*Ibuku Orang Gila*
#IOG
#PART 18
#MM
Aku makin menenggelamkan tubuhku pada semak belukar. Berharap tempat persembunyianku ini tak terendus. Entah kenapa aku merasakan aura kemarahan dan rasa haus darah di sana. Terlebih manakala sosok yang tadinya berdiri agak jauh kini beringsut mendekat. Suasana makin mencekam ku rasa.
"Kenapa kau merubah dirimu menjadi monster, Anggun ? Bukankah kita bersaudara ? Kenapa kau hanya bungkam dengan segala hal yang kau rasakan ? Aku kira kau baik-baik saja dengan perjodohan itu. Aku tak tahu kau ada rasa dengan Mas Indro." Ibuku menangis tersedu. Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan kini tak lagi berguna. Bu Anggun sudah menancapkan cakarnya. Sudah lagi tak punya hati pada semua yang menjadi musuhnya.
"Lalu apa yang akan berubah kalau aku bicara ? Bapak dan Ibu lebih menyayangimu. Tapi sayang, saat mereka mati tak ada satupun anak yang mengurusinya. Itulah karma bagi mereka !" Seru Bu Anggun dengan tanpa sedikitpun penyesalan.
"Apakah kau juga menyelakai mereka ??" Tanya ibuku.
"Aku ?? Walau aku benci mereka, aku biarkan mereka mati dengan sendirinya. Tak mau aku menyentuh mereka. Orang tua yang tak adil. Pilih kasih." Kata Bu Anggun.
"Lalu kapan Bapak Ibu meninggal ?" Tanya ibuku dengan sesegukan.
"Bapak 6 tahun lalu. Ibu menyusul beberapa bulan kemudian. Ah sudahlah ! Mengingat mereka hanya membuatku makin terbakar !" Kata Bu Anggun setengah berteriak.
"Bagaimanapun mereka juga orang tuamu. Kenapa kau bertingkah seperti itu ?" Tanya ibuku dengan geram.
"Sudahlah, Mbak. Tak usah bahas mereka yang telah rata dengan tanah." Kata Bu Anggun.
Mataku melirik ke arah sosok itu. Kini dia hanya berjarak beberapa meter saja dari Bu Anggun. Walau matanya masih menyala-nyala, aku rasakan dia mulai tenang.
"Bu Anggun ? Mobilnya sudah menunggu." Kata Pak Koco pelan. Aku jelas melihatnya berusaha menekan amarah yang mungkin sudah membakar ubun-ubunnya.
"Oh ... Ko .. Koco ! Sudah dari tadikah kau di sana ?" Tanya Bu Anggun dengan tergagap.
"Baru saja, Bu. Silahkan !" Kata Pak Koco sembari menunduk menyembunyikan murkanya. Walau suaranya terdengar biasa, tapi aku menebak dia pasti berusaha agar tak menggila. Entah apa maksudnya, aku hanya tetap mengawasi saja.
"Baiklah ... walau aku kalah darimu sekarang, akan aku pastikan kemenangan akan menjadi milikku. Selagi kau masih bernyawa, nikmati saja kemenanganmu sementara ini." Kata Bu Anggun sembari berlalu.
"Bu Anggun duluan saja, saya naik mobil sendiri tadi." Kata Pak Koco.
"Baiklah. Jangan lama-lama. Ada tugas penting untukmu." Kata Bu Anggun berlalu. Sedang mata Pak Koco memerah menahan amarah. Aku melihat tangannya terkepal. Giginya terdengar bergemelutuk.
"Apa yang kau lakukan di sini, Koco ?" Tanya ibuku sembari berdiri akan berlalu dari tempat itu.
"Aku sudah menemui Iman Suhendro." Kata Pak Koco sembari mengangkat kepalanya. Menatap sendu ibuku menembus mata ibuku yang kini membesar.
"Benarkah ?? Lalu apa yang kau temukan ??" Tanya ibuku. Koco menghela nafas berat. Tangannya terangkat ingin menyentuh wajah ibuku, tapi dia urungkan.
"Semuanya. Tentang masa kecil kita, tentang masa muda kita hingga tragedi maut pemisah kita." Kata Pak Koco dengan suara serak. Aku menahan nafas hingga dadaku sesak. Sepertinya tabir misteriku akan terbuka makin lebar. Lalu aku melihat bulir bening yang menuruni pipi Pak Koco. Di sambut dengan senyum lembut ibuku.
