PENDAMPINGAN
A.
Pengertian
Pendampingan
Menurut Edi
Suharto pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai tindakan sosial
dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat
perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi
kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Dalam
kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis, melainkan
tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak
luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif
maupun perspektif profesional. Para pekerja sosial ini berperan sebagai
pendamping sosial.
Masyarakat
pedesaan seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan
internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya.
Pendamping desa kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat
membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka. Pendampingan desa dengan
demikian dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara masyarakat pedesaan
kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara bersama-sama menghadapi beragam
tantangan seperti; (a) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi
pedesaan, (b) memobilisasi sumber daya pedesaan (c) memecahkan masalah sosial
pedesaan, (d) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan
masyarakat desa (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan
dengan konteks pemberdayaan desa.
Pendamping desa
sangat menentukan kerberhasilan program pemberdayaan desa. Edi Suharto juga
membagi peran pendamping menjadi tiga peran utama, yaitu: fasilitator,
pendidik, perwakilan masyarakat, dan peran-peran teknis bagi masyarakat desa
yang didampinginya.
1.
Fasilitator.
Merupakan peran yang berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan
dukungan bagi masyarakat desa. Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini
antara lain menjadi model, melakukan mediasi dan negosiasi, memberi dukungan,
membangun konsensus bersama, serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan
potensi di desa.
2.
Pendidik.
Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan
direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan
dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat desa yang didampinginya.
Membangkitkan kesadaran masyarakat desa, menyampaikan informasi, melakukan
konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat desa adalah beberapa
tugas yang berkaitan dengan peran pendidik.
3.
Perwakilan
masyarakat. Peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan interaksi antara
pendamping desa dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan
masyarakat desa. Pendamping dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan
pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat desa, dan
membangun jaringan kerja di desa.
4.
Peran-peran
teknis. Mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis. Pendamping
desa dituntut tidak hanya mampu menjadi ‘manajer perubahan” yang mengorganisasi
masyarakat desa, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai
dengan berbagai keterampilan dasar, seperti; melakukan analisis sosial,
mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi,
memberi konsultasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.
Salah satu
pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan
mengangkat harkat martabat masyarakat desa adalah pemberdayaan masyarakat desa.
Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif
terhadap desa. Masyarakat desa tidak dipandang sebagai orang yang serba
kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang
dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka. Melainkan sebagai
masyarakat yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk
perbaikan hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai matra
kekuasaan (power) dan kemampuan (kapabilitas) yang melingkup aras sosial,
ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan desa.
Secara konseptual,
pemberdayaan, berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan).
Karenanya, Edi Suharto menyatakan bahwa ide utama pemberdayaan bersentuhan
dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial.
Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman
kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian
memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses
pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah.
Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan
cara apapun; dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan
pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Bagi para
pendamping desa di lapangan, kegiatan pemberdayaan di atas dapat dilakukan
melalui pendampingan sosial. Terdapat lima kegiatan penting yang dapat
dilakukan dalam melakukan pendamping desa:
1.
Motivasi.
Masyarakat desa dapat memahami nilai kebersamaan, interaksi sosial dan
kekuasaan melalui pemahaman akan haknya sebagai warga negara dan anggota masyarakat.
Masyarakat desa perlu didorong untuk membentuk kelompok yang merupakan
mekanisme kelembagaan untuk mengorganisir dan melaksanakan kegiatan
pengembangan masyarakat di desa atau kelurahannya. Kelompok ini kemudian
dimotivasi untuk terlibat dalam kegiatan peningkatan pendapatan dengan
menggunakan sumber-sumber dan kemampuan-kemampuan masyarakat desa.
2.
Peningkatan
kesadaran dan pelatihan kemampuan. Peningkatan kesadaran masyarakt desa dapat
dicapai melalui pendidikan dasar, pemasyarakatan imunisasi dan sanitasi.
