BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, abad ke-13 M
merupakan periode malapetaka bagi sejarah Islam yang mana itu ditandai dengan
masih porak poranda pada waktu seperti perang salib yang berkepanjangan,
penyerbuan Mongol ke negara muslim yang memusnahkan kekayaan intelektual dan
membunuh cultural serta membunuh jutaan kaum muslimin. Negara Baghdad yang
terkenal dengan pusat kota intelektual dan cultural telah dirampok oleh Hulaku
Khan pada tahun 1258 M.
Pada kurun waktu dan huru-hara serta
bencana seperti itu, maka lahirlah seorang pemikir yang sangat berpengaruh
besar terhadap dunia pemikiran Islam, yaitu Ibnu Taimiyah. Beliau merupakan
seorang pemikir bebas dan penganut kemerdekaan hati nurani. Beliau juga seorang
yang dipertanyakan oleh sebagian ummat, tetapi dimuliakan oleh semuanya. Karya
serta teladan hidupnya menjadi sumber ilham bagi setiap orang.
Liberalisme sebagai dampak dari
globalisasi seakan-akan sudah menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat
dihindari lagi bagi setiap umat manusia, baik muslim maupun non-muslim. Jargon-
jargon modernisme yang dikumandangkannya mampu meracuni akal semua umat
manusia. Manusia tidak dapat membedakan mana yang sakral dan mana yang profan.
Semuanya di depan kaum liberalis adalah sama, tidak lebih dari obyek yang dapat
ditaklukan oleh akal.
Islam sebagai agama yang sudah mapan
pun tidak bisa menghadang arus liberalisasi tersebut. Generasi-generasi penerus
Islam yang seharusnya melestarikan ajaran-ajaran sang Nabinya tidak mampu
mengindahkan ajarannya yang sempurna. Lebih dari itu, teologi yang telah
dirumuskan Al- Qur’an dan Hadits pun tidak dapat terjaga dari noda-noda
liberalisme. Dengan berdalih sebagai generasi progresif, ajaran yang permanen
bukanlah sesuatu yang transenden, dapat dirubah, dan diganti dengan yang baru,
yang dapat diterima akal.
BAB II
RIWAYAT HIDUP IBNU
TAIMIYAH
a.
Nama
dan Nasab
Beliau adalah Imam, tauladan, ilmuan, dan penyeru ajaran
Muhammad, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya; Revivalis
ajaran Islam yang sempurna dengan inspirasi al- Qur’an sebagai wahyu Allah SWT
dan al-Sunnah sebagai cerminan budi perbuatan sang Rasul. Dia adalah Ahmad
Taqiyuddin Abu Abbas bin Syihabuddin Abi Mahasin Abdul Halim bin Mujiddin Abi
Barakat Abdus Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Qasim al- Khudri bin Ali
bin Abdullah. Keluarga ini dikenal dengan keluarga Ibnu Taimiyah.
Beliau lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang
terletak antara sungai Dajlah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabi'ul
Awal tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damaskus (Damaskus) bersama orang tua dan
keluarganya ketika masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas
negerinya. Mereka menempuh perjalanan panjang pada malam hari dengan menyeret
sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab, bukan barang-barang
perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan pun pada
mereka.
Suatu saat, gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah
jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti
ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah. Akhirnya
mereka bersama kitab-kitabnya selamat sampai tujuannya.
- Pertumbuhan dan Perhatiannya Terhadap Ilmu
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri
beliau. Begitu tiba di Damaskus, beliau segera menghafalkan al-Qur'an dan
mendalami berbagai cabang ilmu pada para ulama,huffazh dan ahli-ahli hadits
negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut
tercengang.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau
sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mendalami bidang-bidang tafsir,
hadits dan bahasa Arab. Selain itu, beliau telah mengkaji Musnad al-Imam Ahmad
sampai beberapa kali, kemudian Kitab al-Sittahdan Mu'jam al-Thabarany al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak, pernah ada
seorang ulama besar dari Halab yang sengaja datang ke Damaskus, khusus untuk
melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir.
Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan
hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan
tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun
dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut
berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar,
sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.”
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah
para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman ilmu berupa
kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau gunakan seluruh waktunya untuk belajar dan
belajar, menggali ilmu terutamaKitabullah dan sunah Rasul-Nya. Lebih dari itu,
beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis
yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh
dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi seorang
ulama yang besar pada masanya.
- Da'i, Mujahid, dan Pemelihara Ajaran Islam
Sejarah telah mencatat bahwa Ibnu Taimiyah bukan saja
sebagai da'i yang tabah, liat,wara', zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga
seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah
umat Islam dari kezhaliman musuh dengan pedangnya, seperti halnya beliau adalah
pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.
Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando
kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang
Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah
pertempuran. Sampai ada salah seorang amir memberikan kesaksiannya: "..
tiba-tiba ditengah kancah pertempuran terlihat dia bersama saudaranya berteriak
keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya
tidak lari. " Akhirnya dengan izin Allah, pasukan Tartar berhasil
dihancurkan, dan selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam
mengajak kepada kebenaran, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian
para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau.
Orang-orang yang tidak sependapat dengannya meniupkan racun-racun fitnah
sehingga beliau harus mengalami berbagai tekanan, dipenjara, dibuang,
diasingkan dan disiksa.
- Kehidupan Penjara
Kedudukan dan derajat yang tinggi yang diberikan Allah
kepadanya memancing kecemburuan rival-rivalnya yang tidak sependapat dengannya.
Hasutan dan lemparan-lemparan kebencian pun tidak dapat dihindari, kerena sudah
menjadi sebuah kepastian ketika seseorang diberi kedudukan yang mulia oleh
Allah, semakin tinggi pula hasutan-hasutan yang terlontar kepadanya.
Hal inilah yang dialami Ibnu Taimiyah ketika tidak seorang
pun menyamai kedudukannya, baik dalam bidang keilmuan maupun sosial.
Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan oleh rival- rivalnya mengakibatkan
beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, tetapi dengan penuh
kebijaksanaan, beliau menghadapi segalanya dengan tabah, tenang dan gembira.
Terakhir, beliau harus masuk ke penjaraQal'ah di Damaskus. Dan beliau berkata:
"Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat
kebaikan besar."
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan
fitrahislahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku
tentang aqidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid'ah.
Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak.
Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau,
diajarkannya oleh beliau agar merekailtizâm kepada syari'at Allah, selalu
beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga
suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan
dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap
tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-
orang yang belajar tentang agama kepadanya.
Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau semakin
dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau
dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin
terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh,
tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya
mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan
kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.
Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang
memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang
kepada sahabat dan murid- muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya
tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi.
Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau.
- Kitab Dan Risalah-Risalahnya
Beliau adalah figur orang yang sangat gigih dan selalu haus
akan ilmu, baik agama maupun yang lain. Bahkan sulit untuk menentukan dalam
bidang apa beliau berkecimpung, apakah beliau ahli fiqih (faqih), ahli logika (mutakalim),
ahli tafsir (mufassir), ahli hadits (muhaddits), filosof, atau yang lainnya.
Hal itu dapat dilihat dalam karya-karya besarnya yang hampir dalam setiap
bidang terdapat karyanya.
Para ulama sepakat, baik yang pro maupun yang kontra, bahwa
jumlah karangan beliau dalam berbagai bidang ilmu agama mencapai 300 kitab7.
Diantaranya: Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir dan Tafsir ayât Asykalat (Al-Qur’an dan ilmunya), As’ilah fi
Musthalah al-Haditsdan Syarh
Hadits
al-Nuzul (hadits dan ilmunya), Aqidah Wasithiyahdan Minhaj Al-Sunnah al-Nubuwah
(teologi),
Ushul Al-Fiqh dan Syarh Al-‘Umdah fi Al-Fiqh (Fiqih dan Ushulnya),al-Shufiyah
wa al-Fuqara’dan al-Risalah al-Tadmiriyah(tasawuf), al-Radd ala
al-Manthiqiyindan al- Radd ala al-Falâsifah (filsafat dan logika), Majmû‛
Fatâwa, Dar’u Ta‛ârudh al-Aql wa al- Naql, dan lain-lain.
- Wafatnya
Beliau wafat di dalam penjara Qal'ah Damaskus disaksikan
oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Ibnul Qayyim Al-Jauzy. Beliau berada
di penjara ini kurang lebih selama dua tahun tiga bulan. Selama dalam penjara
beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur'an.
Dikisahkan, dalam tiap harinya ia baca tiga juz. Selama itu
pula beliau sempat menghatamkan al- Qur'an delapan puluh satu kali. Perlu
dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian
apa pun dari penguasa. Jenazah beliau dishalatkan di Masjid Jami' Damaskus
sesudah shalat Zhuhur. Hampir semua penduduk Damaskus hadir untuk menshalatkan
jenazahnya, termasuk para Umara', Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota
Damaskus menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Damaskus tua,
muda, laki-laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian
beliau.
BAB
III
PEMIKIRAN
IBNU TAIMIYAH DALAM TAUHID
Bagi
Ibnu Taimiyah, tauhid, yang olehnya dinyatakan sebagai dasar agama yang paling
asasi bagi setiap agama, merupakan rahasia (sirr) Qur’an dan kitab-kitab
keimanan. Menurutnya, masalah akidah itu bukan diambil dari dalam dirinya dan
pula dari orang lain yang lebih besar sekalipun, melainkan diperoleh dari
ajaran Allah dan Rasul-Nya, serta kesepakatan generasi muslimin terdahulu.