"Maafkan aku, Anggi ! Maaf karena terperosok dalam hal yang keji. Aku tak tahu siapa kamu. Aku tak tahu soal anak kita. A...aaa ... aku menyesal telah membuat anak kita terluka. Aku begitu terpukul telah menyelakai anak istriku." Kata Pak Koco sembari duduk berlutut di hadapan ibu. Ibuku hanya diam sembari menangis.
"Lalu sudahkah kau gali makamku ?? Sudahkah kau temukan sesuatu di sana ??" Tanya ibuku. Koco mengangguk lalu menangis makin tergugu. Aku sukses melongo dibuatnya. Apa yang mereka bicarakan ? Haruskah aku keluar dan bergabung dengan mereka yang kini sedang mengharu-biru ? Arrrrgh ... omong kosong !
"Aku tak menyangka. Anggun sejahat itu ! Dia bukan hanya membunuh ibuku yang sedang sakit. Tapi juga Yuli, adikku ! Hatiku begitu sakit setelah semua ingatan itu kembali. Kenapa aku sebodoh ini ? Hampir saja aku kehilangan kau juga anakku !" Kata Pak Koco makin terhanyut dalam pusara kesedihan.
"Kini kau sudah tahu semuanya. Tentang ibumu yang diam-diam Anggun bunuh. Tentang adikmu yang juga Anggun bunuh dengan keji. Juga fakta kalau Anggun juga mengincar anakmu. Bertahun-tahun aku berjuang hingga kewarasan tak lagi ada di otakku. Rasa bersalahku pada keluargamu, terutama Yuli membuatku dikejar rasa takut. Membuatku berpikir keras hingga aku tak lagi waras." Kata ibuku dengan air mata berlinang.
"Lalu bagaimana kau bisa selamat dari kejaran Anggun ?" Tanya Pak Koco. Aku hanya mengikuti dalam diam dengan sesekali menahan sesak di dada.
"Setelah kau tertabrak hingga amnesia, aku yang tak tahu sudah hamil berusaha mendekatimu. Tapi amnesia itu membuatmu tak mengenaliku. Aku putus asa. Kembali ke kampung hanya membuat orang tuaku dalam bahaya. Aku menghubungi Yuli yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih di rumah sakit Bramantya. Kami bertemu dan sejak itu aku tahu kalau hamil. Di saat aku di rawat di rumah sakit itu karena ternyata tanganku patah, Anggun berhasil melacakku. Aku berusaha kabur. Tapi Anggun mengejarku. Hingga Yuli yang tahu kejadian itu, berusaha menyelamatkanku dengan berpura-pura menjadi diriku. Nahas, preman sewaan Anggun langsung membunuhnya. Saat itu, aku diselamatkan oleh Bramantya. Tapi mendengar berita itu, aku kabur dan mengunjungi kuburan Yuli. Saat itulah aku dikejar rasa bersalah. Hingga akhirnya aku berakhir menjadi orang gila yang berjalan tak tentu arah. Aku minta maaf. Karena diriku, kau kehilangan Yuli." Kata ibuku sembari menangis terisak.
"Kini semua sudah jelas. Aku harap bisa bertemu putraku saat ini. Tapi aku sepertinya tak sanggup bila harus bertatap muka sekarang. Aku takut dia menghindariku dan menolak mengakui kalau aku ayah kandungnya." Kata Pak Koco sedih hingga membuatku terhenyak. Aku hanya terduduk lemas. Rangkaian peristiwa keji yang dilakukan Bu Anggun sudah di luar nalar. Dia bukan lagi monster, tapi iblis !
"Apakah Pak Iman baik-baik saja ?" Tanya ibuku.
"Dia begitu bahagia melihatku pulang. Dan saat tahu soal Fembri, dia berharap bisa segera bertemu cucu satu-satunya itu. Tapi aku bingung. Haruskah Fembri tahu soal kakeknya di kampung ?"
"Tenang saja. Aku yakin dia maklum dan paham atas kondisi kita. Dia anak yang baik dan luar biasa. Aku yakin dia pasti bisa menerima semua ini. Dia bocah yang tegar." Kata ibu sembari mengusap air matanya.
"Baiklah ... aku pamit dulu. Aku akan mengumpulkan bukti untuk menjebloskan Anggun ke penjara. Kau hati-hatilah. Hindari kontak langsung dengan Anggun dan orang-orangnya."
"Apa kau lupa janjiku ?? Aku rela menyerahkan nyawaku setelah kau memenuhi dua syarat dariku. Bukankah semua itu telah kau penuhi ??" Tanya ibuku.