Sedangkan keterampilan-keterampilan vokasional bisa dikembangkan melalui
cara-cara partisipatif. Pengetahuan lokal yang biasanya diperoleh melalui
pengalaman dapat dikombinasikan dengan pengetahuan dari luar. Pelatihan semacam
ini dapat membantu masyarakat desa untuk menciptakan mata pencaharian sendiri
atau membantu meningkatkan keahlian mereka untuk mencari pekerjaan di luar
wilayahnya.
3.
Manajemen
desa. Masyarakat desa harus mampu memilih pemimpin mereka sendiri dan mengatur
kegiatan mereka sendiri, seperti melaksanakan pertemuan-pertemuan, melakukan
pencatatan dan pelaporan, mengoperasikan tabungan dan kredit, resolusi konflik
dan manajemen kepemilikan masyarakat desa. Pada tahap awal, pendamping desa
dapat membantu mereka dalam mengembangkan sebuah sistem. Masyarakat desa
kemudian dapat diberi wewenang penuh untuk melaksanakan dan mengatur sistem
tersebut.
4.
Mobilisasi
potensi desa. Merupakan sebuah metode untuk menghimpun potensi SDA masyarakat
SDM masyarakat individual melalui tabungan reguler dan sumbangan sukarela
dengan tujuan menciptakan modal sosial. Ide ini didasari pandangan bahwa setiap
desa memiliki potensinya sendiri yang, jika dihimpun, dapat meningkatkan
kehidupan sosial ekonomi secara substansial. Pengembangan sistem penghimpunan,
pengalokasian dan penggunaan potensi desa perlu dilakukan secara cermat
sehingga semua anggota masyarakat desa memiliki kesempatan yang sama. Hal ini
dapat menjamin kepemilikan masyarakat desa dan pengelolaannya secara
berkelanjutan.
5.
Pembangunan
dan pengembangan jaringan. Pengorganisasian kelompok-kelompok swadaya
masyarakat desa perlu disertai dengan peningkatan kemampuan para anggotanya
membangun dan mempertahankan jaringan dengan berbagai sistem sosial desa dan
sekitarnya. Jaringan ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangkan
berbagai akses terhadap potensi dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan
masyarakat desa. (Edi Suharto, 1997):[1]
B.
Tujuan Pendampingan
Bila
kembali pada inti pengertian pendampingan yaitu terjadinya proses perubahan kreatif
yang diprakarsai oleh masyarakat desa sendiri, jelas
menunjukan adanya proses inisiatif dan bentuk tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat desa sendiri, tanpa adanya intervensi dari luar.
Dengan
demikian tujuan utama dari pendampingan adalah adanya kemandirian kelompok
masyarakat desa. Kemandirian disini menyiratkan suatu kemampuan otonom warga
desa untuk mengambil keputusan bertindak berdasarkan keputusannya itu dan
memilih arah tindaknnya sendiri tanpa terhalang oleh pengaruh dari luar atau
yang diinginkan oleh pihak lain. Untuk mencapai kemandirian yang demikian
dibutuhkan suatu kombinasi dari kemampuan materi, intelektual, organisasi dan
manajemen. Dengan demikian sebenarnya 3 elemen pokok dalam kemandirian desa,
yaitu kemandirian material,kemandirian intelektual, dan kemandirian
pendampingan.
Kemandirian
material yaitu kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan dasar desa dan
mekanisme untuk tetap dapat tetap bertahan pada waktu krisis. Hal ini bisa
diperoleh melalui pertama proses mobilisasi sumberdaya desa dan atau keluarga
dengan mekanisme menabung dan penghapusan sumberdaya non produktif. Penegasan
tuntutan atas hak-hak ekonomi desa,seperti: surplus yang hilang
karena pertukaran yang tidak seimbang.
Kemandirian
intelektual yaitu pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh masyarakat
desa yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang muncul.
Dengan dasar tersebut masyarakat desa akan dapat menganalisis hubungan
sebab-akibat dari suatu masalah yang muncul.
Kemandirian
pendampingan yaitu kemampuan otonom masyarakat desa untuk mengembangkan diri mereka
sendiri dalam bentuk pengelolaan tindakan kolektif yang membawa pada perubahan
kehidupan mereka.
