19 June 2020

Ibuku Orang Gila#IOG#PART 2#MM

Aslkm.... Semangat pagi bpk ibu


Ibuku Orang Gila

#IOG
#PART 2
#MM

    Berahari-hari aku berjalan, tapi belum juga menemukan tempat yang pas untuk kami. Setiap ada pasar, langsung kami diusir. Walau aku jelaskan bahwa kami bukan pengemis mereka tak percaya. Dengan langkah gontai kami terus berjalan hingga sesekali mampir di sungai untuk sekedar mandi membersihkan diri.

   Aku jarang bicara sama ibuku. Bukan karena malas, tapi ibuku jarang merespon. Itulah kenapa aku hanya memberinya kode dengan menyodorkan makanan kala dia terlihat lapar. Aku melihat simpanan uangku yang makin menipis. Aku harus cepat-cepat mencari kerja. Hingga akhirnya aku menemukan bangunan kosong. Bangunan itu terlihat tak terurus, mungkin sudah lama tak ditempati. Aku putuskan untuk tinggal di sana sementara waktu.

"Buk ... Fembri mau keluar. Mau cari kerja . Nanti kalau pulang aku belikan makanan. Ibu di sini jangan ke mana-mana ya ? Dan ini roti buat ibu. Jangan ke mana-mana lho ya ??"

Aku menyodorkan sebungkus roti pada ibu. Ku ikat kakinya pada sebuah kerangka kayu bekas pintu. Ku keluarkan sebotol air mineral untuk ibu. Dan dengan memeluknya aku keluar. Ku pandang sekali lagi ibuku yang keadaannya sudah bersih. Maklum ada kali kecil di belakang rumah kosong ini. Sebelum sarapan tadi aku mandikan ibu. Dan tak lupa ku cuci sekalian baju ibu.

    Aku berjalan cepat, deretan toko mulai terlihat. Rupanya di depanku adalah komplek pertokoan di sebuah kota kecil. Dengan bersemangat aku berjalan dari toko ke toko. Berusaha mencari info kalau-kalau ada yang butuh tenagaku.

"Nak ... nak ... !!"

Aku menoleh, ada seorang wanita menghampiriku. Mungkin sekitar umur 25 tahunan.

"Butuh kerjaan ?" Tanyanya padaku.

Aku mengangguk gembira, semoga saja ada yang butuh bantuanku.

"Di sana, di pojokan lorong ada rumah makan. Sepertinya mereka sedang butuh orang. Cobalah ke sana, siapa tahu rejeki."

"Oh ya ... makasih ya Buk."

Aku melangkah dengan gembira. Bayangan nasi hangat dengan sambal terong menari-nari di benakku. Membuat air liurku seperti ingin menetes. Semoga aku bisa kerja agar bisa segera membeli makanan favoritku. Ku dekati sebuah warung soto sederhana. Sungguh ramai sekali. Dengan percaya diri aku mendekat. Untung tadi aku sudah mandi, batinku. Ku lihat pantulan tubuhku di kaca, aku cukup puas dengan penampilanku. Walau baju bekas, terlihat bagus ditubuhku.

"Mau beli apa Dek ?" Seseorang memanggilku.

Seorang lelaki paruh baya sedang menatapku. Peci putih juga jenggotnya membuatnya terlihat begitu berkarakter. Aku tergagap karena tak menyangka kehadiranku disadari olehnya, padahal warung itu sedang ramai.

"Tadi dapet info dari ibuk-ibuk di sana. Katanya di sini butuh orang. Dan saya sedang butuh pekerjaan. Bolehkah saya bekerja di sini ?"

Lelaki itu menatapku dari ujung kepala sampai kakiku. Matanya begitu teduh memandangku. Lalu diajaknya aku duduk di bawah pohon mangga.

"Adek siapa namanya dan rumahnya dimana?"

"Saya Novembri Pak. Saya tidak punya rumah." Kataku pelan sembari menundukkan wajah.