"Kau gila ! Mana mungkin aku membunuhmu ! Juga anakku ! Aku berharap suatu saat nanti kita bisa bersatu seperti keluarga utuh lainnya. Itupun kalau Fembri bisa memaafkanku." Ujar Pak Koco sedih. Aku hanya menghela nafas. Walau tabir sudah terbuka, tapi menerima kenyataan ini bukanlah perkara mudah. Ada kalanya tak tahu lebih baik daripada mengetahui kebenaran yang menyakitkan. Entahlah.
Mataku melihat Pak Koco berjalan menjauh. Setelah melihat Pak Koco hilang dari pandangan, aku beringsut keluar dari tempat persembunyian. Tapi baru saja aku mau keluar, terdengar suara keras ibuku.
"Keluarlah, Nit !" Kata ibuku membuatku mengurungkan niat keluar dari semak belukar itu. Lalu di semak belukar yang tak jauh dari ibu berdiri, terlihat bergoyang hebat dan keluarlah Mbak Nita dari sana. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Betapa Bu Anggun dan ibuku sama-sama menakutkannya.
"Huwh ... akhirnya bisa keluar juga. Nita sempat was-was kalau Pak Koco lepas kendali tadi. Bisa runyam masalahnya." Kata Mbak Nita sembari membersihkan badannya dari kotoran.
"Sudah kau rekam semuanya ?" Tanya ibuku datar.
"Sudah, Buk ! Ini akan menjadi bukti kuat yang Mama saja tak mungkin bisa mengelak lagi."
"Simpan baik-baik rekaman itu. Barang ini akan menjadi kartu terkuat kita. Kita lihat, apakah kehancuran bisnis Anggun bisa melunakkan hatinya atau malah makin membuatnya brutal ? Bila dia semakin keluar batas, biar Anggun mendekam di penjara. Kerja bagus, mari kita pulang. Kau tahu di mana Fembri ?" Tanya ibu pada Mbak Nita. Mbak Nita menggeleng kepala. Aku begitu heran, sejak kapan Mbak Nita ada di sana. Bukankah tadi dia tak terlihat batang hidungnya ? Ahhh ... pusing aku !
Aku melihat ibu dan Mbak Nita berjalan menjauh. Setelah dirasa mereka telah jauh, aku keluar. Lalu cepat-cepat menyusul mereka. Khawatir kalau mereka mencariku.
====
Seminggu sejak kejadian itu, aku hanya bungkam. Seolah-olah aku tak tahu. Bukankah itu lebih aman bagiku yang lemah ini ? Ibu pun demikian, dia hanya fokus pada bisnis kami. Dan sejak duel itu, roti kami makin terdongkrak. Bahkan banyak yang mendesak kami untuk segera membuka cabang. Dan usut punya usut, kini Anggun Bakery mendadak sepi pelanggan. Antrean panjangnya kini hampir lengang. Terlebih saat ada artikel yang menyebut kalau Bu Anggun dan ibuku adalah saudara. Dan di sana disebutkan kalau Bu Anggun telah mencuri resep ibuku. Aku heran, darimana info itu tersebar. Sempat aku bertanya-tanya, mungkinkah itu ulah ibu dan Mbak Nita. Tapi aku tak berani bertanya.
Dan hari berganti begitu cepat. Karena kesibukanku di toko, hampir-hampir aku tak bisa mengunjungi pesantren. Hanya sesekali saja kala senggang aku menyempatkan diri menelepon teman-teman. Tentu saja membuat rinduku pada mereka semakin menggebu. Hingga suatu hari sebuah percakapan sukses membuatku terkejut.
"Kamu gak kangen sama kami di sini ?? Tuuh si fulan O sudah sembuh. Nanyain kamu terus, Fem." Kata Bang Udin di seberang sana.
"Aku belum bisa pulang, Bang. Kalau kami memutuskan pulang, takutnya usaha selama ini akan hancur. Sepertinya rencana kami berhasil. Bu Anggun makin terpuruk. Tapi dia masih belum bergerak." Kataku antusias.
"Kau tak rindu pada Sahla ?" Goda Bang Udin yang sukses membuatku bungkam.
"Halah ! Fokus ke bisnis dulu saja lah, Bang." Kataku .
"Fokus ke bisnis ya fokuslah, Fem. Tapi denger-denger ada yang mau nikahin Sahla." Kata Bang Udin di ujung sana. Aku terdiam. Ada rasa tak rela di hatiku.