C.
Fokus
Pendampingan
Bila
tujuan pendampingan kelompok masyarakat adalah tewujudnya kemandirian dibidang
material, intelektual, organisasi dan manajemen, oleh karena
itu fokus pendampingan desa harus mengarah pada pencapaian tujuan tersebut,
yakni melalui:
·
Penyadaran
berfikir kritis dan analitis. Yaitu mengajak anggota kelompok di desa terbiasa
untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi masyarakat di
desa dengan meneliti hubungan sebab-akibat yang ditimbulkan dari masalah
tersebut.
·
Penggunaan
atas hak dan kewajiban individu dan kolektif. Yaitu mengajak anggota masyarakat
desa dan kelompok terbiasa bertindak atas dasar hak dan
kewajiban yang dimiliki (tidak mengatas namakan secara tidak tepat).[2]
D.
Misi Pendampingan
Paska pengesahan
tahun 2014 desa akan menjadi titik sentral pembangunan di Indonesia. UU
No 6 tahun 2014 atau yang lebih dikenal dengan undang-undang desa
maka kewenangan dan anggaran desa akan ditambah.Penambahan kewenangan dan
anggaran desa tersebut harus diikuti dengan peningkatan kapasitas pengelolaan
program dan anggaran. Tanpa hal tersebut maka inisiatif pemberian kewenangan
tersebut tidak akan memberi hasil yang baik.
Pada
sisi lain saat ini tengah berkembang paradigma baru pemberdayaan masyarakat,
yaitu lewat program peningkatan financial literacy. Financial
literacy adalah upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat yang akan
diberi bantuan tentang pengetahuan keuangan. Orang-orang yang tidak paham
mengenai keuangan (financial illiterate) maka ketika diberi bantuan maka akan
jadi dana yang cepat habis. Setelah mengetahui financial liter.
Peranpendamping
desa bisa mendorong perkembangan perekonomian desa lewat wirausaha, sesuai
dengan penjelasan pasa 15 dalam UU 20/2008 tentang UMKM adalah melakukan
konsultasi dan pendampingan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah agar mampu mengakses
kredit perbankan dan/atau pembiayaan dari lembaga keuangan selain bank.
Meskipun demikian, peran pendamping tidak hanya berhenti sebatas membantu
kelompok usaha di desa dalam mendapatkan pendanaan dari bank, tetapi lebih dari
pada itu, pendamping juga berperan dalam membantu kelompok usaha membenahi
aspek pemasaran, manajemen dan keuangan. Sehingga tujuan satu desa satu
kelompok usaha, satu kelompok usaha satu badan usaha desa bisa terwujud. Badan
Usaha Milik Desa (BumDes) sebaiknya dikelola dengan prinsip social
enterprises dan berbentuk koperasi.
Misi besar
pendampingan desa adalah memberdayakan desa menjadi maju, kuat, mandiri, dan
demokratis. Kegiatan pendampingan menurut Heri Susanto membentang dari
pengembangan kapasitas pemerintahan, mengorganisasi dan membangun kesadaran
kritis warga masyarakat, serta memperkuat organisasi-organisasi warga.Selain
itu juga memfasilitasi pembangunan partisipatif, memfasilitasi dan memperkuat
musyawarah desa sebagai arena demokrasi dan akuntabilitas lokal, merajut
jaringan dan kerja sama desa, hingga mengisi ruang-ruang kosong di antara
pemerintah dan masyarakat.Intinya pendampingan desa adalah menciptakan suatu
frekuensi dan kimiawi yang sama antara pendamping dengan yang didampingi. UU
No. 6/2014 tentang Desa mengembangkan paradigma dan konsep baru kebijakan tata
kelola desa secara nasional.
UU Desa tidak lagi
menempatkan desa sebagai latar belakang Indonesia, tapi halaman depan
Indonesia. UU Desa juga mengembangkan prinsip keberagaman, mengedepankan asas
rekognisi dan subsidiaritas desa. UU Desa ini mengangkat hak dan kedaualatan
desa yang selama ini terpinggirkan karena didudukkan pada posisi subnasional.
