PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
Oleh Sutoro Eko
Di Indonesia, ada
pegeseran menarik dalam hal wacana, paradigma dan kebijakan pembangunan, yakni
dari pembangunan ke pemberdayaan. Tepatnya pembangunan desa terpadu pada tahun
1970-an, bergeser menjadi pembangunan masyarakat desa pada tahun 1980-an dan
awal 1990-an, kemudian bergeser lagi menjadi pemberdayaan masyarakat (desa)
mulai akhir 1990-an hingga sekarang. Kini, dalam konteks reformasi,
demokratisasi dan desentralisasi, wacana pemberdayaan mempunyai gaung luas dan
populer.
Gagasan
pemberdayaan berangkat dari realitas obyektif yang merujuk pada kondisi
struktural yang timpang dari sisi alokasi kekuasaan dan pembagian akses
sumberdaya masyarakat (Margot Breton, 1994). Pemberdayaan sebenarnya
merupakan sebuah alternatif pembangunan yang sebelumnya dirumuskan menurut cara
pandang developmentalisme (modernisasi). Saya meyakini bahwa antara pembangunan
(lama) dan pemberdayaan (baru) mempunyai cara pandang dan keyakinan yang
berbeda, seperti terlihat dalam tabel 6.
Pada intinya,
paradigma lama (pembangunan) lebih berorientasi pada negara dan modal sementara
paradigma baru (pemberdayaan) lebih terfokus pada masyarakat dan institusi
lokal yang dibangun secara partisipatif. Modal adalah segala-galanya yang harus
dipupuk terus meski harus ditopang dengan pengelolaan politik secara
otoritarian dan sentralistik. Sebaliknya, pemberdayaan adalah pembangunan yang
dibuat secara demokratis, desentralistik dan partisipatoris. Masyarakat
menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan menikmati pembangunan.
Negara adalah fasilitator dan membuka ruang
yang kondusif bagi tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan institusi lokal.
Konsep
dan Arah Pemberdayaan
Tidak ada sebuah
pengertian maupun model tunggal pemberdayaan. Pemberdayaan dipahami sangat berbeda menurut cara pandang
orang maupun konteks kelembagaan, politik, dan sosial-budayanya. Ada yang
memahami pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan,
menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah
terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Ada pula pihak lain yang menegaskan bahwa
pemberdayaan adalah proses memfasilitasi warga masyarakat secara bersama-sama
pada sebuah kepentingan bersama atau urusan yang secara kolektif dapat
mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan sumber daya, mengerahkan suatu kampanye
aksi dan oleh karena itu membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas.
Saya memahami
pemberdayaan (masyarakat desa) dengan beberapa cara pandang. Pertama,
pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat.
Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries)
yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan
dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang
berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari
tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan,
perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas
(kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai
partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi,
mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara
mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan.
Tabel:
Pergeseran paradigma dalam
pembangunan
masyarakat desa
Paradigma Lama (Pembangunan)
|
Paradigma Baru (Pemberdayaan)
|
Fokus
pada pertumbuhan ekonomi
|
Pertumbuhan
yang berkualitas dan berkelanjutan
|
Redistribusi
oleh Negara
|
Proses
keterlibatan warga yang marginal dalam pengambilan keputusan
|
Otoritarianisme
ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan
|
Menonjolkan
nilai-nilai kebebasan, otonomi, harga diri, dll.
|
Negara
memberi subsidi pada pengusaha kecil
|
Negara
membuat lingkungan yang memungkinkan
|
Negara
menyedian layanan ketahanan social
|
Pengembangan
institusi lokal untuk ketahanan social
|
Transfer
teknologi dari negara maju
|
Penghargaan
terhadap kearifan dan teknologi lokal; pengembangan teknologi secara
partisipatoris
|
Transfer
aset-aset berharga pada negara maju
|
Penguatan
institusi untuk melindungi aset komunitas miskin.
|
Pembangunan
nyata: diukur dari nilai ekonomis oleh pemerintah
|
Pembangunan
adalah proses multidimensi dan sering tidak nyata yang dirumuskan oleh
rakyat.
|
Sektoral
|
Menyeluruh
|
Organisasi
hirarkhis untuk melaksanakan proyek
|
Organisasi
belajar non-hirarkis
|
Peran
negara: produser, penyelenggara, pengatur dan konsumen terbesar
|
Peran
negara: menciptakan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan,
mendorong tumbuhnya institusi-institusi masyarakat.
|
Sumber: diadaptasi
dari A. Shepherd, Sustainable Rural Development (London: Macmillan
Press, 1998), hal. 17.