"Siapa, Bang ? Orang mana ?" Tanyaku.
"Gak jelas juga, Fem. Katanya sih masih kerabat jauh istri abangnya. Ya baru desas-desus sih. Tapi andai kejadian, emang kamu gak nyesel ??"
Aku diam. Ada nyesel juga sih. Tapi mau gimana lagi coba ?
"Memangnya tanggal pernikahan Sahla sudah pasti, Bang ?" Tanyaku lemas.
"Belum sih. Sahla masih belum jawab. Apa mungkin dia nungguin kamu, ya ?" Seloroh Bang Udin.
"Laaaah gak lucu, Bang !" Kataku kesal.
"Tapi beneran lho, Fem. Kata Bu Suci sih kayaknya Sahla kayak nunggu seseorang gitu. Aku sama yang lainnya malah langsung kepikiran kamu. Kalau sudah longgar, mainlah ke sini. Carilah info sendiri. Kamu gak lupakan kalau Sahla itu hampir kehilangan nyawanya demi nyelametin kamu ?? Apa jangan-jangan kamu kecantol Nita yang bahenol itu ?" Tuduh Bang Udin.
"Ya enggak lah, Bang ! Konyol ahhh ! Lagipula Mbak Nita itu aku anggap kakakku."
"Ya sudahlah, Fem. Aku tutup dulu. Coba kata-kataku tadi direnungkan. Walau masa lalu Sahla begitu kelam dan dia tak sempurna. Tapi hatinya sempurna baik dan lembut." Kata Bang Udin sebelum menutup teleponnya.
"Baiklah, Bang. Makasih ya ." Kataku serak. Aku memandang gagang telepon yang masih ditanganku. Haruskah aku beranikan diri bertanya pada Pak Rahmat ? Tapi aku bingung. Bukankah wanita yng sedang dalam lamaran orang tak boleh diganggu ?
Aku mengambil ponsel yang ada dalam sakuku. Sepertinya ada pesan masuk. Dan benar saja, sebuah pesan singkat dari Mbak Nita.
[Mama dan Pak Koco bertengkar hebat. Sepertinya Mama mulai bergerak. Berhati-hatilah !]
Aku bergetar membaca pesan itu. Lalu bergegas menemui ibuku yang sedang berberes di dapur. Ku tunjukkan pesan dari Mbak Nita. Wajah ibu langsung menegang.
"Bersiap-siaplah. Mungkin Nita dalam bahaya. Dan bisa juga, ayahmu dalam bahaya. Lebih baik kita hubungi polisi. Ibu takut mereka akan terluka." Kata ibu dan ku jawab dengan anggukan. Aku telepon polisi dan berdua kami segera menuju ke rumah Bu Anggun. Walau sudah lama tahu, tapi baru kali ini kami ke sana.
Rumah itu terlihat lengang. Bahkan tak ada satupun terlihat batang hidung preman Bu Anggun. Sesekali aku menengok ponselku dengan khawatir. Barangkali saja ada pesan masuk dari Mbak Nita. Dan benar saja, ada sebuah pesan masuk. Aku buka tapi sebuah gambar muncul di sana. Sebuah gambar yang memperlihatkan wajah Mbak Nita yang babak belur dengan tubuh diikat di kursi.
"Bu ... lihat ini !" Kataku sembari menyodorkan ponsel pada ibu. Ibu langsung geram.
"Telepon Dokter Bram. Dan suruh dia segera datang. Kirimkan foto itu pada wartawan kenalan ibu. Katakan padanya, Bu Anggun sedang menganiaya dan menyekap seorang gadis." Tanpa komentar aku langsung melaksanakan perintah ibu. Dan selang beberapa menit sebuah artikel terbit dengan judul yang menghebohkan. Sontak saja, komentar di artikel itu bermunculan. Bahkan ada yang terang-terangan menge-tag akun Anggun Bakery.
Lalu terdengar suara sirine polisi yang makin mendekat. Aku dan ibu menunggu di luar rumah dengan cemas. Ibu meminta ponselku, lalu menelepon nomor Mbak Nita.
"Hallo, Anggun ?? Serahkan dirimu pada polisi. Hentikan kelakuanmu yang kejam itu. Lepaskan Nita sekarang juga. Polisi sudah datang, orang-orang pun sudah tahu. Berita soal dirimu menjadi trending di medsos." Kata ibu dengan nada setenang mungkin.