Desa pada hakikatnya adalah entitas bangsa yang membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Secara empiris, desa-desa di Indonesia memiliki
modal sosial yang tinggi. Masyarakat desa sudah lama mempunyai ikatan sosial
dan solidaritas sosial yang kuat sebagai penyangga penting kegiatan
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Swadaya dan gotong
royong adalah sebagai penyangga utama ”otonomi asli” desa. Ketika kapasitas
negara tidak sanggup menjangkau sampai level desa, swadaya dan gotong royong
merupakan alternatif permanen yang memungkinkan berbagai proyek pembangunan
prasarana desa tercukupi. Berdaulat secara politik mengandung pengertian desa
memiliki prakarsa dan emansipasi lokal untuk mengatur dan mengurus dirinya
meski pada saat yang sama negara tidak hadir. Kehadiran negara kadang
berlebihan sehingga berpotensi memaksakan kehendak prakarsa kebijakan pusat
yang justru melumpuhkan prakarsa lokal.
Kemandirian
politik dapat dimaknai dalam pengertian emansipasi lokal. Emansipasi lokal
dalam pembangunan dan pencapaian kesejehateraan membutuhkan pengakuan
(rekognisi) negara dan negara perlu memfasilitasi berbagai institusi lokal dan
organisasi warga untuk menggantikan imposisi sekaligus untuk menumbuhkan
emansipasi yang lebih meluas. Misi besar pendamping desa dan dana desa menurut
UU desa adalah memperkuat keutuhan NKRI. Karena itu keberadaan pendampingan dan
dana desa ini dapat menjadi “inti” sekaligus menjadi “pondasi” kemajuan dan
pemerataan pembangunan saat ini maupun di masa yang akan datang.
E.
Tanggungjawab dan Tugas Pendamping
Tugas
pokok Pendamping Desa yang utama adalah mengawal implementasi UU Desa dengan
memperkuat proses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa. Fungsi Pendamping
Desa yaitu:
·
Fasilitasi
penetapan dan pengelolaan kewenangan lokal berskala desa dan kewenangan desa
berdasarkan hak asal-usul.
·
Fasilitasi
penyusunan dan penetapan peraturan desa yang disusun secara partisipatif dan
demokratis.
·
Fasilitasi
pengembangan kapasitas para pemimpin desa untuk mewujudkan kepemimpinan desa
yang visioner, demokratis dan berpihak kepada kepentingan masyarakat desa.
·
Fasilitasi
demokratisasi desa.
·
Fasilitasi
kaderisasi desa.
·
Fasilitasi
pembentukan dan pengembangan lembaga kemasyarakatan desa.
·
Fasilitasi
pembentukan dan pengembangan pusat kemasyarakatan (community center) di desa
dan/atau antar desa.
·
Fasilitasi
ketahanan masyarakat desa melalui penguatan kewarganegaraan, serta pelatihan
dan advokasi hukum.
·
Fasilitasi
desa mandiri yang berdaya sebagai subyek pembangunan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan desa yang dilaksanakan secara
partisipatif, transparan dan akuntabel.
·
Fasilitasi
kegiatan membangun desa yang dilaksanakan oleh supradesa secara partisipatif,
transparan dan akuntabel.
·
Fasilitasi
pembentukan dan pemngembangan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).
·
Fasilitasi
kerjasama antar desa dan kerjasama desa dengan pihak ketiga.
·
Fasilitasi
pembentukan serta pengembangan jaringan sosial dan kemitraan.
Sudah sejak lama
desa memiliki tradisi berdemokrasi tempat keterbukaan, permusyawaratan, dan
partisipasi menjadi pilar pengambilan keputusan. Pemilihan kepala desa secara
langsung telah menjadi tradisi. Meski tidak menerima alokasi anggaran dari
pemerintah, desa sejak lama mampu menggaji kepala desa dan perangkat desa
dengan sistem yang dibangunnya sendiri, misalnya melalui sistem tanah bengkok
dan tanah lungguh. Budaya musyawarah desa mulai dari komunitas terkecil hingga
arena tertinggi yang melibatkan banyak elemen desa menjadi bagian dari model
kehidupan desa. Sesungguhnya dalam hal budaya demokrasi, desa mendahului sistem
demokrasi negara.
