cara berinteraksi dengan orang lain untuk dapat menciptakan jejaring kerja dengan siapa saja, agar mendapatkan respon positif dalam organisasi. Hal ini penting dan tentu harus dilakukan oleh seluruh Pendamping Lokal Desa agar target capaian organisasi tidak mungkin dapat diselesaikan oleh seorang diri tetapi harus diselesaikan dengan berkolaborasi untuk mencapai hasil yang sinergis. Jika kondisi tersebut dapat terwujud, maka akan dapat menciptakan suasana kerja yang kondusif dan terkuranginya ketegangan atau stres yang memicu menurunnnya tingkat produktivitas kerja.
            Dalam proses pengembangan kapasitas, salah satu cara yang cukup efektif untuk
meningkatkan kemampuan membangun jejaring kerja adalah dengan meniru bagaimana orang-orang sukses berinteraksi dengan orang lain. Namun perlu diketahui
bahwa proses meniru bukan merupakan perkerjaan yang mudah asal mengikuti, tetapi butuh adanya kecerdasan dalam mengidentifikasi berbagai aspek terkait dengan proses interaksi, misalnya bagaimana cara mengendalikan emosi, cara menghargai orang lain, cara berbicara, cara merespon dan sebagainya. Setidaknya membangun jejaring kerja merupakan suatu seni sehingga tidak mudah dibuat suatu pola hubungan yang baku.
Ketiga, tingkat pengembangan individu. Pada tingkatan ini, pengembangan diarahkan pada diskrepansi kompetensi teknis dan kompetensi manajerial melalui pengelompokan pekerjaan sebagai pendamping. Harus diketahui bahwa kompetensi merupakan satu kesatuan utuh yang menggambarkan potensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap, yang dimiliki seseorang terkait dengan pekerjaannya sebagai
Pendamping Lokal Desa untuk dapat diaktualisasikan dalam bentuk tindakan nyata.
Secara umum, diskrepansi kompetensi ditelaah melalui proses analisis kebutuhan peningkatan kapasitas Pendamping Lokal Desa dengan mengukur kompetensi pegawai yang ada dan membandingkannya dengan standar kompetensi pekerjaan yang sudah baku. Dengan demikin pelaksanaan kajian diperlukan suatu standar kompetensi yang berisi acuan ideal tentang seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
seharusnya dimiliki seseorang Pendamping Lokal Desa untuk melakukan pekerjaan tersebut secara efektif. Inilah yang kemudian disebut standar kompetensi bidang keahlian sebagai refleksi atas kompetensi yang diharapkan dimiliki seseorang yang berkerja dalam bidang tersebut.

