Strategi
Pengembangan
Kapasitas Pendamping Lokal Desa
A.Latar Belakang
Pengembangan kapasitas tentu tidak hanya
berorientasi pada kemampuan pendamping saja, namun mencakup keseluruhan lingkup
sistem dan kelembagan yang
terdiri dari struktur penataan
organisasi atau sering dikenal dengan sistem manajemen,
kebijakan, target capaian, strategi
pencapaian, dan peraturan operasional. Hal demikian
mengisyaratkan adanya tingkat
pengembangan kapasitas (capacity development) yang
berarti mengembangkan kemampuan
yang sudah ada (existing capacity), dan pengembangan kapasitas yang
mengedepankan proses kreatif untuk membangun
kapasitas yang belum terlihat atau
constructing capacity.
Pengembangan kapasitas
merupakan suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian kegiatan untuk
melakukan perubahan multilevel pada diri individu, kelompok, organisasi, dan
sistem guna memperkuat kemampuan penyesuaian individu
dan organisasi dalam menghadapi
dinamika perubahan lingkungan. Oleh karena itu peningkatan kapasitas pendamping
dapat dilakukan melalui proses menganalisis lingkungan, mengidentifikasi
masalah, menemukenali kebutuhan pengembangan diri, isu-isu strategis dalam
masyarakat dan peluang yang dapat diperankan pendamping,
membuat formulasi strategi dalam
proses mengatasi masalah, serta merancang sebuah
rencana aksi agar dapat
dilaksanakan guna pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam The Capacity
Building For Local Government Toward Good Governance
bahwa peningkatan kapasitas perlu
memperhatikan tiga aspek yaitu. Pertama,
pengembangan SDM melalui pelatihan,
sistem rekruitmen yang transparan, pemutusan
pegawai secara profesional, dan
updating pola manajerial dan teknis. Kedua, pengembangan kelembagaan yang
mencakup pada aspek menganalisis postur struktur organisasi berdasarkan peran
dan fungsi, proses pengembangan SDM, dan gaya manajemen organisasi. Ketiga,
pengembangan jejaring kerja (networking) yang dilakukan melalui penguatan
koordinasi, memperjelas fungsi jejaring, serta interaksi formal dan informal
antar kelembagaan.
B.Tingkatan Pengembangan
Kapasitas
Pengembangan
kapasitas demikian menjelaskan adanya tingkatan yang mencakup keseluruhan aspek
berdasarkan analisis kebutuhan organisasi atau dalam lingkup Peningkatan
Kapasitas Pendamping Lokal Desa dalam bidang pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat Desa. Secara umum, tingkatan pengembangan kapasitas diuraikan
sebagai berikut:
Pertama, tingkat
pengembangan sistem pendampingan. Pada tingkatan ini, pengembangan kapasitas
dilakukan terhadap kerangka kerja yang berhubungan dengan pengaturan, kebijakan
dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian tujuan kebijakan atau program
tertentu. Ketika Tim Pendamping Lokal Desa memiliki target capaian yang menjadi
sasaran yang hendak dicapai secara berkualitas dan berintegritas, maka pada
tingkatan ini perlu dibangun adanya pengaturan sistem pendidikan dan pelatihan yang
baik sebagaimana ditetapkan dalam standar kompetensi Pendamping Lapngan Desa.
Penerapan manajemen
kualitas pelayanan yang diberikan oleh pendampingmerupakan
langkah untuk terwujudnya pelayanan yang mengedepankan kepentingan pengguna
yaitu masyarakat yang didampinginya. Fokus pada pengguna mutlak dilakukan
karena pelayanan sangat tergantung pada keberadaan pengguna yang membutuhkan
jasa pelayanan. Dalam hal ini, Pendamping Lokal Desa memiliki pengguna bukan
sekadar kelompok, aparatur Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa, tetapi juga
pemangku kepentingan lain yang bergerak di bidang pembangunan dan
pemberdayaan Desa. Oleh karena itu,
pengembangan kapasitas Pendamping Lokal Desa tidak hanya berperan dalam
pelatihan saja lebih dari bagaimana mendorong kinerja, koordinasi dan
mensertifikasi seluruh pendamping di bidang pembangunan dan
pemberdayaan Desa.