UU Desa menempatkan desa sebagai subjek
pembangunan. Pemerintah menfasilitasi tumbuh kembangnya kemandirian dan
kesejahteraan desa melalui skema kebijakan yang mengutamakan rekognisi dan
subsidiaritas. Desa tak perlu takut dengan konsekuensi pemberlakuan kedua asas
tersebut. Desa tidak lagi akan menjadi entitas yang merepotkan tugas pokok
pemerintah kabupaten, provinsi, atau pusat. Desa akan menjadi entitas negara
yang berpotensi mendekatkan peran negara dalam membangun kesejahteraan,
kemakmuran, dan kedaulatan bangsa.
Heri
Susanto dalam artikelnya disalah satu media lokal Jawa Tengah menawarkan
program desa wirausaha (desapreneur) sebagai
salah satu program yang dapat dikembangkan untuk mengatasi pengangguran,
pendapatan rendah, dan menambah keragaman jenis usaha di desa. Kewirausahaan
masyarakat desa ini bermakna untuk mengorganisasi struktur ekonomi perdesaan.
Seluruh aset desa seperti tanah, air, lingkungan, dan tenaga kerja dapat
menjadi modal pengembangan usaha baru yang digerakkan bersama-sama oleh seluruh
elemen desa. Masyarakat kita masih banyak yang memilih jadi pekerja ketimbang
membuka usaha sendiri, padahal jauh-jauh hari pemerintah sudah membuka peluang
untuk membangun kemandirian masyarakat desa sehingga diharapkan terbentuk desapreneur. ADD
sebagian didistribusikan per desa dalam bentuk program usaha ekonomi desa.
Kalau masyarakat desa mau berwirausaha, ini menjadi tanda mereka siap
berhadapan dengan situasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Badan
usaha milik desa (BUM desa) menjadi salah satu wadah untuk menyalurkan
inisiatif masyarakat desa, mengembangkan potensi desa, mengelola dan
memanfaatkan potensi sumber daya alam desa, mengoptimalkan sumber daya manusia
(warga desa) dalam pengelolaannya, dan penyertaan modal dari pemerintah desa dalam
bentuk pembiayaan dan kekayaan desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai
bagian dari BUM desa.
Menurut
Heri salah satu solusi penting yang mampu mendorong gerak ekonomi desa adalah
mengembangkan desapreneur atau
kewirausahaan bagi masyarakat desa. Pengembangan desa wirausaha menawarkan
solusi untuk mengurangi kemiskinan, migrasi penduduk, dan pengembangan lapangan
kerja di desa. Kewirausahan menjadi strategi dalam pengembangan dan pertumbuhan
kesejahteraan masyarakat. Sumber daya dan fasilitas disediakan secara spontan
oleh masyarakat desa menuju perubahan kondisi sosial ekonomi perdesaan. Apabila
desa wirausaha menjadi suatu gerakan masif akan menjadi hal yang sangat mungkin
untuk mendorong perkembangan ekonomi perdesaan menjadi desa yang mandiri, menjadi
desapreneur.( Heri Susanto, Solo Post).[3]
F.
Klasifikasi dan Jenis Pendamping
Secara umum tugas pendamping desa yaitu
mendampingi desa dalam penyelenggaraan pembangunan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa. Pendamping desa dibagi dalam tiga kategori yang terdiri atas
tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, dan
atau pihak ketiga.Tenaga pendamping profesional terdiri atas pendamping
desa (berkedudukan di kecamatan), pendamping teknis (berkedudukan di
kabupaten), dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat (berkedudukan di pusat dan
provinsi) dengan tugas masing-masing sebagai berikut:
1. Tenaga
Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa
Ø Fasilitasi Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota terkait sosialisasi UU Desa
Ø Fasilitasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
dalam menetapkan Peraturan Bupati/Walikota tentang daftar kewenangan
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
Ø Fasilitasi penegakan kewenangan desa
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan;
Ø Pengembangan kapasitas masyarakat
desa;
Ø Kaderisasi masyarakat desa dalam
rangka pelaksanaan UU Desa;
Ø Fasilitasi musyawarah desa;
Ø Fasilitasi Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam melakukan prereview dan review Peraturan Desa.