C.Pola Kerja Pengembangan Kapasitas
 Peristilahan capacity building sesungguhnya berkembang mulai dari fase 1950-an dan 1960-an yang dimaksudkan untuk menyebut proses pengembangan masyarakat yang berfokus pada peningkatan kapasitas penguasaan teknologi di daerah pedesaan. Pada
1970-an, laporan badan organisasi PBB menekankan pentingnya pembangunan kapasitas untuk keterampilan teknis di daerah pedesaan, dan juga di sector administrasi negara berkembang. Pusatnya, pada 1990-an, UNDP menjadikan gerakan capacity building sebagai konsep pembangunan untuk meningkatkan kapasitas pemberdayaan dan partisipasi keseluruhan unit organisasi.
Dengan demikian, pola kerja pengembangan kapasitas sangat menekankan adanya keterlibatan keseluruhan komponen organisasi secara kesederajatan dan adanya dialog terbuka untuk bersepakat mencapai tujuan sasaran organisasi. Sebuah proses kapasitas yang efektif harus mendorong partisipasi oleh semua pihak yang terlibat. Jika stakeholder yang terlibat dan keseluruhan anggota organisasi dalam proses perumusan target capaian terlibat, tentu kesemuanya akan merasa memiliki organisasi dan akan lebih bertanggung jawab atas hasil dan keberlanjutan capaian organisasi. Keterlibatan keseluruhan komponen secara langsung jelas sangat memungkinkan untuk pengambilan keputusan yang cepat dan efektif, sekaligus lebih transparan.
Kebersamaan mengembangkan kapasitas juga pada akhirnya akan mengevaluasi
target capaian yang pernah ada pada masa sebelumnya, dan memungkinkan adanya pembangun kapasitas untuk melihat sisi mana yang membutuhkan penguatan, hal mana yang mesti diprioritaskan, dan tentunya dengan cara apa pencapaian target akan
dilakukan. Oleh karena itu, pengembangan kapasitas yang tidak diawali adanya studi
komprehensif tentang kebutuhan organisasi dan penilaian kondisi yang sudah ada sebelumnya, pada umumnya hanya akan membatasi pada pelatihan saja, padahal sesuai tingkatan pengembangan harus mencakup keseluruhan komponen organisasi. Perlu adanya evaluasi peningkatan kapasitas guna mengontrol akuntabilitas kinerja organisasi melalui pengukuran berdasarkan pada perubahan kinerja berbasis pengaturan kelembagaan, kepemimpinan, pengetahuan, dan akuntabilitas.
D. Kompetensi Pendamping Lokal Desa
            Pendamping Lokal Desa yang berkualitas dan handal dicirikan antara lain oleh kinerja yang tinggi, khususnya kompetensi teknis, kompetensi berinteraksi dengan masyarakat, mengelola pemangku kepentingan dan kompetensi kewirausahaan (entrepreneurship), serta memiliki daya fisikal handal. Sebelum dan selama berkiprah melakukan kegiatan pengembangan masyarakat, maka kompetensi tertentu yang dimiliki Pendamping Lokal Desa perlu lebih ditajamkan dan ditingkatkan sedemikian rupa, sehingga memiliki penampilan sederhana, low profile, berjiwa kritis, arif, terbuka, berkepribadian tinggi, ramah, kooperatif, mampu bekerja dalam tim, menghargai dan menghormati orang-orang lain, memiliki daya penguasaan dan pengendalian diri yang kuat.
Merujuk pada gagasan Rotwell, maka Pendamping Lokal Desa dituntut memiliki empat kompetenasi, yaitu:
1.      Kompetensi Teknis (Technical Competence), yaitu kompetensi mengenai bidang yang menjadi tugas pokok dalam mendampingi masyarakat;
2.      Kompetensi Manajerial (Managerial Competence) adalah kompetensi yang berhubungan dengan berbagai kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam menangani tugas organisasi atau tim kerja;
3.      Kompetensi Sosial (Social Competence) yaitu kemampuan melakukan komunikasiyang dibutuhkan oleh masyarakat dalam pelaksanaan tugas pokoknya;
4.      Kompetensi lntelektual/Strategik (Intelectual/Strategic Competence) yaitu kemampuan untuk berpikir secara stratejik dengan visi jauh ke depan.
Mengingat masyarakat senantiasa dinamis seiring dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta persaingan global, maka pengembangan kompetensi merupakan suatu hal yang harus dilakukan secara terencana dan berkelanjutan. Artinya setiap pengembangan kompetensi Pendamping Lokal Desa harus didasarkan pada hasil analisis kebutuhan pekerjaan atau tugas dan analisis jabatan, sehingga pengembangan kapasitas tepat sasaran dan berdayaguna dalam meningkatkan kinerja.
Dengan demikian, pengembangan kompetensi Pendamping Lokal Desa bukan sebagai beban organisasi, akan tetapi menjadi alat strategis untuk meningkatkan
kinerja individu dan organisasi secara keseluruhan. Pada hakekatnya, pengembangan kompetensi Pendamping Lokal Desa dapat dikelompokkan dalam dua katagori, yaitu:
1.      Kompetensi Umum (General Competency), artinya, meskipun pendamping memiliki posisi atau jabatan dan tugas pokoknya berbeda dalam tingkatan organisasi, namun jenis kemampuan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang bersifat dasar yang dibutuhkan akan disamakan. Misalnya, Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat, Pendamping Desa, Pendamping Lokal Desa, dan KPMD tentunya memiliki kebutuhan yang sama sebagai pendamping dalam hal teknik fasilitasi.
2.       Kompetensi Khusus (Spesific Competency), artinya setiap unit atau satuan kerja dalam organisasi tidak sama kebutuhan jenis keahliannya, karena latar belakang teknis substantif (Technical Competence). Misalnya pendamping bidang Pemberdayaan Masayarakat Desa akan berbeda tuntutan kompetensinya dengan Pendamping Desa Teknis (Infrastruktur Desa)