"Ohh ... asalnya dari mana Nak Fembri?"

"Saya ndak tahu namanya Pak. Tapi saya lahir dan besar di sebuah pasar. Dan pasarnya bernama Pasar Baru."

Bapak itu manggut-manggut sembari menatapku.

"Waaah ... jauh banget bisa sampai sini ya. Jalan kakikah ?? Sendiri ??"

"Iya Pak. Sama Ibuk saya jalannya."

"Lho ibumu sekarang di mana ? "

"Ehhmmm ... saya ikat di rumah kosong pinggir kali Pak."

Ekspresi bapak itu terkejut mendengar kata-kataku.

"Lho ibunya ko diikat ? Kenapa memangnya ?"

"Iya ... ibu saya orang gila Pak ."

"Subhanallah ... jadi kalian hidup berdua saja ? Ayah di mana ? Keluarga ?"

"Ayah dan keluarga saya tak tahu Pak."

"Ya Allah ... kamu dan ibumu sudah makan belum ?" Tanyanya.

"Sudah sarapan roti Pak ."

"Tunggu sebentar ...."

Bapak itu menuju warungnya dan bicara sesuatu pada wanita berjilbab besar sembari menunjukku. Entah apa yang dia bicarakan. Aku hanya duduk sembari mengayun-ayunkan kakiku.

"Ayo Nak. Kita antar nasi ini pada ibumu dulu. Lepas itu mari bekerja bantu-bantu di warung." 

Aku tersenyum sumringah. Aku turun dari kursi dan berjalan lebih dulu. Hingga terdengar klakson di sampingku, Bapak itu sudah berada di atas motor tua nya.

"Naik motor saja biar cepat ."

Aku mendekat ragu. Ini pertama kalinya aku menaiki motor. Biasanya aku hanya menyentuh dan melihat sembari bermimpi menaikinya suatu saat. Akhirnya dengan susah payah aku naiki motor itu. Lalu ketika mulai berjalan, aku yang tidak berpegangan hampir saja terjengkang. Tapi cepat-cepat aku pegang besi di belakang pantatku. Kami mulai melaju dan tak berapa lama kamipun sampai.

"Di sini ibumu ?"

Aku mengangguk lalu melorot turun dan berlari menuju ibu. Ibuku sedang bermain batu sembari tertawa terkikik. Melihatku datang dia tertawa terbahak-bahak. Bapak itu sudah ada sampingku. Dipandangnya ibuku dengan mata iba. Sedang ibuku berteriak-teriak karena melihat orang asing mendekatinya. Tapi dia langsung terdiam kala melihat bapak itu menyodorkan makanan padanya. Diambilnya bungkusan itu dengan kasar lalu dengan cepat membukanya. Aku mendekati ibu lalu mencuci tangannya yang kotor dengan air di botol kecil. Ibuku hanya tersenyum lalu dengan lahap memakannya.

"Hmmm ... kamu sungguh anak yang baik. Baiklah ... mari kembali ke warung. Cucian piring sudah banyak dan kebetulan pegawaiku sedang pulang kampung . Mari Nak ."

Aku melambaikan tangan pada ibu dan bergegas mengikuti bapak itu.

"Cepet banget Yah ?" Tanya wanita itu pada si bapak.

"Iya Bu ... ijinkan Novembri bantu kita hari ini ya ?"

"Ayah yakin ?" Tanyanya tak percaya.

"Inn syaa Allah anaknya jujur. " katanya pada istrinya. 

Ku lihat wanita itu mengangguk setuju.

"Ayo nak . Kerjamu di sini."

Aku di ajak ke belakang warung. Di sana mangkok-mangkok kotor bertumpukan. Sendok-sendok pun banyak. Tanpa banyak bicara aku langsung duduk di kursi kecil dan mulai mengelap mangkok dengan sabun. Kulihat bapak itu tersenyum.