Kedua, tingkat
pengembangan kelembagaan pendamping. Pada tingkatan ini, pengembangan dilakukan
untuk mengembangkan prosedur dan mekanisme pekerjaan serta membangun hubungan
atau jejaring kerja pendamping dengan pemangku kepentingan lain. Dalam
organisasi, jejaring kerja jelas sangat dibutuhkan untuk setiap tingkatan
manajemen yang biasa dikenal dengan perencanaan, pengorganisasian, pembagian
kerja, pengawasan. Oleh karena itu, dalam setiap tahapan harus didukung adanya
penguasaan tentang cara-cara berinteraksi dengan orang lain untuk dapat menciptakan
jejaring kerja dengan siapa saja, agar mendapatkan respon positif dalam organisasi.
Hal ini penting dan tentu harus dilakukan oleh seluruh Pendamping Lokal Desa agar
target capaian organisasi tidak mungkin dapat diselesaikan oleh seorang diri tetapi
harus diselesaikan dengan berkolaborasi untuk mencapai hasil yang sinergis.
Jika kondisi tersebut dapat terwujud, maka akan dapat menciptakan suasana kerja
yang kondusif dan terkuranginya ketegangan atau stres yang memicu menurunnnya
tingkat produktivitas kerja.
Dalam
proses pengembangan kapasitas, salah satu cara yang cukup efektif untuk
meningkatkan kemampuan membangun
jejaring kerja adalah dengan meniru bagaimana orang-orang sukses berinteraksi
dengan orang lain. Namun perlu diketahui
bahwa proses meniru bukan merupakan
perkerjaan yang mudah asal mengikuti, tetapi butuh adanya kecerdasan dalam
mengidentifikasi berbagai aspek terkait dengan proses interaksi, misalnya
bagaimana cara mengendalikan emosi, cara menghargai orang lain, cara berbicara,
cara merespon dan sebagainya. Setidaknya membangun jejaring kerja merupakan
suatu seni sehingga tidak mudah dibuat suatu pola hubungan yang baku.
Ketiga,
tingkat pengembangan individu. Pada tingkatan ini, pengembangan diarahkan pada
diskrepansi kompetensi teknis dan kompetensi manajerial melalui pengelompokan
pekerjaan sebagai pendamping. Harus diketahui bahwa kompetensi merupakan satu
kesatuan utuh yang menggambarkan potensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap,
yang dimiliki seseorang terkait dengan pekerjaannya sebagai
Pendamping Lokal Desa
untuk dapat diaktualisasikan dalam bentuk tindakan nyata.
Secara
umum, diskrepansi kompetensi ditelaah melalui proses analisis kebutuhan peningkatan
kapasitas Pendamping Lokal Desa dengan mengukur kompetensi pegawai yang ada dan
membandingkannya dengan standar kompetensi pekerjaan yang sudah baku. Dengan
demikin pelaksanaan kajian diperlukan suatu standar kompetensi yang berisi acuan
ideal tentang seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
seharusnya dimiliki
seseorang Pendamping Lokal Desa untuk melakukan pekerjaan tersebut secara
efektif. Inilah yang kemudian disebut standar kompetensi bidang keahlian sebagai
refleksi atas kompetensi yang diharapkan dimiliki seseorang yang berkerja dalam
bidang tersebut.
C.Pola
Kerja Pengembangan Kapasitas
Peristilahan capacity building sesungguhnya
berkembang mulai dari fase 1950-an dan 1960-an yang dimaksudkan untuk menyebut
proses pengembangan masyarakat yang berfokus pada peningkatan kapasitas
penguasaan teknologi di daerah pedesaan. Pada
1970-an, laporan badan
organisasi PBB menekankan pentingnya pembangunan kapasitas untuk keterampilan
teknis di daerah pedesaan, dan juga di sector administrasi negara berkembang.
Pusatnya, pada 1990-an, UNDP menjadikan gerakan capacity building sebagai
konsep pembangunan untuk meningkatkan kapasitas pemberdayaan dan partisipasi
keseluruhan unit organisasi.
Dengan
demikian, pola kerja pengembangan kapasitas sangat menekankan adanya
keterlibatan keseluruhan komponen organisasi secara kesederajatan dan adanya
dialog terbuka untuk bersepakat mencapai tujuan sasaran organisasi. Sebuah proses
kapasitas yang efektif harus mendorong partisipasi oleh semua pihak yang terlibat.
Jika stakeholder yang terlibat dan keseluruhan anggota organisasi dalam proses
perumusan target capaian terlibat, tentu kesemuanya akan merasa memiliki organisasi
dan akan lebih bertanggung jawab atas hasil dan keberlanjutan capaian organisasi.