E. Berorietasi pada Kualitas Layanan
Peningkatan Kapasitas Pendamping Lokal Desa perlu dilakukan melalui tindakan terkoordinasi, artinya seluruh elemen yang terlibat dalam pembangunan dan pemberdayaan menjadi bagian dari proses pembelajaran bagi Pendamping Lokal Desa. Hal ini juga terkait dengan peran kelembagaan atau instansi pemerintah sebagai pemangku utama dalam pengembangan masyarakat, khususnya yang terkait dengan dampak dari UndangUndang Desa terhadap eksistensi Pendamping Lokal Desa. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas dilakukan dengan melakukan inventarisasi dan mengkaji hal-hal sebagai berikut:
1.      Keberadaan program pelatihan atau Diklat pendamping;
2.      Keberadaan dan program pendamping dari kalangan aparat atau dinas terkait;
3.      Keberadaan dan status dari Pendamping Lokal Desa beserta programmnya
4.      Sarana dan dana yang tersedia bagi program pemberdayaan masyarakat. Mengupayakan penggunaan Dana Desa atau Dana Alokasi Desa dibangun dalam kerangka perubahan dan keberlanjutan bukan ―proyek. Termasuk dana pendampingan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK);
5.      Keberadaan dukungan dan kebijakan dari Pemerintah Daerah, khususnya terkait dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota bersangkutan.
Pada tahap selanjutnya disusun perencanaan umum untuk melakukan kegiatan pembinaan dan pembimbingan bagi semua pendamping di tingkat Kabupaten/Kota. Di sini keterlibatan unit teknis/SKPD terkait, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi mutlak diperlukan, khususnya untuk mengukur kesenjangan kompetensi pendamping, antara yang dimiliki sekarang dengan apa yang menjadi harapan masyarakat, serta merancang materi pembelajaran (subject matters) untuk peningkatan kompetensi Pendamping Lokal Desa. Dari proses ini dihasilkan rumusan tentang kompetensi baru yang perlu internalisasikan kepada Pendamping Lokal Desa. Pada tahap ini diidentifikasi dan dipilah-pilah materimateri pembelajaran yang diperlukan, diantaranya mencakup kompetensi umum dan kompetensi khusus termasuk dalam keterampilan sosial.
Secara lebih rinci rencana peningkatan kapasitas dijabarkan secara rinci dalam bentuk kurikulum, berupa GBPP (Garis-garis Besar Program Pembelajaran), TIU (Tujuan Instruksional Umum dan TIK (Tujuan Instruksional Khusus), serta Kerangka Acuan dari program yang akan diselenggarakan. Semua kegiatan ini dilandaskan kepada materi pembelajaran sesuai dengan upaya peningkatan kompetensi khusus.
Efektivitas dan efisiensi proses belajar hendaklah dijadikan pedoman di dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kualitas Pendamping Lokal Desa. Oleh karena itu, semua pihak terkait, yakni SKPD, Pemerintah Kabupaten/Kota, pakar perguruan tinggi, LSM dan sukarelawan terkait serta lembaga penyandang dana (donor), perlu sepakat damendukung gagasan pengembangan kapasitas yang lebih bersifat bottom-up program planning.