"Yang bersih ya Nak. Jangan sampai ada sisa sabun yang tertinggal. Dan pastikan mangkok bersih dari bau sabun. "

Aku mengangguk mengerti. Cuci piring bukanlah hal asing bagiku. Dulu di Pasar Baru aku sering melakukannya. Dengan sedikit bersenandung aku mencucinya. Dan aku tersenyum puas kala semua mangkok itu sudah bersih. 

"Lhoh ... cepetnya . "

Istri bapak itu sudah berdiri di belakangku. Dia membawa setumpuk mangkok kotor. Ditaruhnya mangkok itu di depanku lalu mengambil mangkok bersih. Diceknya kualitas hasil mencuciku lalu kulihat dia tersenyum puas. Aku senang sekali. Dan akhirnya terdengar suara adzan di musholla ujung jalan. Dengan cepat aku menyelesaikan cucianku dan bergegas bersiap ke musholla. Aku bahagia kala waktu sholat tiba. Bagaikan jiwaku ditarik-tarik untuk segera ke musholla. Karena  melihat warung masih ramai, ku urungkan niatku untuk pamit ke musholla. Dengan bergegas aku menuju musholla.

      
     Ku lepas sendalku lalu menuju tempat berwudlu. Selepas wudlu aku duduk tepat di belakang imam. Tempat favoritku setiap jamaah. Aku duduk bersila sembari mengedarkan pandangan. Lalu mataku terpaku pada sosok muadzin yang kini sedang sholat entah apa. Ternyata bapak jenggot itulah yang adzan. Pantas aku tak melihatnya di warung. Ternyata dia sudah ada di sini. Setelah salam cepat-cepat dia menoleh padaku. Aku tersenyum melihatnya.

"Maa syaa Allah. Kamu sudah di sini rupanya ? Kamu sering ya ke musholla ??" Tanyanya.

"Iya Pak. Kalau ada musholla yang dekat, saya pasti ikut sholat bersama."

"Ya Allah ... siapa yang mengajarimu?"

"Gak ada Pak. Cuma sering ikut dan ngintip diam-diam saja akhirnya bisa. " jelasku sembari tersipu malu.

Bapak itu melihatku lekat lalu bangkit menuju sebuah almari kaca di sudut ruangan. Disodorkannya sarung padaku dan dengan bahagia aku menerimanya.

"Nanti baliknya bareng saja ya. "

Aku mengangguk dengan tangan sibuk melilitkan sarung.

"Pak Ikhsan ... sudah sembuh to ?" Tanya salah satu jamaah yang baru saja datang.

"Alhamdulilah ... sudah. "

Ohh ... namanya Pak Ikhsan, batinku.

Akhirnya selesai sholat aku menunggu Pak Ikhsan di serambi musholla. Akhirnya dia keluar lalu menyetel motornya dan mendekatiku. Hari ini aku bahagia bertemu dengan Pak Ikhsan.

"Yah ... tukang cuci piring kita itu kabur . Sudah aku cari tapi tak ada. Padahal kerjanya cepet, bersih pula. Sayang banget palah pergi. Mana belum dikasih upahnya juga."

"Iya ayah tahu ... tuh anaknya di belakang, cuci piring."

"Lho tadi ibu cari gak ada. Sudah aku buatkan minum padahal. Kok sekarang sudah ada di belakang?"

"Iya ... tadi denger ayah adzan anaknya langsung ke musholla. Anaknya baik inn syaa Allah."

Kudengarkan percakapan mereka dengan tersenyum. Aku senang sekali ada orang asing yang percaya padaku. 

"Ini minumnya ya Nak ?"

"Makasih ...."

