23 October 2020

*Ibuku Orang Gila*#IOG#PART 19#ENDING#MM

*Ibuku Orang Gila*

#IOG
#PART 19
#ENDING
#MM

   Aku mendekati ibu dengan langkah gontai. Aku ragu untuk memberitahu keadaan Bu Anggun. Sedangkan aku melihat Pak Bram sedang berusaha menenangkannya. Tak ku sangka ternyata takdir mempertemukan ibu dengan dokter yang menolongnya dulu.

    "Fem ... sudah ketemu Anggun di mana ??" Tanya ibu dengan khawatir.

   "Sudah. Baru saja ada polisi yang mengatakan kalau Bu Anggun sudah ditemukan." Kataku pelan.

   "Lalu di mana dia ??" Ibuku menghiba. Aku menarik nafas dalam.

   "Ibu ... Fembri ingin ibu bersabar. Bu Anggun menulis pesan berisi permohonan maaf pada ibu atas perilakunya dulu." Kataku mencoba menetralkan keadaan.

   "Lalu sekarang dia di mana ?" Tanya ibu dengan wajah tak sabar.

   "Bu Anggun bunuh diri di tokonya. Dia meminum racun serangga." Kataku dengan suara hati-hati. Mendengar itu tangis ibuku langsung pecah.

   "Kenapa dia sebodoh itu ? Kenapa dia senekat itu ?" Kata ibu sembari memukuli dadanya yang aku tahu pasti sangat sesak di sana.

    Lalu ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari pihak rumah sakit. Mereka mengabarkan keadaan Mbak Nita yang telah teratasi. Namun berbeda dengan kondisi Pak Koco, dia   kritis. Aku hanya menghela nafas berat. Aku sengaja menyimpan sendiri informasi ini. Takut ibu makin terluka.

===

    Aku memandang sosok yang kini terbujur kaku di hadapanku. Sosok yang selama ini ku cari. Sosok yang sempat aku tolak keberadaannya sebagai ayah kandungku. Ya ... Pak Koco menyusul Bu Anggun. Namun, sebelum dia pergi sempat terucap permintaan maafnya padaku dan berharap agar aku menemui kakekku di kampung. Dan di saat terakhirnya, untuk pertama kali aku memanggilnya ayah.

      Ibu terlihat sangat terpukul. Dua orang yang dulu sempat begitu memenuhi hatinya, kini telah tiada. Akhir tragis bagi mereka menyisakan luka dalam pada ibu. Walau air mata tak menetes, aku yakin hatinya menjerit penuh air mata. Mungkin saja ibu ingin menangis, tapi air mata sudah kering. 

   Setelah pemakaman Bu Anggun dan Pak Koco, Mbak Nita sudah bisa pulang dari rumah sakit. Dan selama beberapa hari berita akan kejadian yang aku alami menjadi berita utama di media sosial. Dan tentu saja berita yang tersebar berasal dari keterangan kami saat dipanggil pihak kepolisian. Dan kini Anggun Bakery mengukir kenangan kelam. Terpatri dalam benak orang-orang bahwa Bu Anggun yang sukses adalah sosok yang begitu kejam dan berakhir mengenaskan. 

    Selama sebulan lebih kami menutup toko roti. Setelah sembuh Mbak Nita memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan. Sedang aku dan ibu akan fokus kembali mengurus toko roti kami yang makin berkembang pesat. Dan hari ini adalah waktu perdana kami buka setelah rentetan kejadian yang mengerikan.

    "Fem ... ! Ada telepon tuh ! Tinggal saja dulu. Daritadi berdering terus tuh." Kata ibu yang ternyata sudah menyelesaikan adonan terakhirnya. Aku mengangguk dan segera berlari ke telepon di sudut ruangan. Sedang ibu langsung fokus melayani pembeli.

   "Hallo, Fem ! Assalamualaikum !" Seru Bang Udin di seberang sana.

   "Waalaikumsalam, Bang. Bagaimana kabarnya ?" Tanyaku dengan nada sumringah.

    "Baik, alhamdulilah. Minggu depan ke pesantren yak ?" Kata Bang Udin.

   "Lha ada acara apa, Bang ? Maaf Fembri belum bisa ke pesantren." Kataku penuh nada penyesalan.