F. Pemberdayaan Pendamping Lokal Desa 
Pemberdayaan pendamping sebagai bagian dari investasi SDM (Empowerment of Human Resources), merupakan aspek manajemen yang sangat strategis, karena pendamping diharapkan dapat menjadi penggerak dan daya terhadap sumber-sumber lainnya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di Desa. Apabila Pendamping Lokal Desa  tidak dapat menunjukkan daya dan memberikan daya terhadap sumber lainnya, maka dapat dipastikan pembangunan dan pemberdayaan tidak berjalan secara efektif dan efisien.
Dalam pemberdayaan pendamping ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu ―pemberdayaan dan ―pendamping. Dua kata ini memiliki makna yang sangat strategis terkait upaya memperkuat posisi dan peran dalam masyarakat. Pemberdayaan mengandung makna bahwa terjadi perubahan dinamis dan berkelanjutan dari ketidakmampuan menuju kesuksesan atau kemandirian. Sedangkan, kata pendamping bermakna subjek dan objek yang memiliki peran, kemampuan (competency) dan mandat dalam mendukung pembangunan dan pemberdayaan Desa.
   Upaya peningkatan merupakan serangkaiantindakan sistematis dalam membangun kepribadian pendamping yang mampu bertindak dan bekerja secara profesional, adaptif, berjiwa sukarela, kreatif dan siap menghadapi berbagai tantangan dan perubahan yang terjadi. Pendamping adalah mental dan cara pandang bukan identitas yang melekat dalam diri seseorang yang bersifat kontraktual, tetapi sebagai panggilan jiwa untuk bekerja bersama masyarakat dalam mencapai visi dan tujuan bersama. Cara pemberdayaan pendamping, yaitu:

1. Memberi Peran
Setiap unit lembaga pasti ada yang ditunjuk untuk sebagai peran dalam melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat yang ada dalam lembaga tersebut. Seseorang yang diberi peran dalam pekerjaan akan merasa ada perhatian khusus dari lembaga yang dapat mempengaruhi psikologi pelakunya dan secara langsung dia mempunyai tuntutan agar orang lain berperilaku kepadanya yang sesuai dengan kondidi perannya. Misal seorang guru akan bererilaku sebagai guru yang baik dalam setiap waktu. Kondisi yang seperti itu dapat mempengaruhi dari dorongan pemberian peran. Dan jangan sampai peran yang diberikan bertentangan dengan kompetensi yang dimiliki dan kemauan jiwa yang dimiliki. Begitu pula peran yang diberikan tidak over load . Agar semua bisa teratasi dengan baik diperlukan :
 
a. Rancangan beban tugas harus jelas dan pas.
b. Mempunyai tujuan peran yang jelas seperti program promosi
c. Jabatan dan lain-lainnya.
d.Menerapkan manajemen kinerja yang efektif.
e.Merancang sesuai dengan kebutuhan tugas pendamping.
f.Menjelaskan keseluruhan kepada pemangku kepentingan.
g.Membuat struktur organisasi kerja yang jelas.

1.      Membentuk Kelompok Kerja
Memberdayakan pendamping dapat dilakukan dengan membentuk tim atau kelompok kerja baik dilakukan secara fomal maupun non formal. Secara formal kelompok dibentuk atas dasar tugas yang diberikan oleh organisasi atau lembaga penyelenggara atau biasa disebut kelompok kerja. Sedangkan pembentukan kelompok non formal dilakukan hanya kepada personal yang mempunyai kepentingan bersama. Ada beberapa langkah dalam mebentuk kelompok:
a.      Storming, yaitu menghimpun pendapat dari beberapa anggota kelompok dan merumuskan bersama-sama.
b.      Pembentukan diri, yaitu saling mengenali satu sama lain dan mempelajari peran mereka dalam kelompok.
c.       Norming, yaitu menentukan norma atau aturan-aturan yang ditetapkan.
d.      Performing, yaitu menampilkan kegiatan yang sudah disepakati bersama-sama.