Demikian juga masalah amaliah yang oleh
banyak orang disebut furu’, yar atau fiqh. Semuanya itu, kata ibn Taimiyah
telah dijelaskan oleh Utusan Tuhan dengan keterangan yang amat baik. Tak satu
persoalan pun yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan yang dilarang-Nya, yang
dihalalkan dan diharamkan-Nya, kecuali Rasul Allah SWT telah menjelaskan secara
keseluruhan.[1]
Dalam
memahami ayat-ayat al-qur’an yang berkenaan dengan masalah sifat-sifat Tuhan
umpamanya, Ibn Taimiyah agaknya menerima secara harafiah sebagaimana adanya
tanpa menta’wilkannya sedemikian rupoa seperti yang ditempuh para filosof
muslim dan sebagian filosof teolog serta sufisme. Namun untuk meniadakan kesan
tasybih seperti yang dituduhkan sebagian orang kepadanya, Ibn Taimiyah
membedakan antara kualitas sifat-sifat manusia selaku makhluk dengan
sifat-sifat Tuhan sebagai khaliq.
A. Contoh
pemikiran Ibnu Taimiyah dalam Tauhid Diantaranya :
- Tuhan duduk di atas ‘arsy serupa duduknya
Ibnu
Taimiyah menfatwakan bahwa Tuhan duduk bersila di atas ‘arsy, serupa dengan
duduk bersilanya Ibnu Taimiyah sendiri. Faham ini beberapa kali diulangnya di
atas mimbar Masjid Bani Umayyah di Damsyik Syiria dan di Mesir.Ia mengemukakan
dalil ayat Al-Qur’an yang diartikannya semuanya saja, dan sebagai yang tersurat
saja, tanpa memeprhatikan yang tersirat dari ayat-ayat itu.Jadi Ibnu Taimiyah
boleh digolonglkan kepada kaum Zahirriyah, yaitu kaum “lahir”, yang mengartikan
ayat-ayat Qur’an dan Hadits Nabi secara lahirnya saja.
- Tuhan Turun dari Langit tiap-tiap malam serupa turunnyya ibnu taimiyah dari mimbar.
Ibnu taimiyah memfatwakan bahwa Tuhan
tiap-tiap malam turun kelangit dunia seperti turunnya ia ke bawah dari
mimbarnya.
- Mendoa dengan bertawassul
Suatu
fatwa yang menghebohkan dunia Isllam dari ibnu Taimiyah ialah menghukum kafor
atau syirik sekalian orang Islam yang mendoa dengan bertawassul, padahal mendoa
dengan bertawassul itu sudah dikerjakan oleh dunia islam sedari berabad-abad
permulaan islam, sedari jaman nabi, zaman shahabat dan zaman tabi’in.Marilah
kita tinjau soal ini secara tenang dan ilmiah. “Tawassul” artinya mengerjakan
sesuatu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.
Di
dalam al-Qur’an ada tersebut perkataan “wasilah” dalam dua tempat, yaitu:
- Pada surat al-Maidah ayat ke 35
“Hai orang-orang yang beriman! Patuhlah kepada
Allah dan carilah jalan yang mendekatkan kepadaNya dan berjuanglah di jalan
Allah, supaya kamu jadi beruntung.” (Al-Maidah : 35)
Di
dalam ayat ini ada 3 hukum yang dikeluarkan, yaitu :
1.
Kita wajib patuh (tha’at) kepada Tuhan.
2.
Kita disuruh mencari jalan yang
mendekatkan diri kita kepada Tuhan.
3.
Kita disuruh berjuang (perang) di jalan
Allah.
- Pada surat Isra’
“Mereka mencari jalan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan” (Al Isra :57)
Demikian
arti wasilah dalam a-Qur’an.
Maka mendo’a dengan bertawassul ialah mendo’a kepada
Tuhan, sekali lagi mendo’a kepada Tuhan dengan wasilah yaitu memperingatkan
sesuatu yang dikasihi Tuhan.
B. Ibnu Taimiyah mengklasifikasikan
ulama khalaf dalam memahami dan menetapkan sifat
Allah
menjadi 4 golongan, yaitu:
- Golongan pertama, yaitu golongan yang tidak mau mensifati Allah dengan ada (wujûd) atau tidak ada (‘adam), karena dalam keyakinan mereka, jika Allah disifati dengan ada, maka itu menyerupakan dengan sesuatu yang ada (maujûd). Begitu pula sabaliknya, maka menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang tidak ada (ma‛dûm), itu adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi Allah, karena Dia dinafikan dari segala persamaan.