Kedua,
pemberdayaan secara prinsipil berurusan dengan upaya memenuhi kebutuhan (needs) masyarakat. Banyak orang
berargumen bahwa masyarakat akar rumput sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal
yang utopis (ngayawara) seperti demokrasi, desentralisasi, good governance, otonomi daerah,
masyarakat sipil, dan seterusnya. “Apa betul masyarakat desa butuh demokrasi
dan otonomi desa? Saya yakin betul, masyarakat itu hanya butuh pemenuhan
sandang, pangan dan papan (SPP). Ini yang paling dasar. Tidak ada gunanya
bicara demokrasi kalau rakyat masih miskin”, demikian tutur seseorang yang
mengaku sering berinteraksi dengan warga desa. Pendapat ini masuk akal, tetapi
sangat dangkal. Mungkin kebutuhan SPP itu akan selesai kalau terdapat uang yang
banyak. Tetapi persoalannya sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat itu sangat langka (scarcity) dan terbatas (constrain).
Masyarakat tidak mudah bisa akses pada sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan SPP.
Karena itu, pemberdayaan adalah sebuah upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di
tengah-tengah scarcity dan constrain sumberdaya. Bagaimanapun juga
berbagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas
dan langka, melainkan ada problem struktural (ketimpangan, eksploitasi,
dominasi, hegemoni, dll) yang menimbulkan pembagian sumberdaya secara tidak
merata. Dari sisi negara, dibutuhkan
kebijakan dan program yang memadai, canggih, pro-poor untuk mengelola sumberdaya yang terbatas itu. Dari sisi
masyarakat, seperti akan saya elaborasi kemudian, membutuhkan partisipasi
(voice, akses, ownership dan kontrol)
dalam proses kebijakan dan pengelolaan sumberdaya.
Ketiga,
pemberdayaan terbentang dari proses sampai visi ideal. Dari sisi
proses, masyarakat sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan secara
kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar, dan meraih
kedaulatan. Dari sisi visi ideal, proses tersebut hendak mencapai suatu kondisi
dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan voice,
akses dan kontrol terhadap lingkungan, komunitas, sumberdaya dan relasi
sosial-politik dengan negara. Proses
untuk mencapai visi ideal tersebut harus tumbuh dari bawah dan dari dalam
masyarakat sendiri. Namun, masalahnya, dalam kondisi struktural yang timpang
masyarakat sulit sekali membangun kekuatan dari dalam dan dari bawah, sehingga
membutuhkan “intervensi” dari luar. Hadirnya pihak luar (pemerintah, LSM,
organisasi masyarakat sipil, organisasi agama, perguruan tinggi, dan lain-lain)
ke komunitas bukanlah mendikte, menggurui, atau menentukan, melainkan bertindak
sebagai fasilitator (katalisator) yang memudahkan, menggerakkan, mengorganisir,
menghubungkan, memberi ruang, mendorong, membangkitkan dan seterusnya. Hubungan
antara komunitas dengan pihak luar itu bersifat setara, saling percaya, saling
menghormati, terbuka, serta saling belajar untuk tumbuh berkembang secara
bersama-sama.
Keempat,
pemberdayaan terbentang dari level psikologis-personal (anggota masyarakat)
sampai ke level struktural masyarakat secara kolektif. Tabel 7 menampilkan
pemetaan pemberdayaan dari dua sisi: dimensi (yang terbagi menjadi psikologis
dan struktural) dan level (personal dan masyarakat). Pemberdayaan psikologis-personal
berarti mengembangkan pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan, kompetensi,
motivasi, kreasi, dan kontrol diri individu. Pemberdayaan struktural-personal
berarti membangkitkan kesadaran kritis individu terhadap struktur
sosial-politik yang timpang serta kapasitas individu untuk menganalisis
lingkungan kehidupan yang mempengaruhi dirinya. Pemberdayaan psikologis-masyarakat
berarti menumbuhkan rasa memiliki, gotong rotong, mutual trust,
kemitraan, kebersamaan, solidaritas sosial dan visi kolektif masyarakat.
Sedangkan pemberdayaan struktural-masyarakat berarti mengorganisir
masyarakat untuk tindakan kolektif serta penguatan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dan pemerintahan.
Saya
menganggap pemberdayaan dari sisi struktural-masyarakat merupakan arena
pemberdayaan yang paling krusial. Mengapa? Saya yakin betul bahwa pemberdayaan
tidak bisa hanya diletakkan pada kemampuan dan mental diri individu, tetapi
harus diletakkan pada konteks relasi kekuasaan yang lebih besar, dimana setiap
individu berada di dalamnya. Mengikuti pendapat Margot Breton (1994), realitas
obyektif pemberdayaan merujuk pada kondisi struktural yang mempengaruhi alokasi
kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya di dalam masyarakat. Dia juga
mengatakan bahwa realitas subyektif perubahan pada level individu (persepsi,
kesadaran dan pencerahan), memang penting, tetapi sangat berbeda dengan
hasil-hasil obyektif pemberdayaan: perubahan kondisi sosial. “Setiap individu
tidak bisa mengembangkan kamampuan dirinya karena dalam masyarakat terjadi
pembagian kerja yang semu, relasi yang subordinatif, dan ketimpangan sosial”,
demikian tulis Heller (1994: 185). Bahkan James Herrick (1995) menegaskan bahwa
pemberdayaan yang menekankan pada pencerahan dan emansipasi individu
tidak cukup memadai memfasilitas pengembangan kondisi sosial alternatif.