G. Pola Pengembangan Kapasitas Pendamping
 Penyelenggaraan program pelatihan dan pengembangan bagi pendamping sifatnya sangat situasional. Artinya dirumuskan sesuai perhitungan kepentingan organisasi dan kebutuhan, penerapan prinsip belajar dapat berbeda dalam aksentuasi dan  intensitas, yang pada gilirannya tercermin pada penggunaan teknik dalam proses pembelajaran.
Melaksanakan program pelatihan dan pengembangan pada prinsipnya melaksanakan proses pembelajaran, artinya ada pelatih yang mengajarkan suatu topic atau mata latih. Oleh karena itu, tepat tidaknya suatu teknik fasilitasi tergantung pada pertimbangan yang ingin ditonjolkan, seperti penghematan dalam pembiayaan, materi dan fasilitas yang tersedia, kemampuan peserta, kemampuan pelatih dan prinsip belajar yang digunakan.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan antara lain :
a. On the job atau pelatihan dalam jabatan, merupakan teknik pelatihan di mana para peserta dilatih langsung di tempat dia bekerja. Sasarannya adalah meningkatkan kemampuan peserta latihan mengerjakan tugasnya yang sekarang. Yang bertindak sebagai pelatih bisa seorang pelatih formal, atasan langsung, atau rekan sekerja yang lebih senior dan berpengalaman. Pelatihan dalam jabatan ini meliputi empat tahap yaitu :
·         peserta pelatihan memperoleh informasi tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dan hasil yang diharapkan, kesemuanya dikaitkan dengan relevansi pelatihan dengan peningkatan kemampuan peserta pelatihan yang bersangkutan.
·         pelatih mendemonstrasikan cara yang baik melaksanakan pekerjaan tertentu untuk dicontoh oleh pegawai yang sedang dilatih.
·          peserta pelatihan disuruh mempraktekkannya sendiri apa yang telah didemonstrasikan pelatih.
·         pendamping menunjukkan kemampuan bekerja menurut cara yang telah dipelajarinya secara mandiri.

b. Vestibule merupakan metode pelatihan untuk meningkatkan keterampilan terutama yang bersifat teknikal, di tempat pekerjaan, akan tetapi tanpa menggangu kegiatan organisasi sehari-hari. Hal ini berarti organisasi harus menyediakan lokasi dan fasilitas khusus untuk berlatih, sehingga tidak mengganggu pekerjaan yang sebenarnya. Vestibule merupakan bentuk pengembangan kapasitas yang dilakukan dalam situasi tugas atau kerja. Misalnya di kantor, agar pelatihan tidak mengganggu kegiatan administrasi sehari-hari, maka disediakan satu ruang khusus yang digunakan berlatih, seperti menata ruang pelayanan atau pengaduan, menerima pengaduan dari masyarakat langsung, kegiatan konsutasi, dan lain-lain.
c. Apprenticeship (magang), biasa dipergunakan untuk pekerjaan yang membutuh- kan keterampilan (skill) yang relatif tinggi. Program ini biasanya mengkombinasi-kan on the job training dengan pengalaman sistem magang ini dapat mengambil empat macam kegiatan yaitu:
·         seorang pegawai belajar dari pegawai lain yang lebih berpengalaman.
·         coaching dalam hal mana seorang pemimpin mengajarkan cara-cara kerja yang benar kepada bawahannya di tempat pekerjaan dan cara-cara yang diajarkan atasan tersebut ditini oleh pegawai yang sedang mengikuti latihan.
·         menjadikan pegawai yang dilatih sebagai asisten.
·         menugaskan pegawai tertentu untuk duduk dalam berbagai panitia, sehingga yang bersangkutan mendapat pengalaman lebih banyak.

e.      Classroom methods. Dirancang dalam bentuk pembelajaran di dalam kelas dengan menggunakan metode ceramah diskusi. Aktivitas pembelajaran pada umumnya berjalan sepihak yang instruktur aktif memberikan informasi atau pengetahuan kepada peserta. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan metode ini, diantaranya adalah faktor peserta, bahan belajar, pelatih. Semakin banyak jumlah peserta dalam suatu ruang belajar biasanya semakin kurang efektif (satu kelas lebih dari lima puluh orang). Demikian juga dengan bahan belajar, bila pelatih tidak menyediakan bahan belajar (hand out) menyebabkan peserta kesulitan mengikuti jalannya pembelajaran. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah instruktur, untuk model kuliah diperlukan pelatih yang benar-benar mampu menguasai kelas dengan berbagai keahliannya.



Daftar Pustaka
D. Susanto. Strategi Peningkatan Kapasitas Modal Sosial dan Kualitas Sumberdaya
Manusia  Pendamping  Pengembangan  Masyarakat.  Jurnal  Komunikasi
Pembangunan ISSN 1693-3699 Februari 2010, Vol. 08, No. 1.
http://bpsdm.kemenkumham.go.id/artikel-bpsdm/35-capacity-building-dan-strategi-
peningkatan-kualitas-sdm-organisasi
http://drpriyono.blogspot.co.id/2012/03/bab-iii-pengembangan-pemberdayaan-
sdm.html

No comments:

Post a Comment