Keterlibatan keseluruhan komponen secara langsung jelas sangat memungkinkan
untuk pengambilan keputusan yang cepat dan efektif, sekaligus lebih transparan.
Kebersamaan
mengembangkan kapasitas juga pada akhirnya akan mengevaluasi
target capaian yang
pernah ada pada masa sebelumnya, dan memungkinkan adanya pembangun kapasitas
untuk melihat sisi mana yang membutuhkan penguatan, hal mana yang mesti
diprioritaskan, dan tentunya dengan cara apa pencapaian target akan
dilakukan. Oleh karena
itu, pengembangan kapasitas yang tidak diawali adanya studi
komprehensif tentang
kebutuhan organisasi dan penilaian kondisi yang sudah ada sebelumnya, pada
umumnya hanya akan membatasi pada pelatihan saja, padahal sesuai tingkatan
pengembangan harus mencakup keseluruhan komponen organisasi. Perlu adanya
evaluasi peningkatan kapasitas guna mengontrol akuntabilitas kinerja organisasi
melalui pengukuran berdasarkan pada perubahan kinerja berbasis pengaturan
kelembagaan, kepemimpinan, pengetahuan, dan akuntabilitas.
D.
Kompetensi Pendamping Lokal Desa
Pendamping
Lokal Desa yang berkualitas dan handal dicirikan antara lain oleh kinerja yang tinggi,
khususnya kompetensi teknis, kompetensi berinteraksi dengan masyarakat, mengelola
pemangku kepentingan dan kompetensi kewirausahaan (entrepreneurship), serta
memiliki daya fisikal handal. Sebelum dan selama berkiprah melakukan kegiatan pengembangan
masyarakat, maka kompetensi tertentu yang dimiliki Pendamping Lokal Desa perlu
lebih ditajamkan dan ditingkatkan sedemikian rupa, sehingga memiliki penampilan
sederhana, low profile, berjiwa kritis, arif, terbuka, berkepribadian tinggi, ramah,
kooperatif, mampu bekerja dalam tim, menghargai dan menghormati orang-orang
lain, memiliki daya penguasaan dan pengendalian diri yang kuat.
Merujuk
pada gagasan Rotwell, maka Pendamping Lokal Desa dituntut memiliki empat kompetenasi,
yaitu:
1. Kompetensi
Teknis (Technical Competence), yaitu kompetensi mengenai bidang yang menjadi
tugas pokok dalam mendampingi masyarakat;
2. Kompetensi
Manajerial (Managerial Competence) adalah kompetensi yang berhubungan dengan
berbagai kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam menangani tugas organisasi
atau tim kerja;
3. Kompetensi
Sosial (Social Competence) yaitu kemampuan melakukan komunikasiyang dibutuhkan
oleh masyarakat dalam pelaksanaan tugas pokoknya;
4. Kompetensi
lntelektual/Strategik (Intelectual/Strategic Competence) yaitu kemampuan untuk
berpikir secara stratejik dengan visi jauh ke depan.
Mengingat masyarakat
senantiasa dinamis seiring dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan
teknologi serta persaingan global, maka pengembangan kompetensi merupakan suatu
hal yang harus dilakukan secara terencana dan berkelanjutan. Artinya setiap
pengembangan kompetensi Pendamping Lokal Desa harus didasarkan pada hasil
analisis kebutuhan pekerjaan atau tugas dan analisis jabatan, sehingga
pengembangan kapasitas tepat sasaran dan berdayaguna dalam meningkatkan
kinerja.
Dengan
demikian, pengembangan kompetensi Pendamping Lokal Desa bukan sebagai beban
organisasi, akan tetapi menjadi alat strategis untuk meningkatkan
kinerja individu dan
organisasi secara keseluruhan. Pada hakekatnya, pengembangan kompetensi Pendamping
Lokal Desa dapat dikelompokkan dalam dua katagori, yaitu:
1. Kompetensi Umum (General Competency),
artinya, meskipun pendamping memiliki posisi atau jabatan dan tugas pokoknya
berbeda dalam tingkatan organisasi, namun jenis kemampuan pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang bersifat dasar yang dibutuhkan akan disamakan.
Misalnya, Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat, Pendamping Desa, Pendamping
Lokal Desa, dan KPMD tentunya memiliki kebutuhan yang sama sebagai pendamping
dalam hal teknik fasilitasi.