Tabel:
Dimensi dan level pemberdayaan
Level/Dimensi
|
Psikologis
|
Struktural
|
Personal
|
Mengembangkan
pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan, kompetensi, motivasi, kreasi,
dan kontrol diri.
|
Membangkitkan
kesadaran kritis individu terhadap struktur sosial-politik yang timpang serta
kapasitas individu untuk menganalisis lingkungan kehidupan yang mempengaruhi
dirinya.
|
Masyarakat
|
Menumbuhkan
rasa memiliki, gotong rotong, mutual
trust, kemitraan, kebersamaan, solidaritas sosial dan visi kolektif
masyarakat.
|
Mengorganisir
masyarakat untuk tindakan kolektif serta penguatan partisipasi dalam
pembangunan dan pemerintahan.
|
Sumber:Diolah
kembali dari C. Kieffer, “Citizen Empowerment: A DevelopmentPerspective”, Human
Service, No. 3, 1984; J. Rappaport, “Terms of Empowerment: Toward a Theory
for Community Psychology”, American Journal of Community Psychology, No.
15, 1987; R. Labonte, “Community Empowerment: The Need for Political Analysis”,
Journal of Public Health, No. 80, 1989; M. Zimmerman, “Taking Aim on
Empowerment Research: On the Distinction Between Individual and Psychological
Concept”, American Journal of Community Psychology, No. 18, 1990; J.
Lord, “Personal Empowerment and Active
Living In H. Quinney, L. Gauvin and A.E. Wall (Eds.), Toward Active Living
(Windsor, ON: Human Kinetics Publishers, 1994); dan Leena Rklund, From
Citizen Participation Towards Community Empowerment (Tampere: Tampere
University, 1999).
Kelima, saya
membuat tipologi PMD berdasarkan arena (pemerintahan dan pembangunan) serta
aktor (negara dan masyarakat) yang diletakkan dalam konteks desentralisasi dan
demokratisasi desa. Tipologi itu tertulis dalam bagan 1. Kuadran I
(pemerintahan dan negara) pada intinya hendak membawa negara lebih dekat ke
masyarakat desa, dengan bingkai desentralisasi (otonomi) desa, demokratisasi
desa, good governance desa dan capacity building pemerintahan
desa. Kuadran II (negara dan
pembangunan) berbicara tentang peran negara dalam pembangunan dan pelalayanan
publik. Fokusnya adalah perubahan haluan pembangunan yang top down menuju bottom up,
membuat pelayanan publik lebih berkualitas dan semakin dekat dengan masyarakat,
serta penanggulangan kemiskinan. Kudran III (pemerintahan dan masyarakat desa)
hendak mempromosikan partisipasi masyarakat dalam konteks pemerintahan desa,
termasuk penguatan BPD sebagai aktor masyarakat politik di desa. BPD diharapkan
menjadi intermediary antara
masyarakat dengan pemerintah desa yang mampu bekerja secara legitimate,
partisipatif, dan bertanggungjawab. Kuadran IV (pembangunan dan masyarakat
desa) terfokus pada civil society maupun pemberdayaan modal sosial dan
institusi lokal, yang keduanya sebagai basis partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dan pemerintahan.
Tipologi bagan 5
tidak dimaksudkan untuk membuat isu-isu pemberdayaan terkotak-kotak, melainkan
semua kuadran tersebut harus dikembangkan secara sinergis dan simultan. Tetapi
saya juga yakin bahwa pemberdayaan yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan
harus ditopang secara kuat oleh kuadran IV (pembangunan dan masyarakat desa).
Kuadran IV adalah pilar utama pemberdayaan yang akan memperkuat agenda
pembaharuan pemerintahan dan pembangunan di level desa. Saya juga yakin bahwa tipologi itu sangat
berguna sebagai basis orientasi untuk kajian-kajian keilmuan, pengembangan
kurikulum dan referensi bagi kebijakan pemerintah untuk mendorong pemberdayaan
masyarakat desa.
Bagan:
Peta pemberdayaan masyarakat desa
ARENA
Pemerintahan
|
Pembangunan
|
A
K
T
O
R
|
NEGARA
|
·
Demokratisasi
desa
·
Good
governance
·
Otonomi desa.
·
Peningkatan
kapasitas perangkat desa
·
Reformasi
birokrasi
|
·
Pembangunan dari
bawah.
·
Pengentasan
kemiskinan.
·
Penyediaan akses
masyarakat pada layanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, dll)
|
MASYARAKAT DESA
|
·
Pengembangan
partisipasi politik (voice, akses, kontrol dan kemitraan).
·
Pemberdayaan
Masyarakat Politik
·
Badan Perwakilan
Desa.
|
·
Partisipasi
masyarakat
·
Penguatan modal
sosial dan institusi lokal.
·
Pemberdayaan civil
society
|
Tugas-Tugas Pemberdayaan
Pemberdayaan
masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen: pemerintah, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, pers, partai politik, lembaga donor, aktor-aktor
masyarakat sipil, atau oleh organisasi masyarakat lokal sendiri. Birokrasi
pemerintah tentu saja sangat strategis karena mempunyai banyak keunggulan dan
kekuatan yang luar biasa ketimbang unsur-unsur lainnya: mempunyai dana, aparat
yang banyak, kewenangan untuk membuat kerangka legal, kebijakan untuk pemberian
layanan publik, dan lain-lain. Proses pemberdayaan bisa berlangsung lebih kuat,
komprehensif dan berkelanjutan bila berbagai unsur tersebut membangun kemitraan
dan jaringan yang didasarkan pada prinsip saling percaya dan menghormati.
Konsep
pemberdayaan berangkat dari asumsi yang berbeda dengan pembinaan. Pemberdayaan
berangkat dari asumsi hubungan yang setara antar semua elemen masyarakat dan
negara. Para ahli mengatakan bahwa pemberdayaan sangat percaya bahwa “kecil itu
indah”, bahwa setiap orang itu mempunyai kearifan yang perlu dibangkitkan dan
dihargai. Kalau konsep pembinaan cenderung mengabaikan prinsip kearifan semua
orang itu. Dalam konteks pemberdayaan, semua unsur (pejabat, perangkat negara,
wakil rakyat, para ahli, politisi, orpol, ormas, LSM, pengusaha, ulama,
mahasiswa, serta rakyat banyak) berada dalam posisi setara, yang tumbuh bersama
melalui proses belajar bersama-sama. Masing-masing elemen harus memahami dan
menghargai kepentingan maupun perbedaan satu sama lain. Pemberdayaan tersebut
dimaksudkan agar masing-masing unsur semakin meningkat kemampuannya, semakin
kuat, semakin mandiri, serta memainkan perannya masing-masing tanpa menganggu
peran yang lain. Justru dengan pemberdayaan kemampuan dan peran yang
berbeda-beda tersebut tidak diseragamkan, melainkan dihargai dan dikembangkan
bersama-sama, sehingga bisa terjalin
kerjasama yang baik. Oleh karena itu, dalam hal pemberdayaan, tidak dikenal
unsur yang lebih kuat memberdayakan terhadap unsur yang lebih lemah untuk
diberdayakan. Unsur-unsur yang lebih kuat hanya memainkan peran sebagai
pembantu, pendamping atau fasilitator, yang memudahkan unsur-unsur yang lemah
memberdayakan dirinya sendiri.
Pada
dasarnya “orang luar” jangan sampai berperan sebagai “pembina” atau “penyuluh”,
melainkan sebagai “fasilitator” terhadap pemberdayaan masyarakat. Fasilitator
itu adalah pendamping, yang bertugas memudahkan, mendorong, dan memfasilitasi
kelompok sosial dalam rangka memberdayakan dirinya. Tugas-tugas itu dimainkan
mulai dari analisis masalah, pengorganisasian, fasilitasi, asistensi, dan advokasi
kebijakan.
Untuk
memainkan peran-peran dalam pekerjaan PMD, para pekerja/fasilitator PMD harus
profesional, memiliki sejumlah kemampuan dan keterampilan. Mereka harus
kompeten, punya kemampuan dalam memahami teori secara holistik dan kritis, bertindak
praktis, membuat refleksi dan praksis. Esensi praksis adalah bahwa orang
dilibatkan dalam siklus bekerja, belajar, dan refleksi kritis. Ini adalah
proses dimana teori dan praktik dibangun pada saat yang sama. Praksis lebih
dari sekadar tindakan sederhana, tetapi ia mencakup pemahaman, belajar dan
membangun teori. Para pekerja PMD tidak
hanya butuh “belajar” keterampilan, tetapi juga “mengembangkan” keterampilan
itu. Yang perlu dikembangkan adalah: kemampuan analisis, kesadaran kritis,
pengalaman, belajar dari pihak lain, dan intuisi.