Ø Fasilitasi Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam rangka menyusun regulasi di daerah yang berkaitan dengan
pengaturan tentang desa;
Ø Fasilitasi pengembangan pusat
kemasyarakatan (community center) di desa dan/ atau antar desa;
Ø Fasilitasi pengembangan ketahanan
masyarakat desa;
Ø Fasiltasi kerja sama antar desa
dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa;
Ø Fasilitasi kerja sama desa dengan
pihak ketiga dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
desa;
Ø Fasilitasi pembentukan serta
pengembangan jaringan sosial dan kemitraan;
Ø Fasilitasi Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa melaksanakan pemberdayaan masyarakat desa.
2.
Tenaga
Ahli Pembangunan Partisipatif
·
Fasilitasi
penyusunan penyusunan perencanaan dan anggaran desa yang meliputi: RPJM Desa;
RKP Desa; RKP Desa; dan APB Desa;
·
Fasilitasi
musyawarah desa dalam rangka perencanaan pembangunan desa;
·
Fasilitasi
musyawarah perencanaan pembangunan desa;
·
Fasilitasi
pelaksanaan kegiatan pembangunan desa;
·
Fasilitasi
pengelolaan dana pembangunan desa;
·
Fasilitasi
pengadaan barang dan jasa oleh desa;
·
Fasilitasi
swadaya gotong royong masyarakat desa dalam rangka pembangunan desa;
·
Fasilitasi
integrasi Program/Proyek masuk desa dengan pembangun berskala lokal/desa;
·
Fasilitasi
integrasi pembangunan desa dengan pembangunan kawasan perdesaan;
·
Fasilitasi
audit berbasis komunitas;
·
Fasilitasi
pemantuan berbasis komunitas;
·
Fasilitasi
penanganan pengaduan danmasalah berbasis komunitas;
·
Fasilitasi
musyawarah desa dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan
desa;
·
Fasilitasi
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan desa.
3.
Tenaga
Ahli Infrastruktur Desa
·
Fasilitasi
pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana permukiman desa;
·
Fasilitasi
pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana lingkungan permukiman desa;
·
Fasilitasi
pembangunan danpengelolaan saranatransportasi desa;
·
Fasilitasi
pengembangan prasarana transportasi desa;
·
Sarana
danprasarana produksi pendukung ekonomi desa;
·
Fasilitasi
pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana pemasaran produk unggulan
desa;
·
Fasilitasi
pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana elektrifikasi desa berbasiskan
teknologi tepat guna yang ada di desa;
·
Fasilitasi
pengembangan kader teknik di desa;
·
Fasilitasi
sertifikasi infrastruktur desa hasil pelaksanaan kegiatan pembangunan desa;
·
Fasilitasi
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa dalam pengembangan,
pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana desa.
4.
Tenaga Ahli
Pemberdayaan Ekonomi Desa
·
Fasilitasi
pembentukan dan pengembangan lembaga BUMDes;
·
Fasilitasi
pengembangan usaha dan pemasaran hasil usaha BUMDes;
·
Fasilitasi
pembentukan, pengelolaan dan pengembangan pasar desa;
·
Fasilitasi promosi
pemasaran hasil usaha ekonomi desa;
·
Fasilitasi
pengembangan jaringan pemasaran hasil usaha ekonomi desa;
·
Fasilitasi
pengembangan kredit modal usaha ekonomi desa;
·
Fasilitasi
pengembangan usaha kredit mikro;
·
Fasilitasi
penggalangan modal keswadayaan;
·
Fasilitasi promosi
pemanfaatan potensi desa;
·
Fasilitasi
pengembangan usaha kredit mikro;
·
Fasilitasi
pengembangan ekonomi kreatif;:
·
Fasilitasi
pengembangan industrialisasi desa;
·
Fasilitasi
pengembangan kewirausahaan desa;
·
Fasilitasi Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa mengembangkan ekonomi desa.