2. Kompetensi Khusus (Spesific Competency),
artinya setiap unit atau satuan kerja dalam organisasi tidak sama kebutuhan
jenis keahliannya, karena latar belakang teknis substantif (Technical
Competence). Misalnya pendamping bidang Pemberdayaan Masayarakat Desa akan
berbeda tuntutan kompetensinya dengan Pendamping Desa Teknis (Infrastruktur
Desa)
E.
Berorietasi pada Kualitas Layanan
Peningkatan
Kapasitas Pendamping Lokal Desa perlu dilakukan melalui tindakan terkoordinasi,
artinya seluruh elemen yang terlibat dalam pembangunan dan pemberdayaan menjadi
bagian dari proses pembelajaran bagi Pendamping Lokal Desa. Hal ini juga
terkait dengan peran kelembagaan atau instansi pemerintah sebagai pemangku
utama dalam pengembangan masyarakat, khususnya yang terkait dengan dampak dari
UndangUndang Desa terhadap eksistensi Pendamping Lokal Desa. Oleh karena itu,
peningkatan kapasitas dilakukan dengan melakukan inventarisasi dan mengkaji
hal-hal sebagai berikut:
1. Keberadaan program pelatihan atau Diklat
pendamping;
2. Keberadaan dan program pendamping dari
kalangan aparat atau dinas terkait;
3. Keberadaan dan status dari Pendamping
Lokal Desa beserta programmnya
4. Sarana dan dana yang tersedia bagi program
pemberdayaan masyarakat. Mengupayakan penggunaan Dana Desa atau Dana Alokasi
Desa dibangun dalam kerangka perubahan dan keberlanjutan bukan ―proyek‖.
Termasuk dana pendampingan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK);
5. Keberadaan dukungan dan kebijakan dari
Pemerintah Daerah, khususnya terkait dengan Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten/Kota bersangkutan.
Pada tahap
selanjutnya disusun perencanaan umum untuk melakukan kegiatan pembinaan dan
pembimbingan bagi semua pendamping di tingkat Kabupaten/Kota. Di sini
keterlibatan unit teknis/SKPD terkait, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi
mutlak diperlukan, khususnya untuk mengukur kesenjangan kompetensi pendamping,
antara yang dimiliki sekarang dengan apa yang menjadi harapan masyarakat, serta
merancang materi pembelajaran (subject matters) untuk peningkatan kompetensi Pendamping
Lokal Desa. Dari proses ini dihasilkan rumusan tentang kompetensi baru yang
perlu internalisasikan kepada Pendamping Lokal Desa. Pada tahap ini
diidentifikasi dan dipilah-pilah materimateri pembelajaran yang diperlukan,
diantaranya mencakup kompetensi umum dan kompetensi khusus termasuk dalam
keterampilan sosial.
Secara
lebih rinci rencana peningkatan kapasitas dijabarkan secara rinci dalam bentuk
kurikulum, berupa GBPP (Garis-garis Besar Program Pembelajaran), TIU (Tujuan
Instruksional Umum dan TIK (Tujuan Instruksional Khusus), serta Kerangka Acuan
dari program yang akan diselenggarakan. Semua kegiatan ini dilandaskan kepada
materi pembelajaran sesuai dengan upaya peningkatan kompetensi khusus.
Efektivitas
dan efisiensi proses belajar hendaklah dijadikan pedoman di dalam upaya meningkatkan
kapasitas dan kualitas Pendamping Lokal Desa. Oleh karena itu, semua pihak
terkait, yakni SKPD, Pemerintah Kabupaten/Kota, pakar perguruan tinggi, LSM dan
sukarelawan terkait serta lembaga penyandang dana (donor), perlu sepakat
damendukung gagasan pengembangan kapasitas yang lebih bersifat bottom-up
program planning.
F.
Pemberdayaan Pendamping Lokal Desa
Pemberdayaan
pendamping sebagai bagian dari investasi SDM (Empowerment of Human Resources),
merupakan aspek manajemen yang sangat strategis, karena pendamping diharapkan
dapat menjadi penggerak dan daya terhadap sumber-sumber lainnya pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat di Desa. Apabila Pendamping Lokal Desa tidak dapat menunjukkan daya dan memberikan
daya terhadap sumber lainnya, maka dapat dipastikan pembangunan dan
pemberdayaan tidak berjalan secara efektif dan efisien.
Dalam
pemberdayaan pendamping ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu ―pemberdayaan‖
dan ―pendamping‖.