- Golongan kedua, adalah golongan yang mensifati Allah dengan nafî, tetapi tidak mensifati dengan antonimnya (itsbât); Dalam pengertian mereka mencabut atau menafikan sifat Allah, tatapi mereka tidak menetapkan sifat untuk-Nya. Mereka berkata: “Kami tidak berkata Allah ada, tetapi Dia, bukan tidak ada. Kami tidak berkata Allah hidup, tetapi Dia tidak mati, dan seterusnya”. Hal ini terjadi, karena dalam asumsi mereka, jika ditetapkan nama atau sifat bagi-Nya, maka terjadi penyerupaan dengan ciptaan-Nya.
- Golongan ketiga, adalah golongan yang menetapkan nama-nama Allah tanpa menetapkan sifat-sifat-Nya. Mereka berkata: “Allah Maha Melihat, Mendengar, Mengetahui, dan seterusnya, tetapi Dia melihat tanpa penglihatan, Dia mendengar tanpa pendengaran, Dia mengetahui tanpa pengetahuan, dan seterusnya”. Mereka adalah golongan Mu’tazilah.
- Golongan keempat, adalah golongan yang menetapkan sembilan puluh sembilan nama Allah, tetapi mensifatinya dengan sifat yang sangat terbatas, yang sesuai dengan akal dan mengingkari yang lain yang tidak sesuai dengan akal. Mereka adalah golonganAsya’irah yang menetapkan sifat Allah dengan delapan sifat, yaitu: hidup (hayât), bicara (kalâm), melihat (bashar), mendengar (sam’), berkehendak (irâdah), mengetahui (‛ilm), dan mampu (qadar).
Keempat golongan ini, menurut Ibnu Taimiyah adalah golongan
ahli bid’ah yang sangat berlebih-lebihan (Ahl al-Zaigh) dalam mengesakan Allah,
yang mengakibatkan penafian terhadap hak-hak-Nya. Mereka tidak mencapai derajat
kekufuran, karena mereka hanya terperangkap dalam perdebatan filosofis dan
logik dalam masalah-masalah teologi.
BAB
IV
KESIMPULAN
Dari
pemaparan diatas dapat pemakalah simpulkan sebagai berikut:
1) Ibnu
Taimiyah adalah seorang Ulama, pemikir dan praktisi yang menaruh perhatian yang
besar terhadap masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Paham keagamaannya
bercorak salaf yakni mengikuti petunjuk al-Qur’an dan Hadits sebagaimana
dipahami para sahabat dan tabiin, pada saat mana pemikiran Islam belum
terpengaruh oleh pemikiran filsafat atau berbagai paham lainnya yang
dibuat-buat oleh manusia.
2) Dalam
memahami ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Tauhid maka beliau mengartikannya
secara harfiyah tanpa menta’wilnya.
3) Ibnu
Taimiyah memiliki prinsip dasar yaitu:
-
Wahyu merupakan sumber pengetahuan agama
dan penalaran hanyalah sumber terbatas.
-
Hanya al-Qur’an dan Hadits sebagai
penuntun yang otentik dalam segala persoalan.
Daftar Pustaka
1.Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad,
Majmû‛ah Fatâwa, diedit oleh‛Âmir Al-Jazzar dan Anwâr
al-Bâz, (Manshûrah: Dar al-Wafa’,
2001)
2.Al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad,Ihy â’ ‛Ulûm al- Dîn (Kairo: Dar al-Taqwa, 2000)
3. Al-‘Utsaimin, Muhammad bin
Shalih, Syarh al-Aqîdah al-Wasithiyah li Ibni Taimiyah,
diedit oleh Abdullah al-Mansyawy
(Kairo: Dar Al-Manar, 2003)
4.M. Abu Zahrah, Ibnu Tamiyah;
hayâtuhu wa ‘asruhu, ârâ’uhu wa fiqhuhu (Kairo: Dar al- Fikr al- Araby, 2000)
5.Al-Istambuly, Mahmud Mahdi,Ibnu
Taimiyah, Bathal al-Islâh al-Dîny (Dimasyq: Maktabah Dar al-Ma'r ifah, 1977)
6.Ibnu Katsir, Abi Fida’ Isma’il,
Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm (Kairo: Mu’assasah al-Mukhtar, 2002)
7.Syarifuddin, Abdul Azhim Abdu
Salam,Ibn Qoyyim al-Jauziyah; Asruhu wa Manhajuhu wa
Arâ’uhu fi al-Fiqh wa al-Aqâ‘id wa
al-Tasawwuf (Kuwait: Dar al-Qalam, 1984)
8.Hilmy, Musthafa,Qawâ‘idu al-Manhaj
al-Salafy fi al-Fikr al-Islâmy (Islexandria: Dar al-Da’wah, 1991)
No comments:
Post a Comment