   "Itu ... Bu Suci lahiran." Kata Bang Udin singkat namun mampu membuatku tercekat.

   "Alhamdulilah ... inn syaa Allah, Bang. Nanti aku sekalian ibu ke sananya." Kataku bahagia. 

    "Ya sudah ... aku tutup dulu, ya ? Jangan lupa bawa roti yang enak, yang banyak hahahaha." Bang Udin berseloroh. Aku hanya ikut tertawa.

====

    Perjalananku hari ini bak membuka lembaran kenangan kelam. Sebelum kami menuju pesantren, sengaja mampir ke Pasar Baru. Tempat di mana aku lahir dan tumbuh membesar dibawah asuhan ibuku yang masih gila. Tempat ini tak banyak berubah. Hanya saja, orang-orang yang aku kenal dulu sudah tak mengenaliku. Bahkan beberapa sudah tak lagi berdagang di sana. 

    Sesampainya di pesantren, kedatangan kami di sambut pelukan dan tangisan haru. Setahun lebih aku tak pulang. Fokus mencari jati diri dan menguak masa laluku. Merintis usaha dan melewati lika-liku hidup bak drama. Lalu tanpa sengaja mataku menangkap sosok wanita bercadar di sana. Pandangan matanya yang tajam dan dingin membuatku menerka bahwa dialah wanita itu, Sahla. Belum sempat aku menyapa, dia lebih dulu berlalu masuk ke dalam.

    "Sahla ke sini dengan suaminya, Bang ?" Bisikku pada Bang Udin setelah ibu menyusul Sahla.

    "Suami yang mana ?? Dia gak jadi nikah. Lamaran pria itu ditolaknya." Bisik Bang Udin.

   "Ahhh ... kok gak bilang sih, Bang ? Kenapa kok ditolak ?" Tanyaku.

    "Males ngomong sama kamu. Kan aku dah bilang, Sahla itu nungguin kamu. Kalau aku jadi kamu, cepet-cepet deh aku lamar dia. Tapi entahlah ! Kamu itu kurang sensitif." Kata Bang Udin sembari membawa kotak berisi roti buatanku. Aku hanya tersenyum.

    "Fem !" Pak Ikhsan melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya lalu menyalaminya.

    "Alhamdulilah. Bisa ketemu lagi sama Pak Ikhsan." Kataku bahagia.

   "Aku sudah mendengar semuanya. Jalanmu tak mudah, Fem. Tapi kau lewati semua itu dan berakhir baik."

    "Iya, Pak. Berkat doa semuanya,Fembri berhasil melewatinya. Oh ya, Pak. Boleh minta alamat Pak Ikhsan ?" Kataku.

    "Boleh. Nanti aku kasih tau. Memangnya kamu punya waktu main ke sana ?" Tanyanya sembari tersenyum.

   "Kapan nanti bila ada waktu, secepatnya Fembri berkunjung sama ibu." 

    "Ahh ... ya. Kapanpun itu, pintu rumah selalu terbuka."

   "Oh ya. Sebenarnya Fembri punya niat baik yang inn syaa Allah akan menjadi kabar baik untuk keluarga Pak Ikhsan. Saya berniat ingin menikahi Sahla. Dan secepatnya Fembri akan datang melamar" Kataku jujur. Aku tak mau mundur lagi. Mungkin benar kata Bang Udin. Sahla menungguku.

  "Alhamdulilah. Baiklah. Bahagia rasanya. Bapak yakin, Sahla juga bahagia. Bapak tunggu kedatangannya ya ?" Kata Pak Ikhsan dengan wajah bahagia.

   Aku ikut tersenyum. Soal restu ibu, jangan tanya. Aku yakin ibu setuju bila aku memperistri Sahla. Walau dia mempunyai kekurangan, tapi Allah anugerahkan banyak kelebihan untuknya.

     Selesai acara aku langsung pamit diri. Walau tak hentinya Bu Suci mendesak agar kami menginap, akhirnya dengan berat hati dia mengalah. Saat itu pula aku undur diri.  Bukan untuk pulang ke rumah. Melainkan ke kampung halaman ibu. Beberapa hari ini ibu mendesakku agar mengantarnya pulang kampung setelah lebih dari 20 tahun tak menginjakkan kaki di sana. Terlebih permintaan terakhir Pak Koco yang menyuruhku untuk mengunjungi kakek. Tentu saja aku tak boleh menolak. Bagaimanapun garis masa laluku kini sepenuhnya telah terhubung.

    Kami sampai di sebuah rumah. Mobil rental yang ku sewa beserta sopirnya kini berhenti tepat di depannya. Sebuah rumah joglo penuh dengan kayu jati ukiran menambah kesan "mahal" rumah itu. Ku lirik ibu yang berwajah tegang. Tentu saja dia tegang, karena akan bertemu ayah mertua yang lama tak dia jumpai.

    "Sopo iki ?" Tanya seorang pria tua dengan suara beratnya. Nafasnya agak tersengal-sengal karena jalanan yang menanjak.

   Ibu menoleh dan langsung air matanya menganak sungai. Didekatinya pria tua itu. Lalu ibu raih tangannya dan menyalaminya. Sedang sang kakek melihat ibu dengan wajah bingung.

   "Sopo iki ? Kok aku gak pernah lihat ?" Tanya kakek itu. Bukannya menjawab ibu malah menangis sesegukan. Aku mendekati mereka lalu ikut menyalami Iman Suhendro, kakekku. Dilihatnya aku dari kepala sampai kaki. Matanya berkaca-kaca.

   "Ini ... cucu panjenengan, Pak. Anak Indro." Kata ibu sembari menepuk bahuku.

    "Iki ?? Cucuku ?? Anaknya Indro ?" Mbah Iman mendekatiku. Dilihatnya lekat wajahku. Lalu mata orang tua renta itu meneteskan air mata. Tanpa berkata apapun, dia memelukku. Suara tangisannya memecah sunyi, membuat beberapa pasang mata tetangga menoleh. 

    "Saya Fembri. Cucu kakek." Kataku dengan nada suara yang serak menahan air mata. Bahu orang tua ini berguncang karena tangisannya. Memaksa beberapa tetangga beringsut mendekat.

    "Huhuhu ... seumur hidupku, baru ini aku melihatmu. Aku tidak menyangka akan mempunyai cucu tampan sepertimu. Aku kira akan hidup sebatang kara dan mati tanpa keluarga." Mendengar perkataannya membuatku mengeratkan pelukan. Hatiku terasa teriris, penuh sesak.

    "Iya, Pak. Ini cucumu. Dan kami ke sini untuk menjemput panjenengan. Tinggallah dengan kami, Pak." Kata ibu. Kakek melepas pelukannya lalu menyeka air mata.

   "Iki ?? Anggi ya ?" Tanya kakek pada ibu. Ibu mengangguk pelan.

   "Owalah Anggi, anakku. Aku dengar Indro cerita tentangmu. Ya Allah ... nasibmu, Nduk. Lha Indro mana ? Ikut apa gak ?" 

   Aku tercekat, seolah nafasku berhenti di kerongkongan. Haruskah kami jujur atas keadaan Pak Koco ? Ibu menuntun kakek masuk ke rumah. Rumah tua itu tampak berdebu tak terurus. Maklum hanya kakeklah yang tinggal di sana. Setelah duduk, dengan suara pelan ibu menjelaskan perihal Pak Koco. Kakek mendengarkan dengan seksama. Sesekali air matanya mengalir dari mata tuanya. Saat ibu bercerita soal Bu Anggun dan kejahatannya, kakek makin menangis tergugu. Tak henti dia menyeka air mata. Dan setelah ibu selesai bercerita, dia mengangguk-angguk dengan air mata berlinang.

    "Ikhlas aku ikhlas. Memang takdirku harus begini. Aku pasrah mau kalian ajak ke mana." Kata kakek pada akhirnya. Dan hari itu juga kami bertolak menuju toko dengan membawa serta kakek bersama kami. 

====

    Sebulan setelah hari itu, kami mengunjungi rumah Pak Ikhsan. Berbekal restu dan doa dari ibu, aku melamar Sahla. Dan dari acara itu, tercapai kesepakatan bahwa acara pernikahan kami akan digelar sebulan kemudian. Aku bahagia, semua berjalan dengan baik.