5.
Tenaga Ahli
Pengembangan Tegnologi Tepat Guna
·
Fasilitasi
pengembangan teknologi tepat guna;
·
Fasilitasi promosi
pendayagunaan teknologi tepat guna;
·
Fasilitasi
kemandirian pangan dan energi berbasis teknologi tepat guna;
·
Fasilitasi
pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) untuk pendayagunaan sumberdaya hutan,
perkebunan dan pertanian;
·
Fasilitasi
pemanfaatan TTG untuk pendayagunaan sumberda ya pertambangan; tanah; dan air;
·
Fasilitasi
pemanfaatan TTGuntukpelestarian lingkungan hidup;
·
Fasilitasi Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa dalam mendayagunakan
teknologi tepat guna;
·
Fasilitasi
pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) untuk pendayagunaan sumber daya hutan,
perkebunan dan pertanian;
·
Fasilitasi
pemanfaatan TTG untuk pendayagunaan sumber daya pertambangan, tanah dan air;
·
Fasilitasi
pemanfaatan TTG untuk pelestarian lingkungan hidup;
·
Fasilitasi Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa dalam mendayagunakan
teknologi tepat guna.
6.
Tenaga Ahli
Pengembangan Pelayanan Dasar
·
Fasilitasi
pelayanan kesehatan bagi masyarakat desa secara terpadu;
·
Fasilitasi
pelayanan pendidikan desa bagimasyarakat desa secara terpadu;
·
Fasilitasi
pemberdayaan perempuan dan anak;
·
Fasilitasi
pemberdayaan kaum difabel/berkebutuhan khusus;
·
Fasilitasi
pemberdayaan kelompok masyarakat marginal;
·
Fasilitasi
pemberdayaan keluarga miskin;
·
Fasilitasi
pengembangan kesejahteraan keluarga;
·
Fasilitasi
pelestarian dan pengembangan adat dan kearifan lokal;
·
Fasilitasi
pelestarian dan pengembangan seni dan budaya desa;
·
Fasilitasi
pengembangan kerukunan dan ketentraman antar warga desa dan/atau antar desa;
·
Fasilitasi
pencegahan dan penanganan konflik sosial antar warga desa dan/atau antar desa.
·
Fasilitasi
pengembangan media informasi desa untuk masyarakat desa;
·
Fasilitasi
pengelolaan akses informasi antar warga desa dan/atau antar desa.
7.
Pendamping desa.
Mendampingi Gampong/Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong/Desa, kerja
sama Gampong/Desa, pengembangan BUMG, dan Pembangunan yang berskala lokal
Gampong/Desa.
8. Pendamping
Lokal desa. Mendampingi Gampong/Desa dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Gampong/Desa, kerja sama Gampong/Desa,
pengembangan BUMG, dan Pembangunan yang berskala lokal Gampong/Desa.[4]
G.
Posisi Pendamping Lokal Desa
Salah satu agenda besar pendamping
lokal desa adalah mengawal implementasi UU No. 6/2014 Desa secara sistematis, konsisten,
dan berkelanjutan dengan fasilitasi, supervisi, dan pendampingan. Pendamping
lokal desa itu bukan sekadar menjalankan amanat UU Desa, tetapi juga modal
penting untuk mengawal perubahan desa demi mewujudkan desa yang mandiri dan
inovatif.
Untuk itu posisi Pendamping Lokal
Desa (PLD) pada Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kementerian Desa) adalah
sangat penting dan menjadi ujung tombak keberhasilan program pemberdayaan masyarakat
desa. Para PLD yang professional ini diharapkan bisa memberikan solusi untuk
mempercepat penyerapan Dana Desa (DD). Selain itu PLD juga di tuntut untuk bisa
mengimplementasikan UU Desa. Khususnya, memantau realisasi anggaran dan
kegiatan yang dibiayai dari sumber dana desa (dari APBN) dan alokasi dana desa
(dari APBD).