"Aku tak peduli ! Rupanya aku membesarkan gadis tengik ini ! Aku rawat dan besarkan dia, tapi menikamku dari belakang. Kalian bilang aku kejam ? Nyatanya kelakuan kalian lebih kejam. Kau tarik Nita ke pihakmu dan mengajarinya mengkhianatiku ! Dasar pecundang ! Aku tak takut pada polisi ! Uangku akan membebaskanku !" Kata Bu Anggun di seberang sana. Lalu disusul teriakan Mbak Nita yang menyayat hati. Aku makin gusar sementara wajah ibu makin tegang. Bu Anggun menutup teleponnya.
"Pak polisi, langsung sergap saja. Takutnya sandera disiksa dan dibunuh." Kata ibu. Polisi pun mulai menyebar mendekati rumah Bu Anggun. Sementara itu tak terlihat Pak Koco. Padahal katanya baru saja bertengkar. Pergikah dia ?
Dengan wajah was-was aku melihat satu persatu polisi memasuki rumah Bu Anggun. Berbekal rekaman Mbak Nita, polisi bersiaga bila sewaktu-waktu Bu Anggun mulai membahayakan nyawa orang lain. Tapi tiba-tiba dari dalam rumah Bu Anggun terdengar suara sepeda motor. Dan dari sana terlihat Bu Anggun menggeber motornya dengan kecepatan tinggi. Dan yang membuat kami makin terkejut adalah ada seutas tali yang menyeret Pak Koco. Sontak saja polisi langsung mengejar Bu Anggun sedang Pak Koco terlihat lemas penuh luka. Terlebih kini dengan kecepatan tinggi Bu Anggun menyeret tubuh Pak Koco membelah jalan yang ramai. Ibuku langsung pingsan. Sementara itu aku bergegas ke dalam mencari Mbak Nita yang ternyata sudah pingsan.
Dengan dibantu polisi, Mbak Nita di bawa ke ambulan yang sudah Pak Bram bawa. Sedang terlihat Pak Bram merawat ibu yang belum juga siuman. Banyak wartawan yang berkumpul di sana. Dan menurut laporan polisi yang mengejar Bu Anggun, Pak Koco kini sudah aman. Rupanya tali terputus manakala Bu Anggun berbelok tajam. Dan kondisi Pak Koco kini kritis. Mbak Nita langsung dibawa ke rumah sakit. Sedang ibu kini mulai siuman.
"Gimana Anggun ?? Gimana Koco dan Nita ?" Tanya ibuku kebingungan.
"Bu Anggun kabur. Sedang Pak Koco kritis di rumah sakit. Dan Mbak Nita juga sudah dirawat. Ibu tenang saja. Cepat atau lambat polisi akan menangkapnya." Kataku menenangkan.
"Aku tak menyangka Anggun akan segila dan senekat itu. Padahal aku berharap dia bisa bertaubat." Kata ibu dengan linangan air mata.
"Maaf, siapa yang tadi melapor ya ?" Tanya seorang polisi.
"Saya Pak." Kataku.
"Ada berita penting untuk kamu, Mas. Ini soal tersangka yang kabur." Mendengar itu aku langsung mendekati polisi itu. Dan dengan setengah berbisik, dia mengatakan sesuatu padaku. Aku langsung terkulai lemas mendengarnya .
"Benarkah ???" Tanyaku tak percaya.
"Benar ! Berita ini sudah dikonfirmasi." Kata polisi itu.
Aku menoleh pada ibu. Ragu hatiku memberitahunya soal Bu Anggun. Aku yakin ibu akan terpukul. Bagaimanapun juga Bu Anggun adalah adik kandungnya. Lahir dari rahim yang sama. Tumbuh besar bersama walau berakhir dengan tragedi. Aku menghela nafas, lalu berjalan perlahan mendekati ibu.
<<<<Bersambung>>>>
Mana lanjutnya? Part 19
ReplyDeleteKok tidak dilanjut ya...
ReplyDeletePart 19 kog ga dilanjut
ReplyDeleteTeh Eti...part 19 dst ditunggu bngt nih salam semangat dan makasih ceritanta....top
ReplyDeletePleaseeee teh Eti part 19 nya dooong
ReplyDeleteLanjutannya dong..
ReplyDeletehttps://etimayasari.blogspot.com/2020/10/ibuku-orang-gilaiogpart-19endingmm.html sudah say . . Di arsip Oktober semua . .
ReplyDelete