    Setelah kami menikah, kini Sahla tinggal bersamaku. Mbak Nita masih memutuskan untuk melajang. Sedang sejak kakek tinggal bersama kami, ibu tak mau lagi mengurus toko. Ibu ingin fokus merawat kakek yang sudah sepuh. Hingga kini toko roti aku jalankan berdua dengan Sahla. Dan dengan berjalannya waktu, toko kami makin dikenal luas. Hingga akhirnya rencana untuk membuka cabang pun kami susun.

     "Assalamualaikum."

    "Waalaikumsalam." Jawabku. Aku melihat Pak Bramantya berdiri di depan toko sembari tersenyum.

    "Masih libur, Fem ?" Tanyanya sembari mengulurkan sesuatu padaku.

    "Apa ini, Dok ?" Tanyaku sembari mengintip benda yang ada di dalam plastik.

    "Husss ... jangan dibuka dulu ! Itu kado nikahan kamu. Maaf kemarin aku gak bisa datang. Pasien banyak, jadi baru sekarang datengnya. Sahla marah gak ?" Tanyanya sembari mengedipkan mata.

    "Tanya saja sendiri. Tuuuh ada di dalam. Lagi masak." Kataku pada Pak Bram.

   "Okelah ... aku masuk dulu ya ? Ehhh ... tapi ibumu di rumahkan ?" Tanya Pak Bram dengan mata membulat.

    "Ada. Katanya mau ke pasar, cari bahan buat eksperimen roti varian barunya. Memang kenapa ?" Tanyaku menyelidiki.

   "Hehehe . Nggak sih . Cuma tanya doang. Tapi ngomong-ngomong kamu mau gak punya papa baru." Pak Bram menatapku dengan alis yang dinaik-turunkan. Aku mengerutkan kening.

    "Kok tanya begitu ? Memangnya siapa yang mau sama ibuku ? Dia galak dan seram. Laki-laki yang tidak takut pada ibu cuma Pak Bram saja," kataku dengan santai, "apa jangan-jangan maksudnya itu Pak Bram mau menikahi ibuku ??" Tanyaku dengan perasaan merinding. 

    "Ahahahaha ... ya kali aja ibumu mau. Lagipula kan umurnya juga masih muda banget menurutku. Jadi ya siapa tahu dia berminat sama duda lapuk macam saya. Bagaimana menurutmu ?" Katanya dengan senyuman lebar.

    "Ya ... selama ibu mau dan bahagia kalau Fembri sih oke oke saja. Siapa yang gak mau punya ayah tampan, kaya juga baik macam Pak Bram ini." Kataku yang disambutnya dengan senyuman makin lebar.

    "Sip dah. Setidaknya restu darimu sudah aku dapatkan. Tinggal jurus rahasia kasmaran yang belum aku lakukan hehe. Doain ya ? Biar usahaku sukses untuk merebut hati ibumu." Kata Pak Bram dengan wajah sumringah.

    "Beres !" Kataku mantap. Pak Bram melangkah ringan masuk ke dalam rumah. Sedang aku hanya tersenyum. Semoga saja ibu mau dinikahi Pak Bram. Setidaknya  setelah melewati jalanan hidup yang terjal dan menyakitkan, ibu bisa menikmati kehidupan yang normal seperti orang lain.

     Dan inilah akhirnya. Aku, anak orang gila yang lahir di jalanan kini bisa mengecap bahagia. Semua tabir misteri tentang masa laluku juga asal-usulku terjawab sudah. Kini saatnya aku kembali menata hidup. Menyongsong masa depan yang masih menjadi misteri. Tapi kini aku tak takut lagi. Di sekitarku banyak orang yang menyayangiku dan mendukungku. Kita tak mampu memilih dari rahim mana akan terlahir. Tapi kita bisa menentukan akan menjadi manusia seperti apa setelah dilahirkan.

====END====

3 comments:

  1. Bagus ceritanya, sangat menginspirasi
    Trus....Semangat berkarya mbak

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah diizinkan membaca sampai tamat. Ceritanya bagus sekali. Sampai saya lembur nih bacanya.

    ReplyDelete
  3. Beteul2 alur ceritanya sangat bagus dan menyentuh hati pembacanya mksh thor semoga cerbung berikutnya lbh menarik dan banyak peminat pembacanya aamiin YRA

    ReplyDelete