Seorang PLD mendampingi 4 desa
didukung oleh dua orang tenaga Pendamping Desa (PD) di Kecamatan. PLD bertugas
untuk memfasilitasi regulasi UU Desa ke dalam implementasi atau praktik
berdesa. PLD diharapakn dapat mengembangkan skema pendampingan yang
memberdayakan masyarakat desa hingga dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat
desa, sebagai roh gerakan pembangunan desa yang berkelanjutan demi terwujudnya
cita-cita kemandirian Negara kita.
Sejatinya kemandirian negara
terletak pada kemandirian desa-desa sebagai entitas penyusun dan penyangga nama
besar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 2015 adalah tahun pertama
pelaksanaan UU No. 6/2014. Desa diberlakukan berbeda dengan sebelumnya.
Kedudukan desa tidak lagi subnasional, melainkan berkedudukan di wilayah
kabupaten/kota. Desa tidak lagi berada di bawah struktur administratif
terbawah, apalagi perpanjangan tangan pemerintah daerah.
Desa mendapat rekognisi dan
subsidiaritas kewenangan, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala desa. Desa menerima transfer keuangan dari APBN dan
APBD yang disebut dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) untuk memenuhi
kebutuhan belanja dalam konteks dua kewenangan tadi. Keberadaan UU No. 6/2014
tujuan pertamanya adalah bagian dari ikhtiar mencapai keberdayaan negara dari
kemandirian desa-desanya. Proses pembentukan bangunan warga dan organisasi
masyarakat sipil biasanya dipengaruhi faktor eksternal yang mengancam hak
publik. Keduanya adalah modal penting bagi desa untuk membangun kedaulatan dan
titik awal terciptanya komunitas warga desa yang nantinya akan menjadi kekuatan
penyeimbang atas munculnya kebijakan publik yang tidak responsif terhadap
masyarakat.
Efektivitas pembangunan pada
hakikatnya merupakan tindakan membandingkan antara perencanaan dengan hasil.
Antara kedua hal tersebut sering terjadi penyimpangan. Tugas PLD adalah
mengoreksi penyimpangan tersebut.Pembangunan desa adalah strategi pembangunan
bagi peningkatan kehidupan ekonomi dan sosial dari kelompok khusus masyarakat,
dalam hal ini masyarakat kurang mampu di pedesaan. Pembangunan desa bertujuan
mengurangi kemiskinan serta tersedianya sarana dan prasarana umum untuk
menunjang segala kebutuhan masyarakat yang ternyata masih kurang untuk membantu
masyarakat desa dalam beraktivitas sehari-hari.
ADD adalah dana yang dialokasikan
pemerintah kabupaten/kota untuk desa yang bersumber dari bagian dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah desa dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang ditetapkan dengan peraturan desa. ADD
merupakan dukungan dana dari pemerintah pusat dan daerah kepada pemerintah desa
dalam meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat dan pemberdayaan
masyarakat desa.
Pengalokasian dana desa butuh
fungsi PLD sebagai pengawas agar dana tersebut benar-benar tersalurkan untuk
kepentingan pembangunan desa. Pengawasan oleh PLD terhadap anggaran desa
dilakukan dengan melihat rencana awal program dan realisasinya. Kesesuaian
antara rencana program, realisasi program, pelaksanaan, serta nilai dana yang
digunakan dalam pembiayaan adalah ukuran yang dijadikan patokan PLD dalam
pengawasan.[]
[1]Edi Suharto, PhD Dosen STKS, UNPAS dan UNLA Bandung. International
Policy Analyst, Centre for Policy Studies (CPS), Central European
University, Hungary Makalah Pemberdayaan Masyarakat.
[3] Heri
Susanto
http://www.solopos.com/2016/04/14/gagasan-pendampingan-desa-menuju-desapreneur-709932/3
[4]https://pendaftaran-cpns.blogspot.co.id/2015/08/tugas-pokok-pendamping-desa.html
No comments:
Post a Comment