Aku tersenyum kala istri Pak Ikhsan memberiku segelas jus mangga. Hmmmm ... terasa menyegarkan di mataku !

 ~~~~

    Akhirnya tugasku sudah selesai, sehari ini aku tidak hanya mencuci mangkok. Tapi juga menyuguhkan minuman, mengambili mangkok juga gelas yang kotor. Aku bahagia manakala melihat pasangan suami istri itu puas.

"Nak Nov ... kemarilah."

Aku yang duduk di belakang segera menuju depan. 

"Duduklah ... "

Aku menurut dan duduk .

"Ini upahmu hari ini. Dan ini soto untukmu dan ibumu. Besok datanglah lagi. Kalau bisa lebih awal dari pagi tadi ya ?"

Dengan bahagia aku menerima amplop dan kresek berisi soto panas. Nasinya pun dipisah dan terlihat juga tempe di sana.

"Makasih ... saya pamit dulu."

Dengan mencium tangan mereka akhirnya aku selesaikan kerjaku hari ini. Aku berjalan keluar dengan langkah ringan. Ku intip isi amplop itu dan terlihat selembar uang lima puluh ribu. Aku berjalan dengan berjingkrak bahagia. Bayangan ibuku yang lahap menyantap soto hangat juga uangku yang akhirnya tak berkurang untuk makan membuatku bersemangat pulang.

    Aku berlari ke rumah kosong itu. Dengan cahaya remang-remang dari pantulan lampu jalan tak ku temukan ibu di sana. Dengan gugup aku menemukan tali pengikat kaki ibuku sudah terlepas. Dan ibuku kini entah di mana. Dengan suara serak aku memanggil ibu. Tapi sosoknya tak juga muncul. Ku tengok belakang rumah tapi juga tak ada. Dengan perasaan kalut aku berlari keluar mencari ibu. Hingga ku temui seorang anak muda yang menenteng plastik.

"Mas ... tahu ibuk-ibuk pakai jilbab merah yang keluar dari sini ? Dia ibu-ibu yang gila."

Hatiku terasa pahit saat menyebut ibuku gila. Tapi aku harus menemukannya.

"Oh ... sore tadi sih ada anak-anak yang teriakin orang gila di sana. Kayaknya pakai jilbab merah orangnya. "

"Terus sekarang orangnya di mana?" Tanyaku cemas.

"Tadi sih dilemparin batu sama anak-anak komplek sana. Coba deh dicari ke sana."

Tanpa berterimakasih aku langsung berlari ke arah yang dimaksud pria itu. Hatiku begitu khawatir terlebih mendengar ibuku dilempari batu ! Hatiku sakit tak berujung. Aku berlari sembari berteriak memanggil ibu. Tapi tak jua aku temukan. Dengan masih membawa kresek soto aku menyusuri jalanan komplek. Hingga ada seseorang wanita yang mendekatiku.

"Adek nyariin siapa ??"

"Nyari ibu saya ... ibu tahu wanita gila yang memakai jilbab merah lewat daerah sini ?"

"Ohh ... tadi ada razia gepeng di jalanan ini. Kayaknya tadi ikut dibawa petugas."

Aku terkejut mendengarnya. 

"Dibawa ke mana ibu saya ?" 

Aku mulai menangis ketakutan. Takut tak pernah bisa bertemu dengan ibu lagi.

"Dibawa ke dinas sosial sana. Sekitar tiga kilometer dari sini. "

Dengan berlinang air mata aku berlari kencang. Ku telusuri jalanan yang ditunjuk wanita itu. Saking cepatnya aku berlari hingga kuah soto itu pecah. Rasa panas tak lagi terasa di kakiku. Aku hanya berlari dan berlari. Berharap bisa menemukan ibu walau peluangnya kecil.

"Ibu ... ibu ..."

Panggilku sepanjang jalan dengan air mata membanjiri wajahku. Aku berlari hingga nafasku tersengal-sengal. Tiga kilometer bukanlah jarak yang jauh untukku. Harapanku sangat besar untuk menemukan ibuku. Aku menangis sejadi-jadinya, takut bahwa hari ini adalah hari terakhirku bertemu dengannya.

~~~bersambung~~~

3 comments: