09 November 2017

PENDAMPINGAN



PENDAMPINGAN

A.     Pengertian Pendampingan

Menurut Edi Suharto pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Dalam kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Para pekerja sosial ini berperan sebagai pendamping sosial.

Masyarakat pedesaan seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya. Pendamping desa kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka. Pendampingan desa dengan demikian dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara masyarakat pedesaan kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti; (a) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi pedesaan, (b) memobilisasi sumber daya pedesaan (c) memecahkan masalah sosial pedesaan, (d) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat desa (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan desa.

Pendamping desa sangat menentukan kerberhasilan program pemberdayaan desa. Edi Suharto juga membagi peran pendamping menjadi tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat, dan peran-peran teknis bagi masyarakat desa yang didampinginya.

1.       Fasilitator. Merupakan peran yang berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat desa. Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini antara lain menjadi model, melakukan mediasi dan negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama, serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan potensi di desa.
2.       Pendidik. Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat desa yang didampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat desa, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat desa adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan peran pendidik.
3.       Perwakilan masyarakat. Peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan interaksi antara pendamping desa dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat desa. Pendamping dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat desa, dan membangun jaringan kerja di desa.
4.       Peran-peran teknis. Mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis. Pendamping desa dituntut tidak hanya mampu menjadi ‘manajer perubahan” yang mengorganisasi masyarakat desa, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar, seperti; melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, memberi konsultasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.

Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat masyarakat desa adalah pemberdayaan masyarakat desa. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap desa. Masyarakat desa tidak dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka. Melainkan sebagai masyarakat yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai matra kekuasaan (power) dan kemampuan (kapabilitas) yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan desa.

Secara konseptual, pemberdayaan, berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, Edi Suharto menyatakan bahwa ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis. 

Bagi para pendamping desa di lapangan, kegiatan pemberdayaan di atas dapat dilakukan melalui pendampingan sosial. Terdapat lima kegiatan penting yang dapat dilakukan dalam melakukan pendamping desa:

1.       Motivasi. Masyarakat desa dapat memahami nilai kebersamaan, interaksi sosial dan kekuasaan melalui pemahaman akan haknya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Masyarakat desa perlu didorong untuk membentuk kelompok yang merupakan mekanisme kelembagaan untuk mengorganisir dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat di desa atau kelurahannya. Kelompok ini kemudian dimotivasi untuk terlibat dalam kegiatan peningkatan pendapatan dengan menggunakan sumber-sumber dan kemampuan-kemampuan masyarakat desa. 
2.       Peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan. Peningkatan kesadaran masyarakt desa dapat dicapai melalui pendidikan dasar, pemasyarakatan imunisasi dan sanitasi. Sedangkan keterampilan-keterampilan vokasional bisa dikembangkan melalui cara-cara partisipatif. Pengetahuan lokal yang biasanya diperoleh melalui pengalaman dapat dikombinasikan dengan pengetahuan dari luar. Pelatihan semacam ini dapat membantu masyarakat desa untuk menciptakan mata pencaharian sendiri atau membantu meningkatkan keahlian mereka untuk mencari pekerjaan di luar wilayahnya.
3.       Manajemen desa. Masyarakat desa harus mampu memilih pemimpin mereka sendiri dan mengatur kegiatan mereka sendiri, seperti melaksanakan pertemuan-pertemuan, melakukan pencatatan dan pelaporan, mengoperasikan tabungan dan kredit, resolusi konflik dan manajemen kepemilikan masyarakat desa. Pada tahap awal, pendamping desa dapat membantu mereka dalam mengembangkan sebuah sistem. Masyarakat desa kemudian dapat diberi wewenang penuh untuk melaksanakan dan mengatur sistem tersebut.
4.       Mobilisasi potensi desa. Merupakan sebuah metode untuk menghimpun potensi SDA masyarakat SDM masyarakat individual melalui tabungan reguler dan sumbangan sukarela dengan tujuan menciptakan modal sosial. Ide ini didasari pandangan bahwa setiap desa memiliki potensinya sendiri yang, jika dihimpun, dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi secara substansial. Pengembangan sistem penghimpunan, pengalokasian dan penggunaan potensi desa perlu dilakukan secara cermat sehingga semua anggota masyarakat desa memiliki kesempatan yang sama. Hal ini dapat menjamin kepemilikan masyarakat desa dan pengelolaannya secara berkelanjutan.
5.       Pembangunan dan pengembangan jaringan. Pengorganisasian kelompok-kelompok swadaya masyarakat desa perlu disertai dengan peningkatan kemampuan para anggotanya membangun dan mempertahankan jaringan dengan berbagai sistem sosial desa dan sekitarnya. Jaringan ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangkan berbagai akses terhadap potensi dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat desa. (Edi Suharto, 1997):[1]


B.     Tujuan Pendampingan

Bila kembali pada inti pengertian pendampingan yaitu terjadinya proses perubahan kreatif yang diprakarsai oleh masyarakat desa sendiri, jelas menunjukan adanya proses inisiatif dan bentuk tindakan yang dilakukan oleh masyarakat desa sendiri, tanpa adanya intervensi dari luar.

Dengan demikian tujuan utama dari pendampingan adalah adanya kemandirian kelompok masyarakat desa. Kemandirian disini menyiratkan suatu kemampuan otonom warga desa untuk mengambil keputusan bertindak berdasarkan keputusannya itu dan memilih arah tindaknnya sendiri tanpa terhalang oleh pengaruh dari luar atau yang diinginkan oleh pihak lain. Untuk mencapai kemandirian yang demikian dibutuhkan suatu kombinasi dari kemampuan materi, intelektual, organisasi dan manajemen. Dengan demikian sebenarnya 3 elemen pokok dalam kemandirian desa, yaitu kemandirian material,kemandirian intelektual, dan kemandirian pendampingan.

Kemandirian material yaitu kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan dasar desa dan mekanisme untuk tetap dapat tetap bertahan pada waktu krisis. Hal ini bisa diperoleh melalui pertama proses mobilisasi sumberdaya desa dan atau keluarga dengan mekanisme menabung dan penghapusan sumberdaya non produktif. Penegasan tuntutan atas hak-hak ekonomi desa,seperti: surplus yang hilang karena pertukaran yang tidak seimbang.

Kemandirian intelektual yaitu pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh masyarakat desa yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang muncul. Dengan dasar tersebut masyarakat desa akan dapat menganalisis hubungan sebab-akibat dari suatu masalah yang muncul.

Kemandirian pendampingan yaitu kemampuan otonom masyarakat desa untuk mengembangkan diri mereka sendiri dalam bentuk pengelolaan tindakan kolektif yang membawa pada perubahan kehidupan mereka.

C.      Fokus Pendampingan

Bila tujuan pendampingan kelompok masyarakat adalah tewujudnya kemandirian dibidang material, intelektual, organisasi dan manajemen, oleh karena itu fokus pendampingan desa harus mengarah pada pencapaian tujuan tersebut, yakni melalui:

·         Penyadaran berfikir kritis dan analitis. Yaitu mengajak anggota kelompok di desa terbiasa untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat di desa dengan meneliti hubungan sebab-akibat yang ditimbulkan dari masalah tersebut.
·         Penggunaan atas hak dan kewajiban individu dan kolektif. Yaitu mengajak anggota masyarakat desa dan kelompok terbiasa bertindak atas dasar hak dan kewajiban yang dimiliki (tidak mengatas namakan secara tidak tepat).[2]

D.     Misi Pendampingan

Paska pengesahan tahun 2014 desa akan menjadi titik sentral pembangunan di Indonesia. UU No  6  tahun 2014 atau yang lebih dikenal dengan undang-undang desa maka kewenangan dan anggaran desa akan ditambah.Penambahan kewenangan dan anggaran desa tersebut harus diikuti dengan peningkatan kapasitas pengelolaan program dan anggaran. Tanpa hal tersebut maka inisiatif pemberian kewenangan tersebut tidak akan memberi hasil yang baik.

Pada sisi lain saat ini tengah berkembang paradigma baru pemberdayaan masyarakat, yaitu lewat program peningkatan financial literacy. Financial literacy adalah upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat yang akan diberi bantuan tentang pengetahuan keuangan. Orang-orang yang tidak paham mengenai keuangan (financial illiterate) maka ketika diberi bantuan maka akan jadi dana yang cepat habis. Setelah mengetahui financial liter.

Peranpendamping desa bisa mendorong perkembangan perekonomian desa lewat wirausaha, sesuai dengan penjelasan pasa 15 dalam UU 20/2008 tentang UMKM adalah melakukan konsultasi dan pendampingan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah agar mampu mengakses kredit perbankan dan/atau pembiayaan dari lembaga keuangan selain bank. Meskipun demikian, peran pendamping tidak hanya berhenti sebatas membantu kelompok usaha di desa dalam mendapatkan pendanaan dari bank, tetapi lebih dari pada itu, pendamping juga berperan dalam membantu kelompok usaha membenahi aspek pemasaran, manajemen dan keuangan. Sehingga tujuan satu desa satu kelompok usaha, satu kelompok usaha satu badan usaha desa bisa terwujud. Badan Usaha Milik Desa (BumDes) sebaiknya dikelola dengan prinsip social enterprises dan berbentuk koperasi.

Misi besar pendampingan desa adalah memberdayakan desa menjadi maju, kuat, mandiri, dan demokratis. Kegiatan pendampingan menurut Heri Susanto membentang dari pengembangan kapasitas pemerintahan, mengorganisasi dan membangun kesadaran kritis warga masyarakat, serta memperkuat organisasi-organisasi warga.Selain itu juga memfasilitasi pembangunan partisipatif, memfasilitasi dan memperkuat musyawarah desa sebagai arena demokrasi dan akuntabilitas lokal, merajut jaringan dan kerja sama desa, hingga mengisi ruang-ruang kosong di antara pemerintah dan masyarakat.Intinya pendampingan desa adalah menciptakan suatu frekuensi dan kimiawi yang sama antara pendamping dengan yang didampingi. UU No. 6/2014 tentang Desa mengembangkan paradigma dan konsep baru kebijakan tata kelola desa secara nasional.

UU Desa tidak lagi menempatkan desa sebagai latar belakang Indonesia, tapi halaman depan Indonesia. UU Desa juga mengembangkan prinsip keberagaman, mengedepankan asas rekognisi dan subsidiaritas desa. UU Desa ini mengangkat hak dan kedaualatan desa yang selama ini terpinggirkan karena didudukkan pada posisi subnasional. Desa pada hakikatnya adalah entitas bangsa yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara empiris, desa-desa di Indonesia memiliki modal sosial yang tinggi. Masyarakat desa sudah lama mempunyai ikatan sosial dan solidaritas sosial yang kuat sebagai penyangga penting kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.

Swadaya dan gotong royong adalah sebagai penyangga utama ”otonomi asli” desa. Ketika kapasitas negara tidak sanggup menjangkau sampai level desa, swadaya dan gotong royong merupakan alternatif permanen yang memungkinkan berbagai proyek pembangunan prasarana desa tercukupi. Berdaulat secara politik mengandung pengertian desa memiliki prakarsa dan emansipasi lokal untuk mengatur dan mengurus dirinya meski pada saat yang sama negara tidak hadir. Kehadiran negara kadang berlebihan sehingga berpotensi memaksakan kehendak prakarsa kebijakan pusat yang justru melumpuhkan prakarsa lokal.

Kemandirian politik dapat dimaknai dalam pengertian emansipasi lokal. Emansipasi lokal dalam pembangunan dan pencapaian kesejehateraan membutuhkan pengakuan (rekognisi) negara dan negara perlu memfasilitasi berbagai institusi lokal dan organisasi warga untuk menggantikan imposisi sekaligus untuk menumbuhkan emansipasi yang lebih meluas. Misi besar pendamping desa dan dana desa menurut UU desa adalah memperkuat keutuhan NKRI. Karena itu keberadaan pendampingan dan dana desa ini dapat menjadi “inti” sekaligus menjadi “pondasi” kemajuan dan pemerataan pembangunan saat ini maupun di masa yang akan datang.

E.      Tanggungjawab dan Tugas Pendamping
Tugas pokok Pendamping Desa yang utama adalah mengawal implementasi UU Desa dengan memperkuat proses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa. Fungsi Pendamping Desa yaitu:

·         Fasilitasi penetapan dan pengelolaan kewenangan lokal berskala desa dan kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul.
·         Fasilitasi penyusunan dan penetapan peraturan desa yang disusun secara partisipatif dan demokratis.
·         Fasilitasi pengembangan kapasitas para pemimpin desa untuk mewujudkan kepemimpinan desa yang visioner, demokratis dan berpihak kepada kepentingan masyarakat desa.
·         Fasilitasi demokratisasi desa.
·         Fasilitasi kaderisasi desa.
·         Fasilitasi pembentukan dan pengembangan lembaga kemasyarakatan desa.
·         Fasilitasi pembentukan dan pengembangan pusat kemasyarakatan (community center) di desa dan/atau antar desa.
·         Fasilitasi ketahanan masyarakat desa melalui penguatan kewarganegaraan, serta pelatihan dan advokasi hukum.
·         Fasilitasi desa mandiri yang berdaya sebagai subyek pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan desa yang dilaksanakan secara partisipatif, transparan dan akuntabel.
·         Fasilitasi kegiatan membangun desa yang dilaksanakan oleh supradesa secara partisipatif, transparan dan akuntabel.
·         Fasilitasi pembentukan dan pemngembangan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).
·         Fasilitasi kerjasama antar desa dan kerjasama desa dengan pihak ketiga.
·         Fasilitasi pembentukan serta pengembangan jaringan sosial dan kemitraan.

Sudah sejak lama desa memiliki tradisi berdemokrasi tempat keterbukaan, permusyawaratan, dan partisipasi menjadi pilar pengambilan keputusan. Pemilihan kepala desa secara langsung telah menjadi tradisi. Meski tidak menerima alokasi anggaran dari pemerintah, desa sejak lama mampu menggaji kepala desa dan perangkat desa dengan sistem yang dibangunnya sendiri, misalnya melalui sistem tanah bengkok dan tanah lungguh. Budaya musyawarah desa mulai dari komunitas terkecil hingga arena tertinggi yang melibatkan banyak elemen desa menjadi bagian dari model kehidupan desa. Sesungguhnya dalam hal budaya demokrasi, desa mendahului sistem demokrasi negara.

UU Desa menempatkan desa sebagai subjek pembangunan. Pemerintah menfasilitasi tumbuh kembangnya kemandirian dan kesejahteraan desa melalui skema kebijakan yang mengutamakan rekognisi dan subsidiaritas. Desa tak perlu takut dengan konsekuensi pemberlakuan kedua asas tersebut. Desa tidak lagi akan menjadi entitas yang merepotkan tugas pokok pemerintah kabupaten, provinsi, atau pusat. Desa akan menjadi entitas negara yang berpotensi mendekatkan peran negara dalam membangun kesejahteraan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa.

Heri Susanto dalam artikelnya disalah satu media lokal Jawa Tengah menawarkan program desa wirausaha (desapreneur) sebagai salah satu program yang dapat dikembangkan untuk mengatasi pengangguran, pendapatan rendah, dan menambah keragaman jenis usaha di desa. Kewirausahaan masyarakat desa ini bermakna untuk mengorganisasi struktur ekonomi perdesaan. Seluruh aset desa seperti tanah, air, lingkungan, dan tenaga kerja dapat menjadi modal pengembangan usaha baru yang digerakkan bersama-sama oleh seluruh elemen desa. Masyarakat kita masih banyak yang memilih jadi pekerja ketimbang membuka usaha sendiri, padahal jauh-jauh hari pemerintah sudah membuka peluang untuk membangun kemandirian masyarakat desa sehingga diharapkan terbentuk desapreneur. ADD sebagian didistribusikan per desa dalam bentuk program usaha ekonomi desa. Kalau masyarakat desa mau berwirausaha, ini menjadi tanda mereka siap berhadapan dengan situasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Badan usaha milik desa (BUM desa) menjadi salah satu wadah untuk menyalurkan inisiatif masyarakat desa, mengembangkan potensi desa, mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam desa, mengoptimalkan sumber daya manusia (warga desa) dalam pengelolaannya, dan penyertaan modal dari pemerintah desa dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari BUM desa.

Menurut Heri salah satu solusi penting yang mampu mendorong gerak ekonomi desa adalah mengembangkan desapreneur atau kewirausahaan bagi masyarakat desa. Pengembangan desa wirausaha menawarkan solusi untuk mengurangi kemiskinan, migrasi penduduk, dan pengembangan lapangan kerja di desa. Kewirausahan menjadi strategi dalam pengembangan dan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat. Sumber daya dan fasilitas disediakan secara spontan oleh masyarakat desa menuju perubahan kondisi sosial ekonomi perdesaan. Apabila desa wirausaha menjadi suatu gerakan masif akan menjadi hal yang sangat mungkin untuk mendorong perkembangan ekonomi perdesaan menjadi desa yang mandiri, menjadi desapreneur.( Heri Susanto, Solo Post).[3]

F.      Klasifikasi dan Jenis Pendamping
Secara umum tugas pendamping desa yaitu mendampingi desa dalam penyelenggaraan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Pendamping desa dibagi dalam tiga kategori yang terdiri atas tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, dan atau  pihak ketiga.Tenaga pendamping profesional terdiri atas pendamping desa (berkedudukan di kecamatan), pendamping teknis (berkedudukan di kabupaten), dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat (berkedudukan di pusat dan provinsi) dengan tugas masing-masing sebagai berikut:
1.       Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa
Ø  Fasilitasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terkait sosialisasi UU Desa
Ø  Fasilitasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Peraturan Bupati/Walikota tentang daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
Ø  Fasilitasi penegakan kewenangan desa kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
Ø  Pengembangan kapasitas masyarakat desa; 
Ø  Kaderisasi masyarakat desa dalam rangka pelaksanaan UU Desa; 
Ø  Fasilitasi musyawarah desa; 
Ø  Fasilitasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam melakukan prereview dan review Peraturan Desa.
Ø  Fasilitasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka menyusun regulasi di daerah yang berkaitan dengan pengaturan tentang desa; 
Ø  Fasilitasi pengembangan pusat kemasyarakatan (community center) di desa dan/ atau antar desa; 
Ø  Fasilitasi pengembangan ketahanan masyarakat desa; 
Ø  Fasiltasi kerja sama antar desa dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa; 
Ø  Fasilitasi kerja sama desa dengan pihak ketiga dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa; 
Ø  Fasilitasi pembentukan serta pengembangan jaringan sosial dan kemitraan; 
Ø  Fasilitasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa melaksanakan pemberdayaan masyarakat desa.

2.       Tenaga Ahli Pembangunan Partisipatif

·         Fasilitasi penyusunan penyusunan perencanaan dan anggaran desa yang meliputi: RPJM Desa; RKP Desa; RKP Desa; dan APB Desa;
·         Fasilitasi musyawarah desa dalam rangka perencanaan pembangunan desa; 
·         Fasilitasi musyawarah perencanaan pembangunan desa; 
·         Fasilitasi pelaksanaan kegiatan pembangunan desa; 
·         Fasilitasi pengelolaan dana pembangunan desa; 
·         Fasilitasi pengadaan barang dan jasa oleh desa; 
·         Fasilitasi swadaya gotong royong masyarakat desa dalam rangka pembangunan desa; 
·         Fasilitasi integrasi Program/Proyek masuk desa dengan pembangun berskala lokal/desa; 
·         Fasilitasi integrasi pembangunan desa dengan pembangunan kawasan perdesaan; 
·         Fasilitasi audit berbasis komunitas; 
·         Fasilitasi pemantuan berbasis komunitas; 
·         Fasilitasi penanganan pengaduan danmasalah berbasis komunitas; 
·         Fasilitasi musyawarah desa dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan desa; 
·         Fasilitasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. 

3.       Tenaga Ahli Infrastruktur Desa

·         Fasilitasi pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana permukiman desa; 
·         Fasilitasi pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana lingkungan permukiman desa; 
·         Fasilitasi pembangunan danpengelolaan saranatransportasi desa; 
·         Fasilitasi pengembangan prasarana transportasi desa; 
·         Sarana danprasarana produksi pendukung ekonomi desa; 
·         Fasilitasi pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana pemasaran produk unggulan desa; 
·         Fasilitasi pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana elektrifikasi desa berbasiskan teknologi tepat guna yang ada di desa; 
·         Fasilitasi pengembangan kader teknik di desa;
·         Fasilitasi sertifikasi infrastruktur desa hasil pelaksanaan kegiatan pembangunan desa;
·         Fasilitasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa dalam pengembangan, pembangunan dan pengelolaan sarana-prasarana desa.

4.       Tenaga Ahli Pemberdayaan Ekonomi Desa

·         Fasilitasi pembentukan dan pengembangan lembaga BUMDes;
·         Fasilitasi pengembangan usaha dan pemasaran hasil usaha BUMDes; 
·         Fasilitasi pembentukan, pengelolaan dan pengembangan pasar desa; 
·         Fasilitasi promosi pemasaran hasil usaha ekonomi desa; 
·         Fasilitasi pengembangan jaringan pemasaran hasil usaha ekonomi desa; 
·         Fasilitasi pengembangan kredit modal usaha ekonomi desa; 
·         Fasilitasi pengembangan usaha kredit mikro; 
·         Fasilitasi penggalangan modal keswadayaan; 
·         Fasilitasi promosi pemanfaatan potensi desa; 
·         Fasilitasi pengembangan usaha kredit mikro; 
·         Fasilitasi pengembangan ekonomi kreatif;: 
·         Fasilitasi pengembangan industrialisasi desa; 
·         Fasilitasi pengembangan kewirausahaan desa; 
·         Fasilitasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa mengembangkan ekonomi desa.

5.       Tenaga Ahli Pengembangan Tegnologi Tepat Guna

·         Fasilitasi pengembangan teknologi tepat guna; 
·         Fasilitasi promosi pendayagunaan teknologi tepat guna; 
·         Fasilitasi kemandirian pangan dan energi berbasis teknologi tepat guna; 
·         Fasilitasi pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) untuk pendayagunaan sumberdaya hutan, perkebunan dan pertanian; 
·         Fasilitasi pemanfaatan TTG untuk pendayagunaan sumberda ya pertambangan; tanah; dan air; 
·         Fasilitasi pemanfaatan TTGuntukpelestarian lingkungan hidup; 
·         Fasilitasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa dalam mendayagunakan teknologi tepat guna; 
·         Fasilitasi pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) untuk pendayagunaan sumber daya hutan, perkebunan dan pertanian; 
·         Fasilitasi pemanfaatan TTG untuk pendayagunaan sumber daya pertambangan, tanah dan air;
·         Fasilitasi pemanfaatan TTG untuk pelestarian lingkungan hidup; 
·         Fasilitasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mendampingi desa dalam mendayagunakan teknologi tepat guna.

6.       Tenaga Ahli Pengembangan Pelayanan Dasar

·         Fasilitasi pelayanan kesehatan bagi masyarakat desa secara terpadu; 
·         Fasilitasi pelayanan pendidikan desa bagimasyarakat desa secara terpadu; 
·         Fasilitasi pemberdayaan perempuan dan anak; 
·         Fasilitasi pemberdayaan kaum difabel/berkebutuhan khusus; 
·         Fasilitasi pemberdayaan kelompok masyarakat marginal; 
·         Fasilitasi pemberdayaan keluarga miskin; 
·         Fasilitasi pengembangan kesejahteraan keluarga; 
·         Fasilitasi pelestarian dan pengembangan adat dan kearifan lokal; 
·         Fasilitasi pelestarian dan pengembangan seni dan budaya desa; 
·         Fasilitasi pengembangan kerukunan dan ketentraman antar warga desa dan/atau antar desa; 
·         Fasilitasi pencegahan dan penanganan konflik sosial antar warga desa dan/atau antar desa. 
·         Fasilitasi pengembangan media informasi desa untuk masyarakat desa; 
·         Fasilitasi pengelolaan akses informasi antar warga desa dan/atau antar desa.

7.       Pendamping desa. Mendampingi Gampong/Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong/Desa, kerja sama Gampong/Desa, pengembangan BUMG, dan Pembangunan yang berskala lokal Gampong/Desa.
8.       Pendamping Lokal desa. Mendampingi Gampong/Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong/Desa, kerja sama Gampong/Desa, pengembangan BUMG, dan Pembangunan yang berskala lokal Gampong/Desa.[4]

G.     Posisi Pendamping Lokal Desa

Salah satu agenda besar pendamping lokal desa adalah mengawal implementasi UU No. 6/2014 Desa secara sistematis, konsisten, dan berkelanjutan dengan fasilitasi, supervisi, dan pendampingan. Pendamping lokal desa itu bukan sekadar menjalankan amanat UU Desa, tetapi juga modal penting untuk mengawal perubahan desa demi mewujudkan desa yang mandiri dan inovatif.

Untuk itu posisi Pendamping Lokal Desa (PLD)  pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kementerian Desa) adalah sangat penting dan menjadi ujung tombak keberhasilan program pemberdayaan masyarakat desa. Para PLD yang professional ini diharapkan bisa memberikan solusi untuk mempercepat penyerapan Dana Desa (DD). Selain itu PLD juga di tuntut untuk bisa mengimplementasikan UU Desa. Khususnya, memantau realisasi anggaran dan kegiatan yang dibiayai dari sumber dana desa (dari APBN) dan alokasi dana desa (dari APBD).

Seorang PLD mendampingi 4 desa didukung oleh dua orang tenaga Pendamping Desa (PD) di Kecamatan. PLD bertugas untuk memfasilitasi regulasi UU Desa ke dalam implementasi atau praktik berdesa. PLD diharapakn dapat mengembangkan skema pendampingan yang memberdayakan masyarakat desa hingga dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat desa, sebagai roh gerakan pembangunan desa yang berkelanjutan demi terwujudnya cita-cita kemandirian Negara kita.

Sejatinya kemandirian negara terletak pada kemandirian desa-desa sebagai entitas penyusun dan penyangga nama besar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 2015 adalah tahun pertama pelaksanaan UU No. 6/2014. Desa diberlakukan berbeda dengan sebelumnya. Kedudukan desa tidak lagi subnasional, melainkan berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Desa tidak lagi berada di bawah struktur administratif terbawah, apalagi perpanjangan tangan pemerintah daerah.

Desa mendapat rekognisi dan subsidiaritas kewenangan, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Desa menerima transfer keuangan dari APBN dan APBD yang disebut dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) untuk memenuhi kebutuhan belanja dalam konteks dua kewenangan tadi. Keberadaan UU No. 6/2014 tujuan pertamanya adalah bagian dari ikhtiar mencapai keberdayaan negara dari kemandirian desa-desanya. Proses pembentukan bangunan warga dan organisasi masyarakat sipil biasanya dipengaruhi faktor eksternal yang mengancam hak publik. Keduanya adalah modal penting bagi desa untuk membangun kedaulatan dan titik awal terciptanya komunitas warga desa yang nantinya akan menjadi kekuatan penyeimbang atas munculnya kebijakan publik yang tidak responsif terhadap masyarakat. 

Efektivitas pembangunan pada hakikatnya merupakan tindakan membandingkan antara perencanaan dengan hasil. Antara kedua hal tersebut sering terjadi penyimpangan. Tugas PLD adalah mengoreksi penyimpangan tersebut.Pembangunan desa adalah strategi pembangunan bagi peningkatan kehidupan ekonomi dan sosial dari kelompok khusus masyarakat, dalam hal ini masyarakat kurang mampu di pedesaan. Pembangunan desa bertujuan mengurangi kemiskinan serta tersedianya sarana dan prasarana umum untuk menunjang segala kebutuhan masyarakat yang ternyata masih kurang untuk membantu masyarakat desa dalam beraktivitas sehari-hari.

ADD adalah dana yang dialokasikan pemerintah kabupaten/kota untuk desa yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang ditetapkan dengan peraturan desa. ADD merupakan dukungan dana dari pemerintah pusat dan daerah kepada pemerintah desa dalam meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat dan pemberdayaan masyarakat desa.

Pengalokasian dana desa butuh fungsi PLD sebagai pengawas agar dana tersebut benar-benar tersalurkan untuk kepentingan pembangunan desa. Pengawasan oleh PLD terhadap anggaran desa dilakukan dengan melihat rencana awal program dan realisasinya. Kesesuaian antara rencana program, realisasi program, pelaksanaan, serta nilai dana yang digunakan dalam pembiayaan adalah ukuran yang dijadikan patokan PLD dalam pengawasan.[]


[1]Edi Suharto, PhD Dosen STKS, UNPAS dan UNLA Bandung. International Policy Analyst, Centre for Policy Studies (CPS), Central European University, Hungary Makalah Pemberdayaan Masyarakat.
[2]M. RHIDO–PERDESAANSEHAT.COM, http://www.bintan-s.web.id/2010/12/tujuan-pendampingan.html
[3] Heri Susanto http://www.solopos.com/2016/04/14/gagasan-pendampingan-desa-menuju-desapreneur-709932/3
[4]https://pendaftaran-cpns.blogspot.co.id/2015/08/tugas-pokok-pendamping-desa.html

No comments:

Post a Comment