Dua kata ini memiliki makna yang sangat strategis terkait upaya memperkuat
posisi dan peran dalam masyarakat. Pemberdayaan mengandung makna bahwa terjadi
perubahan dinamis dan berkelanjutan dari ketidakmampuan menuju kesuksesan atau
kemandirian. Sedangkan, kata pendamping bermakna subjek dan objek yang memiliki
peran, kemampuan (competency) dan mandat dalam mendukung pembangunan dan
pemberdayaan Desa.
Upaya
peningkatan merupakan serangkaiantindakan sistematis dalam membangun
kepribadian pendamping yang mampu bertindak dan bekerja secara profesional,
adaptif, berjiwa sukarela, kreatif dan siap menghadapi berbagai tantangan dan
perubahan yang terjadi. Pendamping adalah mental dan cara pandang bukan
identitas yang melekat dalam diri seseorang yang bersifat kontraktual, tetapi
sebagai panggilan jiwa untuk bekerja bersama masyarakat dalam mencapai visi dan
tujuan bersama. Cara pemberdayaan pendamping, yaitu:
1. Memberi Peran
Setiap unit
lembaga pasti ada yang ditunjuk untuk sebagai peran dalam melaksanakan
pekerjaan yang sesuai dengan tingkat yang ada dalam lembaga tersebut. Seseorang
yang diberi peran dalam pekerjaan akan merasa ada perhatian khusus dari lembaga
yang dapat mempengaruhi psikologi pelakunya dan secara langsung dia mempunyai
tuntutan agar orang lain berperilaku kepadanya yang sesuai dengan kondidi
perannya. Misal seorang guru akan bererilaku sebagai guru yang baik dalam
setiap waktu. Kondisi yang seperti itu dapat mempengaruhi dari dorongan
pemberian peran. Dan jangan sampai peran yang diberikan bertentangan dengan
kompetensi yang dimiliki dan kemauan jiwa yang dimiliki. Begitu pula peran yang
diberikan tidak over load . Agar semua bisa teratasi dengan baik diperlukan :
a. Rancangan beban
tugas harus jelas dan pas.
b. Mempunyai
tujuan peran yang jelas seperti program promosi
c. Jabatan dan
lain-lainnya.
d.Menerapkan
manajemen kinerja yang efektif.
e.Merancang sesuai
dengan kebutuhan tugas pendamping.
f.Menjelaskan
keseluruhan kepada pemangku kepentingan.
g.Membuat struktur
organisasi kerja yang jelas.
1. Membentuk Kelompok Kerja
Memberdayakan
pendamping dapat dilakukan dengan membentuk tim atau kelompok kerja baik
dilakukan secara fomal maupun non formal. Secara formal kelompok dibentuk atas
dasar tugas yang diberikan oleh organisasi atau lembaga penyelenggara atau
biasa disebut kelompok kerja. Sedangkan pembentukan kelompok non formal
dilakukan hanya kepada personal yang mempunyai kepentingan bersama. Ada
beberapa langkah dalam mebentuk kelompok:
a. Storming, yaitu menghimpun pendapat dari
beberapa anggota kelompok dan merumuskan bersama-sama.
b. Pembentukan diri, yaitu saling mengenali
satu sama lain dan mempelajari peran mereka dalam kelompok.
c. Norming, yaitu menentukan norma atau
aturan-aturan yang ditetapkan.
d. Performing, yaitu menampilkan kegiatan
yang sudah disepakati bersama-sama.
G.
Pola Pengembangan Kapasitas Pendamping
Penyelenggaraan program pelatihan dan
pengembangan bagi pendamping sifatnya sangat situasional. Artinya dirumuskan
sesuai perhitungan kepentingan organisasi dan kebutuhan, penerapan prinsip
belajar dapat berbeda dalam aksentuasi dan
intensitas, yang pada gilirannya tercermin pada penggunaan teknik dalam
proses pembelajaran.
Melaksanakan
program pelatihan dan pengembangan pada prinsipnya melaksanakan proses
pembelajaran, artinya ada pelatih yang mengajarkan suatu topic atau mata latih.
Oleh karena itu, tepat tidaknya suatu teknik fasilitasi tergantung pada
pertimbangan yang ingin ditonjolkan, seperti penghematan dalam pembiayaan,
materi dan fasilitas yang tersedia, kemampuan peserta, kemampuan pelatih dan
prinsip belajar yang digunakan.
Ada beberapa
metode yang dapat digunakan dalam pelaksanaan program pelatihan dan
pengembangan antara lain :
a.
On the job atau pelatihan dalam jabatan, merupakan teknik pelatihan di mana
para peserta dilatih langsung di tempat dia bekerja. Sasarannya adalah
meningkatkan kemampuan peserta latihan mengerjakan tugasnya yang sekarang. Yang
bertindak sebagai pelatih bisa seorang pelatih formal, atasan langsung, atau
rekan sekerja yang lebih senior dan berpengalaman. Pelatihan dalam jabatan ini
meliputi empat tahap yaitu :
·
peserta
pelatihan memperoleh informasi tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya
dan hasil yang diharapkan, kesemuanya dikaitkan dengan relevansi pelatihan
dengan peningkatan kemampuan peserta pelatihan yang bersangkutan.
·
pelatih
mendemonstrasikan cara yang baik melaksanakan pekerjaan tertentu untuk dicontoh
oleh pegawai yang sedang dilatih.
·
peserta pelatihan disuruh mempraktekkannya
sendiri apa yang telah didemonstrasikan pelatih.
·
pendamping
menunjukkan kemampuan bekerja menurut cara yang telah dipelajarinya secara
mandiri.
b.
Vestibule merupakan metode pelatihan untuk meningkatkan keterampilan terutama
yang bersifat teknikal, di tempat pekerjaan, akan tetapi tanpa menggangu
kegiatan organisasi sehari-hari. Hal ini berarti organisasi harus menyediakan
lokasi dan fasilitas khusus untuk berlatih, sehingga tidak mengganggu pekerjaan
yang sebenarnya. Vestibule merupakan bentuk pengembangan kapasitas yang
dilakukan dalam situasi tugas atau kerja. Misalnya di kantor, agar pelatihan
tidak mengganggu kegiatan administrasi sehari-hari, maka disediakan satu ruang
khusus yang digunakan berlatih, seperti menata ruang pelayanan atau pengaduan,
menerima pengaduan dari masyarakat langsung, kegiatan konsutasi, dan lain-lain.
c.
Apprenticeship (magang), biasa dipergunakan untuk pekerjaan yang membutuh- kan
keterampilan (skill) yang relatif tinggi. Program ini biasanya
mengkombinasi-kan on the job training dengan pengalaman sistem magang ini dapat
mengambil empat macam kegiatan yaitu:
·
seorang
pegawai belajar dari pegawai lain yang lebih berpengalaman.
·
coaching
dalam hal mana seorang pemimpin mengajarkan cara-cara kerja yang benar kepada
bawahannya di tempat pekerjaan dan cara-cara yang diajarkan atasan tersebut
ditini oleh pegawai yang sedang mengikuti latihan.
·
menjadikan
pegawai yang dilatih sebagai ‖asisten‖.
·
menugaskan
pegawai tertentu untuk duduk dalam berbagai panitia, sehingga yang bersangkutan
mendapat pengalaman lebih banyak.
e. Classroom methods. Dirancang dalam bentuk
pembelajaran di dalam kelas dengan menggunakan metode ceramah diskusi. Aktivitas
pembelajaran pada umumnya berjalan sepihak yang instruktur aktif memberikan
informasi atau pengetahuan kepada peserta. Banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan metode ini, diantaranya adalah faktor peserta, bahan belajar,
pelatih. Semakin banyak jumlah peserta dalam suatu ruang belajar biasanya
semakin kurang efektif (satu kelas lebih dari lima puluh orang). Demikian juga
dengan bahan belajar, bila pelatih tidak menyediakan bahan belajar (hand out)
menyebabkan peserta kesulitan mengikuti jalannya pembelajaran. Hal yang tidak
kalah pentingnya adalah instruktur, untuk model kuliah diperlukan pelatih yang
benar-benar mampu menguasai kelas dengan berbagai keahliannya.
Daftar Pustaka
D.
Susanto. Strategi Peningkatan Kapasitas Modal Sosial dan Kualitas Sumberdaya
Manusia Pendamping
Pengembangan Masyarakat. Jurnal
Komunikasi
Pembangunan
ISSN 1693-3699 Februari 2010, Vol. 08, No. 1.
http://bpsdm.kemenkumham.go.id/artikel-bpsdm/35-capacity-building-dan-strategi-
peningkatan-kualitas-sdm-organisasi
http://drpriyono.blogspot.co.id/2012/03/bab-iii-pengembangan-pemberdayaan-
sdm.html
No comments:
Post a Comment